Kesenian Lerok, Kabupaten Nganjuk
Melirik Kesenian Lerok Wiyono (65) atau yang lebih dikenal dengan panggilan Wiyono Nyambik, mengaku prihatin manakala seni tradisional sebagai salah…
Melirik Kesenian Lerok
Wiyono (65) atau yang lebih dikenal dengan panggilan Wiyono Nyambik, mengaku prihatin manakala seni tradisional sebagai salah satu aset budaya, semakin redup akibat tergerus gemerlapnya arus informasi global. Sebagai seorang seniman sekaligus pengamat budaya, Wiyono mengibaratkan sebuah pusara tanpa nisan. “Apabila luput dari perhatian kita, niscaya anak cucu kita akan kehilangan jejak” tuturnya saat ditemui dirumahnya Jl. WR Supratman Nganjuk.
Wiyono menambahkan salah satu seni tradisional Nganjuk yang kini sedang digali kembali adalah kesenian Lerok. Kesenian itu muncul dijaman kolonial, berkembang di wilayah Nganjuk utara. Dia menyebutnya dilereng perbukitan Pandan. Seni Lerok, tidak ubahnya kesenian lain misalnya Mung Dhe. Selain sebagai tontonan juga mengemban misi perjuangan yang tersamar.
Ketika berlangsung festival seni pertunjukan rakyat Jatim di Malang, 26 Mei 2007 lalu, pihaknya memperoleh kepercayaan mengemas sajian pertunjukan atasnama Kabupaten Nganjuk. Ketika itulah Wiyono dibantu seniman-seniman Nganjuk yang lain, sepakat mementaskan Kesenian Lerok. Hasilnya, ternyata perlu acungan jempol. Nganjuk waktu itu masuk lima besar dengan nilai tertinggi, baik sajian maupun penyutradaraannya.
Sehingga sebagai tindak lanjutnya, tanggal 15 Maret 2008 lalu, kesenian tersebut diundang ke Surabaya guna melakukan pemementasan.” Apabila di Malang kami diberi waktu 10 menit, tetapi di Surabaya diberi waktu dua jam. Waktu itu kami didukung 25 seniman Nganjuk, menyuguhkan cerita Roro Kuning. Yaitu sebuah ilustrasi cerita legenda seorang raga yang kilaf sabda, yang menurutnya kesemuanya itu bisa diwiradati” lanjut Wiyono. Cerita ini nampaknya sangat menarik perhatian, khususnya para pejabat dan seniman di Jatim, mengingat di Nganjuk, nama Roro Kuning sudah dijadikan nama obyek wisata. Bahkan, sesuai saran pendapat yang diperoleh dari seniman saat usainya pertunjukan, menurut Wiyono, Seni Lerok berpeluang tampil pada arena festival pertunjukan rakyat tingkat nasional
Lalu, mengapa kesenian tersebut dinamakan Lerok? Karena, tambah Wiyono, tata rias wajah para pemain memakai bedak warna putih, dan tebal termasuk pengrawitnya. Rias semacam itu oleh orang jawa disebut Lera Lero, atau Lerok-Lerok.
Dari berbagai informasi yang diperoleh Wiyono, Seni Tradisional Lerok ketika itu hanya dipentaskan pada malam hari saat purnama tiba. Mulai jam 21.00, dan baru berakhir menjelang 03.00 pagi. Bentuknya teater tradisional, dibawakan secara interaktif. Artinya, penonton terkadang bisa juga masuk sebagai pemain. Sebagai bentuk kekhasan kesenian ini, yaitu tampilnya para penjaja makanan kacang rebus atau goreng. Tempat rias cukup dibawah pohon asam, dengan penerangan ala kadarnya berupa obor.
Gemelannya terdiri dari demung, saron, kendang, kempul dan gong janggrung atau gong bumbung. Yaitu gong yang terbuat dari bambu petung. Untuk membunyikannya tidak dipukul seperti layaknya gong dari logam, melainkan ditiup. Upah yang didapat, hanya dari keikhlasan penonton, selain berupa uang juga ada yang berupa padi. Biasanya, ditengah pentas berjalan, ada salah satu pemain yang keliling menghampiri setiap penonton dengan membawa Kalo. Yaitu sejenis alat memasak terbuat dari anyaman bambu, yang disusun tidak terlalu rapat, karena biasanya alat ini digunakan untuk saringan santan kelapa.
Cerita yang diangkat Cerita Legenda Kerajaan Kediri. Misalnya, cerita Andhe-Andhe Lumut, Keong Mas. Seniman juga bisa memasukan pesan perjuangan dengan tersamar. Maklum, ketika kesenian ini muncul di masyarakat, masih jaman penjajahan.
Pada akhir cerita, seperti saat mementaskan Cerita Roro Kuning di Surabaya beberapa waktu lalu, Wiyono menandai dengan sebuah adegan. Yaitu saat pemain masih meragakan peran, tiba-tiba penonton satu-persatu meninggalkan tempat. Bersamaan itu pula obor berlahan-lahan padam.
Karuan saja, para pemain lerok kocar kacir, lari tunggang langgang, melangkah tanpa asa.” Ending ini memang sengaja kami buat, sebagai bentuk rasa keprihatinan akan kepunahan kesenian ini. Seni yang kian tersingkir ini, semoga hanya mati suri, sehingga kelak bisa hidup kembali, memperkaya khasanah seni tradisional di Bumi Anjuk Ladang” harap Wiyono. Keprihatinan tersebut memang sangat beralasan.
Sebab realitas dimasyarakat sekarang ini, bahkan bagi warga Kabupaten Nganjuk sendiri, nama kesenian lerok masih sangat asing. Sedikit sekali yang mengenalnya. Karenanya semua pihak, terutama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah merasa perlu mengadakan kajian yang lebih dalam dan bisa dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya. Kalau tidak, seni lerok ini bisa dilirik dan dimiliki orang lain, dan kita hanya bangga sebagai penonton. (Nindya)
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: DERAP Anjuk Ladang, Edisi 185, Th. 2008, hlm. 25-26