Satyagraha Hoerip (Oyik), Kabupaten Lamongan
Cerpenis 7 April 1934, lahir di Lamongan Jawa Timur, Satyagraha Hoerip atau yang akrab dipanggil dengan nama Oyik adalah seorang…
Cerpenis
7 April 1934, lahir di Lamongan Jawa Timur, Satyagraha Hoerip atau yang akrab dipanggil dengan nama Oyik adalah seorang cerpenis berbakat. Ia Ia masih memiliki keturunan Priyayi, karenanya diharapkan oleh orang tuanya bisa menjadi Sarjana Hukum, akan tetapi cerita wayang dan dongeng telah merangsang fantasinya untuk lebih menekuni cerita rekaan.
Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas, ia melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Berbagai Perguruan Tinggi telah dimasukinya namun kuliahnya tidak pernah sampai selesai. Perguruan Tinggi yang pernah dimasukinya pada tahun 1950 adalah Universitas Indonesia (UI) pada Fakultas Hukum. Ia tercatat sebagai mahasiswa ikatan dinas. Kemudian ia pindah ke Universitas Gajahmada Yogyakarta dengan memilih Fakultas HESP (Hukum Ekonomi, Sosial Politik) juga sebagai mahasiswa ikatan dinas. Di UGM juga ia tidak betah lalu pindah ke UNPAD (Universitas Padjajaran Bandung), di sini ia juga tidak begitu lama lalu menetapkan untuk bekerja di Pers yang sudah ditekuni selama bertahun-tahun.
Bakat Oyik sebagai penulis sudah kelihatan sejak ia duduk di Sekolah Menengah Pertama dan bakat tersebut semakin berkembang setelah ia memasuki Sekolah Menengah Atas di Malang. Adapun temannya semasa SMA yang memiliki bakat serupa adalah Alex Leo (mantan Dirjen TVRI), Bodiardjo Surejo Sunarsono dan Titi Said Sadikun. Di luar kegiatan sekolah Oyik juga membuat perkumpulan yang disebut dengan GAYA (Gallant Asociation of Young Artist), dengan jumlah anggotanya sebanyak 20 orang.
Demikian Oyik ia tidak pernah dapat menyelesaikan kuliahnya. Hal ini terjadi karena keinginan orang tua tidak sama dengan keinginannya. Jadi ia masuk di berbagai universitas semata-mata hanyalah untuk menyenangkan hati kedua orang tuanya, dimana orang tuanya menginginkan supaya anaknya bisa mencapai gelar Meester in de Rechten
Hal tersebut tidak disadari oleh orang tuanya, bahwa darah seni lebih menguasai kehidupan Oyik. Oleh sebab itu walaupun Oyik tetap mengikuti kegiatan kuliah namun yang dilakukannya adalah menulis dan membaca buku-buku tentang berbagai hal seperti buku eksistensialisme dan buku politik.
Karena itu Oyik kelihatan semakin hari semakin getol berpolitik praktis dengan kehidupan gaya “Bohemiannya”, yaitu penampilan dengan menggunakan kaca mata hitam, jaket kulit dan selalu membawa sikat gigi. Inilah ciri khasnya
Pertama sekali Oyik membuat puisi adalah sewaktu ia membaca buku yang berjudul “Matahari Terbit”. Dalam buku ini terdapat sajak-sajak dan ia sangat tertarik. Di samping itu kondisi alam tempatnya tinggal ketika itu telah turut mengembangkan daya imajinasinya untuk berkarya. Sehubungan dengan itu, lahirlah puisinya yang diberi judul “Sajak-Sajakan” karyanya ini dimuat di koran “Suara Rakyat” dan di majalah “Brawijaya” dengan memakai nama samaran I GST Poreh.
Tahun 1953-1954 Oyik menulis cerpennya yang pertama dan diberi judul “Natal”. Cerpen ini, dimuat di majalah “Minggu Pagi” milik Umar Kayam Menurut Oyik sastra mempunyai kedudukan yang cukup penting bagi manusia. Nilai-nilai yang dikandungnya mampu memberikan pencerahan batin. Selain itu sastra sanggup menumbuhkan daya kritis dan daya analisis pembacanya terhadap berbagai fenomena kehidupan yang terbentang dihadapannya.
Lebih lanjut Oyik mengatakan adalah salah besar apabila orang menganggap bahwa nilai-nilai yang dikandung karya sastra bertolak belakang dengan kehidupan. Justru nilai-nilai yang dikandung dalam sastra itu sangat erat hubungannya dengan kehidupan. Bagi Oyik sastra itu akan hidup apabila ditulis berdasarkan kehidupan, sebab tanpa ada hubungan dengan kehidupan karya sastra tidak akan enak untuk dibaca oleh penggemarnya.
Pendapat Oyik terhadap tentang apa itu sastra agaknya sangat beralasan, sebab setiap hasil karyanya selalu mengangkat tema permasalahan sekitar lingkungan sosial masyarakat. Namun menurut Oyik, tema seperti itu tidak lagi mengalami perkembangan, khususnya di tahun 1991 sudah terjadi kemunduran yang luar biasa dimana tema sosial akhir-akhir tahun 60-an tema sosial begitu hidup ditulis para sastrawan ungkap Oyik dengan serius.
Dengan adanya kondisi seperti itu Oyik sebagai seorang sastrawan sangat merasa sedih, ia bahkan berandai-andai jikalau sastrawan di masa-masa yang akan datang tidak peka lagi terhadap lingkungan sosialnya, siapa lagi yang akan menjadi mediator terhadap keprihatinan masalah sosial.
Kesan yang dapat ditangkap oleh Oyik terhadap kemunduran karya sastra yang bertemakan sosial adalah disebabkan, di samping ada rasa takut para sastrawan untuk menggarap tema sosial, juga takut berhadapan dengan pihak berwajib. Di samping itu dari pihak redaksi sangat berhati-hati untuk memuat berita yang bisa membuat salah penafsiran terhadap pembacanya.
Inilah keprihatinan Satyagraha Hoerip terhadap perkembangan hasil karya para sastrawan di Indonesia. Ia menekankan bahwa hingga saat ini arti keterbukaan itu belum dipahami oleh sebagian lapisan masyarakat. Menurut Oyik untuk memajukan sastra di Indonesia hendaknya tema-tema sosial juga mendapat tempat yang layak pemuatannya di media massa seperti halnya tema-tema lain.
Di samping menekankan kebebasan untuk memajukan sastra di bidang keterbukaan, ia juga mengatakan bahwa para sastrawan juga memiliki hak mutlak untuk memilih tema dan bebas menetapkan gaya ungkapannya
Menurut Oyik sastra memang belum mendapat tempat yang cukup layak di hati pembacanya. Hal ini dapat dibuktikan dengan lemahnya pengajaran sastra di tingkat sekolah lanjutan, tidak seperti di negara Malaysia bahwa pengajaran sastra sudah mendapat tempat yang layak dan bisa dikatakan sejajar dengan materi pengajaran lainnya. Sehubungan dengan itu usaha yang dilakukan oleh Oyik adalah ketika ia di undang oleh HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) untuk mengikuti forum pertemuan ilmiah (Pilnas ke-14). Pada kesempatan itu ia berbicara tentang pembahasan masalah pengajaran sastra di tingkat sekolah lanjutan.
Hasil dari pertemuan tersebut disimpulkan memang telah terjadi suatu kelemahan pengajaran sastra di tingkat sekolah lanjutan dan titik kelemahannya selain kurangnya pengadaan sarana seperti kebutuhan buku di perpustakaan juga terletak pada kualitas pengajaran yang cenderung tidak mengerti akan sastra.
Demikianlah pemikiran Oyik terhadap nasib karya sastra di Indonesia, ia begitu optimis tentang apa yang dipikirkannya bahwa suatu saat sastra di Indonesia akan mengalami perkembangan Selain memberikan masukan terhadap perkembangan sastra Oyik juga aktif melakukan tanggapan atau penilaian terhadap hasil karya para sastrawan lainnya, baik berupa puisi, cerpen, dan buku.
Berbagai pengalaman dan karya sastra Oyik tersebar di hati masyarakat khususnya para pengagumnya. Ia adalah benar-benar seorang tokoh sastra yang diperhitungkan oleh penggemarnya.
Hasil karya di antaranya adalah :
Tahun 1962 menerjemahkan novel berjudul “Keperluan Manusia” karya Leo Tolstoy
Tahun 1969 menulis buku dengan judul “Antologi Esai Tentang persoalan Sastra”.
Tahun 1970 menulis cerita film “Palupi”, menulis kumpulan cerita anak-anak yang berjudul “Burung Api”
Tahun 1980 menulis kumpulan cerita pendek tentang “Delapan Orang”, menulis cerita film “Diantara Dua Dunia”.
Tahun 1982 buku “Antologi Esai Tentang persoalan Sastra”. direvisi dan terbit dengan judul “Masalah Sastra” Espita Riama
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan IV, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta 1999. hlm. 138-142