Saturday, April 1, 2023
Semua Tentang Jawa Timur


Masa Perkembangan Hindu, di Kabupaten Lamongan

Lamongan di Masa Perkembangan Hindu Pengaruh agama dan kebudayaan Hindu di wilayah Lamongan agaknya cukup luas. Ini terbukti dengan ditemukannya…


Lamongan di Masa Perkembangan Hindu

Pengaruh agama dan kebudayaan Hindu di wilayah Lamongan agaknya cukup luas. Ini terbukti dengan ditemukannya arca dan lingga-yoni. Arca yang ditemukan di wilayah Lamongan sebanyak 7 buah, tersebar di wilayah Keca-matan Lamongan, Paciran, Modo, Sambeng,dan Kembangbahu.Sedang lingga dan yoni ditemukan di 3 wilayah Kecamatan, yaitu Ke-camatan Ngimbang, Kembangbahu dan Sugio. Nekara, disimpan di Museum Mpu Tantular Surabaya.

Belum dapat dipastikan sejak kapan pengaruh agama dan kebudayaan Hindu tersebut mulai berpengaruh dalam kehidupan masyarakat di wilayah Lamongan, tetapi munculnya wilayah ini dalam panggung sejarah Majapahit hingga mempunyai arti penting bagi kerajaan adalah pada akhir abad XIV. Peran wilayah Lamongan itu diketahui dengan ditemukannya 43 buah prasasti di wilayah ini.di-wilayah Lamongan.

Menilik sebaran prasasti yang ada di wilayah Lamongan, dapat dipastikan bahwa eksistensi masyarakat Lamongan dalam bidang politik dan keagamaan di samping merata, juga kuat. Sebaran prasasti itu terdapat di wilayah-wilayah Kecamatan meliputi Kecamatan Lamongan sebanyak 2 buah, Mantup 2 buah, Modo 7 buah, Ngimbang 8 buah, Sambeng 9 buah, Bluluk 6 buah, Sugio 2 buah, Deket 1 buah, Turi 1 buah, Sukodadi 1 buah, Babat 1 buah, Brondong 1 buah, dan Paciran 2 buah.

Dari 43 buah prasasti tersebut, 39 buah diguris di atas batu dan empat lainnya diguris di atas lempengan tembaga, yang dikenal dengan Prasasti Biluluk I, II, m, dan IV, disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti ini berasal dari zaman raja Hayam Wuruk (1350 – 1389) dan Wikramawardhana (1389 – 1429). Prasasti tersebut ditulis dalam huruf Jawa kuna dan telah ditranskrip oleh Dr. Callenfels dalam OV. 1917, 1918, dan 1919. H. M. Yamin memuat kembali transkrip itu dengan sari-terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia dalam bukunya Tatanegara Majapahit Vzrwa II. Museum Nasional menyalin kembali dalam buku Prasasti Koleksi Museum

Dari banyaknya prasasti yang ditemukan, diperoleh petunjuk yang kuat bahwa wilayah Lamongan merupakan wilayah yang cukup berarti bagi tumbuh dan berkembangnya suatu pemerintahan kerajaan, kebudayaan dan agama. Petunjuk lain yang dapat diperoleh ialah bahwa perhubungan antara pusat pemerintahan kerajaan dengan wilayah Lamongan sudah cukup ramai.

Prasasti Biluluk I-IV yang berangka tahun 1288 – 1317 Saka atau tahun 1366 – 1395 M merupakan surat atau titah raja yang ditujukan kepada keluarga kerajaan yang memerintah di Biluluk dan Tanggulunan.

Isi prasasti itu antara lain :

  1. Orang-orang Biluluk diberi wewenang untuk menimba air garam pada saat upacara pemujaan sekali setahun, sebagaimana yang telah mereka miliki sejak dahulu asal tidak diperdagangkan. Apabila diperdagangkan dikenakan cukai.
  2. Rakyat Biluluk dan Tanggulunan memperoleh perlindungan dan restu raja, sehingga siapa saja yang merugikan mereka akan terkena supata atau kutukan yakni akan menderita kecelakaan, seperti antara lain : apabila mereka berada di padang tegalan akan digigit ular berbisa, apabila masuk hutan akan diterkam harimau, apabila masuk rumah akan diselubungi dan dimakan api, di mana saja akan sengsara, celaka dan mati.
  3. Memberi kebebasan kepada rakyat Biluluk untuk melakukan berbagai pekerjaan seperti : berdagang, membuat arak, memotong, mencuci, mewarna, memutar (menurut Pigeaud, membuat tepung, gula aren atau tebu), dan membakar kapur tanpa dipungut pajak.
  4. Status daerah perdikan Biluluk dan Tanggulunan ditingkatkan dari daerah Sima menjadi daerah Swatantra. Sebagai daerah swatantra atau otonom dan rakyatnya yang dicintai oleh raja, mereka bebas dari kewajiban membayar upeti dan memberi jamuan makan serta bekal kepada para petugas kerajaan yang sedang lewat atau singgah. Mereka juga dibebaskan membayar berbagai macam cukai, seperti : perkawinan, dukun bayi, pembakaran jenazah, upacara kematian (nyadran), angkutan, pendirian rumah, pertunjukan, penitipan barang dagangan berupa cabai kemukus, kapulaga, besi, kuali besi, pinggan, rotan dan kapas.
  5. Petunjuk bahwa daerah Biluluk dan Tanggulunan diberi status swatantra, agar tidak lagi dikuasai oleh sang Katrini (pejabat tinggi negara), melainkan mempunyai kekuasaan terhadap tukang dan pegawai dengan hak-hak pengaturan perekonomian, keamanan dan ke­tenteraman.
  6. Kegiatan perekonomian di wilayah kerajaan Majapahit umumnya, di Biluluk dan Tanggulunan khususnya sangat penting artinya bagi negara dan penduduk sendiri. Komoditi perdagangan dari Biluluk yang menonjol adalah : garam, gula kelapa atau aren dan daging dendeng. Dendeng pada masa itu tergolong makanan mewah dan komoditas dagangan yang mahal. Bagi rakyat Bluluk sendiri, perdagangan dendeng sangat menguntungkan. Usaha yang juga berkembang di Biluluk ialah pencelupan atau pewarnaan kain, penggilingan beras atau tepung, dan bahan-bahan makanan dari tepung umbi atau kentang.
  7. Setiap tahun diselenggarakan keramaian atau pasar tahunan yang berfungsi sebagai promosi berbagai macam barang dagangan.

Menelaah prasasti Biluluk dan memperhatikan persebaran benda- benda peninggalan purbakala di wilayah Lamongan sekarang, kata Biluluk secara pasti dapat diidentifikasikan dengan Bluluk yang sekarang. Kata Tanggulunan agaknya tidak lain adalah Tenggulun yang sekarang menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Paciran berbatasan dengan Kecamatan Laren. Desa ini dalam buku Sejarah Brigade Ronggolawe disebut desa Trenggulunan. Sedangkan kata Papadang agaknya tidak berada dalam wilayah Lamongan, mungkin sekarang Desa Padang di wilayah Kecamatan Trucuk, Bojonegoro, yakni sebuah desa di tepian Bengawan Solo sebelah barat kota Bojonegoro atau mungkin Kecamatan Padangan dekat kota Cepu sekarang.

Dengan demikian wilayah Lamongan pada waktu itu terbagi ke dalam dua daerah swatantra atau daerah otonom, yaitu Bluluk di bagian selatan dan arat dan Tanggulunan di bagian utara dan timur wilayah Lamongan sekarang. Tentang adanya wilayah kekuasaan lebih dari satu di Lamongan, juga diperoleh informasi dari de Graaf dan Pigeaud, bahwa pada tahun 1541 dan 1542 Demak mengalahkan para penguasa di Lamongan

(zouden de heersers van Lamongati Tentang hubungan prasasti tersebut dengan Majapahit disebutkan dalam prasasti Biluluk I, yaitu

“makanguni kang adapur ing

majapahit, siwihos kuneng yan hanang riibuhakna wangsyaningong

kang biluluk, kang tanggulunan amangguba papa,        ……

artinya

“pertama sekali kepada dapur Majapahit, tetapi sekiranya ada yang merugikan rakyatku di Biluluk dan Tanggulunan, maka mereka itu akan menderita kecelakaan            ” Kata adapur menurut Pigeaud adalah kelompok pembuat garam. Kelompok pembuat garam ini di Majapahit memperoleh pujian atau penghargaan. Dengan demikian wilayah Bluluk dan Tanggulunan langsung atau tidak langsung berada dalam kekuasaan Majapahit.).

Dari isi prasasti itu juga dapat dimengerti kedudukan Lamongan terhadap Majapahit, yakni Lamongan termasuk kategori daerah yang strategis dalam politik Majapahit, karena daerah ini merupakan jalur penting menuju dunia luar dengan Tuban sebagai pelabuhan utama. Karena pentingnya itu, maka daerah-daerah tersebut diberi hak otonomi yang luas dengan hak-hak istimewa yang menyangkut ke­menangan mengatur perangkat pemerintahan, masyarakat, perpajak­an dan perekonomian atau perdagangan. Disamping itu kedua daerah otonom itu memperoleh perlindungan yang memadai jari Pemerintahan Kerajaan Majapahit. Untuk memantapkan ke­setiaan penguasa dan rakyatnya, kedua daerah tersebut dipercayakan dan dikuasakan kepada paman raja Hayam Wuruk sendiri yang bernama Sri Paduka Bathara Parameswara.

Dalam hubungannya dengan kegiatan perekonomian dan perdagangan, Lamongan (Bluluk dan Tanggulunan) agaknya menempati posisi yang cukup penting, karena jalur utama antara pusat kerajaan Majapahit dengan pelabuhan dagang Tuban harus lewat daerah ini. Jalur perjalanan itu diperkirakan melalui Mojokerto ke utara lewat Kemlagi, terus ke Pamotan – Wateswinangun – Lamongrejo – Ngimbang – Bluluk – Modo – Babat – Pucuk – Pringgobojo – Laren – terus ke Tuban. Dari Tanggulunan ke pusat kerajaan agaknya juga lewat Pringgoboyo dengan terlebih dahulu menyusuri Bengawan Solo

Desa Pringgoboyo, berdasarkan temuan batu bata kuna, diperkirakan sudah menjadi tempat yang ramai dan menjadi pos penjagaan kerajaan baik untuk kepentingan keamanan pusat kerajaan, maupun untuk kepentingan perbendaharaan kerajaan, yakni tempat memungut cukai barang dagangan yang lewat di jalur tersebut.,

Daerah Bluluk dan Tanggulunan di atas merupakan daerah penghasil daging yang dikeringkan (dendeng) dan juga kerajinan tangan, di samping komoditi ekspor garam, gula aren dan mrica.

Dalam hubungannya dengan kepercayaan keagamaan, ber­dasarkan temuan arca-arca syiwa yang tersebar di wilayah Lamongan, kiranya kebanyakan masyarakat Lamongan waktu itu beragama Hindu aliran Syiwa. Betapa agama ini telah demikian dalam dan luas penga­ruhnya ke dalam kehidupan dan budaya masyarakat Lamongan, dapat dilihat misalnya bentuk bangunan gapura yang berbentuk candi Bentar di komplek masjid Sendangduwur. Komplek masjid dengan gapura tersebut didirikan di suatu bukit yang disebut Gunung Amitunon (gunung pembakaran).

Tentang pengaruh agama Budha agaknya juga ada. Sekali pun tidak ada bukti peninggalan sejarah seperti arca Budha dan lain-lain, tetapi dari penuturan orang-orang tua di desa-desa bahwa agama orang zaman dahulu itu agama Budha dan zamannya bukan zaman Hindu, melainkan zaman Kabudhan. Kecuali yang sudah pernah bersekolah dan belajar sejarah, umumnya mereka tidak pernah menyebut-nyebut agama Hindu atau zaman Hindu.

dan 1542 Demak mengalahkan para penguasa di Lamongan (.zouden de heersers van Lamongan).

Tentang hubungan prasasti tersebut dengan Majapahit disebut-kan dalam prasasti Biluluk I, yaitu “makanguni kang adapur ingmajapahit, siwihos kuneng yan hanang rubuhakna wangsyaningongkang biluluk, kang tanggulunan amangguha papa, artinya “pertama sekali kepada dapur Majapahit, tetapi sekiranya ada yang me-rugikan rakyatku di Biluluk dan Tanggulunan, maka mereka itu akan menderita kecelakaan            ” Kata adapur menurut Pigeaud adalah kelompok pembuat garam. Kelompok pembuat garam ini di
Majapahit memperoleh pujian atau penghargaan. Dengan demikian wilayah Bluluk dan Tanggulunan langsung atau tidak langsung berada dalam kekuasaan Majapahit.

Dari isi prasasti itu juga dapat dimengerti kedudukan Lamongan terhadap Majapahit, yakni Lamongan termasuk kategori daerah yang strategis dalam politik Majapahit, karena daerah ini merupakan jalur penting menuju dunia luar dengan Tuban sebagai pelabuhan utama. Karena pentingnya itu, maka daerah-daerah tersebut diberi hak otonomi yang luas dengan hak-hak istimewa yang menyangkut ke­menangan mengatur perangkat pemerintahan, masyarakat, perpajak­an dan perekonomian atau perdagangan. Disamping itu kedua daerah otonom itu memperoleh perlindungan yang memadai jari Pemerintahan Kerajaan Majapahit. Untuk memantapkan ke­setiaan penguasa dan rakyatnya, kedua daerah tersebut dipercayakan dan dikuasakan kepada paman raja Hayam Wuruk sendiri yang bernama Sri Paduka Bathara Parameswara.

Dalam hubungannya dengan kegiatan perekonomian dan perdagangan, Lamongan (Bluluk dan Tanggulunan) agaknya menempati posisi yang cukup penting, karena jalur utama antara pusat kerajaan Majapahit dengan pelabuhan dagang Tuban harus lewat daerah ini. Jalur perjalanan itu diperkirakan melalui Mojokerto ke utara lewat Kemlagi, terus ke Pamotan – Wateswinangun – Lamongrejo – Ngimbang – Bluluk – Modo – Babat – Pucuk – Pringgobojo – Laren – terus ke Tuban. Dari Tanggulunan ke pusat kerajaan agaknya juga lewat Pringgoboyo dengan terlebih dahulu menyusuri Bengawan Solo.

Desa Pringgoboyo, berdasarkan temuan batu bata kuna, diperkirakan sudah menjadi tempat yang ramai dan menjadi pos penjagaan kerajaan baik untuk kepentingan keamanan pusat kerajaan, maupun untuk kepentingan perbendaharaan kerajaan, yakni tempat memungut cukai barang dagangan yang lewat di jalur tersebut..

Daerah Bluluk dan Tanggulunan di atas merupakan daerah penghasil daging yang dikeringkan (dendeng) dan juga kerajinan tangan, di samping komoditi ekspor garam, gula aren dan mrica.

Dalam hubungannya dengan kepercayaan keagamaan, ber­dasarkan temuan arca-arca syiwa yang tersebar di wilayah Lamongan, kiranya kebanyakan masyarakat Lamongan waktu itu beragama Hindu aliran Syiwa. Betapa agama ini telah demikian dalam dan luas penga­ruhnya ke dalam kehidupan dan budaya masyarakat Lamongan, dapat dilihat misalnya bentuk bangunan gapura yang berbentuk candi Bentar di komplek masjid Sendangduwur. Komplek masjid dengan gapura tersebut didirikan di suatu bukit yang disebut Gunung Amitunon (gunung pembakaran).

Tentang pengaruh agama Budha agaknya juga ada. Sekali pun tidak ada bukti peninggalan sejarah seperti arca Budha dan lain-lain, tetapi dari Penuturan orang-orang tua di desa-desa bahwa agama orang zaman dahulu itu agama Budha dan zamannya bukan zaman Hindu, melainkan zaman Kabudhan. Kecuali yang sudah pernah bersekolah dan belajar sejarah, umumnya mereka tidak pernah menyebut-nyebut agama Hindu atau zaman Hindu.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: LAMONGAN MEMAYU RAHARJANING PRAJA, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II, Lamongan 1994, hlm. 19-21

%d blogger menyukai ini: