Sunday, December 3, 2023
Semua Tentang Jawa Timur


Sunan Drajat, Penyebar Agama Islam di Kabupaten Lamongan

Di antara penyebar Islam di wilayah Lamongan, yang paling banyak dikenal oleh masyarakat adalah Sunan Drajat, karena beliau masih tergolong…

By Pusaka Jawatimuran , in Lamongan Sejarah Th. 1994 , at 15/11/2012 Tag: , , ,

Di antara penyebar Islam di wilayah Lamongan, yang paling banyak
dikenal oleh masyarakat adalah Sunan Drajat, karena beliau masih tergolong
Wali dalam jajaran WaliSongo atau Wali Sembilan yang terkenal di kalangan
masyarakat Jawa.

Sunan Drajat bernama kecil Syarifuddin atau Raden Qosim, sedang masyarakat luas juga mengenalnya dengan nama Masih Munat. Beliau putera Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran agama Islam dikuasai, beliau mengambil tempat di desa Drajat, wilayah Kecamatan Paciran, Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan, sebagai pusat kegiatan da’wahnya.

Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal sosiawan, sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Pendekatan dakwahnya memang terutama lebih dititik beratkan kepada dakwah bil-hal, yakni dakwah yang terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan ajaran.

Ajaran beliau yang dihafal orang-orang desa Drajat dan sekitarnya sampai sekarang merupakan rumusan filosofis-sosiologis, antara lain: Menehono teken marang toong kang wuta, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busono marang wong kang wudo, menehono ngiyub marang ivong kang kodanan

Arti secara harfiah ajaran tersebut adalah: Berilah tongkat orang yang buta, berilah makan orang lapar, berilah pakaian orang yang telanjang, dan berilah tempat berteduh orang yang kehujanan.

Maksud ajaran itu adalah “Agar memberikan ilmu dan petunjuk kepada orang-orang yang buta hati dan nalarnya; agar menyejahterakan kehidupan orang-orang miskin; agar mengajarkan kesusilaan kepada orang-orang yang tidak tahu malu; dan agar memberikan perlindungan kepada orang-orang yang menderita.”

Sunan Drajat di samping mengajarkan agama Islam yang berkenaan dengan kehidupan rohani dan nalar, beliau juga memberikan motivasi yang lebih ditekankan pada etos kerja dan kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah, karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yakni Desa Drajat (dulu bernama Desa Kadrajat) sebagai daerah perdikan atau otonom dari Kerajaan Islam Demak, pada tahun 1475 Saka atau 1553 M.

Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam di pesisir utara Jawa Timur dan usahanya menanggulangi kemiskinan serta menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Fatah, sultan Demak I.

Sunan Drajat dalam menyebarkan agama Islam kepada masyarakat di pantai utara Jawa Timur selain menggunakan pendekatan da’wah bilhal juga pendekatan seni budaya. Pendekatan seni budaya dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat yang pada waktu itu masih beragama Hindu atau Budha.

Sunan Drajat mendekati masyarakat dan  memasukkan ajaran agama Islam lewat pertunjukan seni gending dan tembang. Peninggalan Sunan Drajat berupa peralatan gamelan yang tersisa sampai sekarang diberi nama Museum Daerah Drajat, tempat menyimpan benda-benda Singo Mengkok. Disamping itu dalam sejarah, Sunan Drajat juga dikenal sebagai salah seorang Wali pencipta tembang macapat, yakni tembang pangkur. Konon kata pangkur itu menurut keratabasa (menerangkan arti kata-kata berdasarkan etimologi yang direka dari bentuk singkatannya yang cocok dengan akal) dari singkatan pang dan kur maksudnya ialah pangudi isine Kur’an artinya berusaha mengerti isi Al-Qur’ an. Lagu-lagu tembang tersebut memang diisi ajaran syari’at Islam. Sedang kata pangkur sendiri adalah bahasa Jawa kuna yang artinya pejabat kerajaan yang bertugas mengawasi agar perintah raja ditaati termasuk mengawasi pejabat yang dilarang memasuki daerah perdikan.

Selain dakwah yang bersifat umum, Sunan Drajat juga mendidik anak-anak secara tetap di masjid yang didirikan secara sederhana (sekarang sudah dipugar). Pendidikan ini tanpa dipungut bayaran sama sekali, sebaliknya bagi anak-anak yatim dan yang tidak mampu malah disantuni.

Sunan Drajat menyebarkan agama Islam di daerah Lamongan dan memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan selama 36 tahun. Setelah wafat, kedudukannya digantikan oleh puteranya yang bernama Raden Ngarip yang dikukuhkan oleh Sultan Demak II dengan gelar Panembahan Agung pada tahun saka 1442 atau tahun 1520 M. Adik-adiknya, Raden Ishaq dan Raden Sidik, juga diberi gelar, masing-masing sebagai Panembahan Galomantung dan Panembahan Sepetmadu, tetapi keduanya tidak berhak atas jabatan keprajaan.

Panembahan Agung kawin dengan Raden Ayu Sekarpuri, puteri Adipati Cokroyudo dari Kediri dan beroleh tiga orang putera, yaitu Raden Permadi, Raden Pajarakan dan Raden Pamekso. Setelah Panembahan Agung meninggal dunia, kedudukannya dalam keprajaan digantikan oleh Raden Permadi dengan gelar Panembahan Adikusumo.

Untuk menghormati jasa-jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan bagian utara dan untuk melestarikan budaya serta benda-benda bersejarah, Pemerintah Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan mendirikan Museum Daerah Sunan Drajat di sekitar makam beliau. Museum ini telah diresmikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur pada tanggal 31 Maret 1992. Sekarang, para peziarah ke makam Sunan Drajat akan dapat melihat dan menghayati benda-benda purbakala peninggalan beliau di Museum tersebut.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: LAMONGAN MEMAYU RAHARJANING PRAJA, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II, Lamongan 1994, hlm. 25

Comments


Leave a Reply

%d blogger menyukai ini: