Thursday, October 10, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Egrang, Permaianan di Kabupaten Jember

Egrang dan Perubahan Sosial Egrang bisa memicu proses perubahan sosial. Dan itulah yang terjadi di Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember. Egrang…

By Pusaka Jawatimuran , in Jember Seni Budaya Th. 2011 , at 07/11/2012 Tag: , , , , , ,

Egrang dan Perubahan Sosial

Egrang bisa memicu proses perubahan sosial. Dan itulah yang terjadi di Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember. Egrang adalah permainan anak tradisional, yakni semacam kaki panjang buatan dari bambu yang membuat para pemakainya lebih jangkung. Di perkotaan, permainan ini nyaris tak tampak. Namun di desa seperti Ledokombo, egrang adalah bagian dari tradisi dan kehidupan sosial. Saat Ledokombo diterpa banjir pada masa lalu, warga menggunakan egrang sebagai alat transportasi.

Dari permainan egrang, pasangan suami-istri Suporahardjo dan Ciciek Farha membentuk sebuah kelompok bermain dan belajar bernama Tanoker. Dalam bahasa Madura Pendalungan, tanoker berarti kepompong. Tanoker, kepompong, sebuah bagian dari transformasi kehidupan kupu-kupu. Halaman belakang rumahnya yang semula belukar dibersihkan dan dijadikan sebagai tempat bermain. Tak banyak yang peduli dengan ‘kepompong’ Ciciek ini, awalnya. Ada pula yang curiga, mengapa anak-anak hanya diajarkan bermain. Pada akhirnya, permainan anak-anak itu tak hanya egrang, tapi juga permainan tradisional lainnya.

Ciciek jalan terus, la meyakini, anak-anak akan membawa perubahan sosial dan mengubah stereotip masyarakat Madura. Hasilnya? “Waktu anak-anak bermain playstation berkurang banyak. Mereka malah senang bermain egrang, bakiak,” katanya.Permainan anak tradisional menjadi alternatif sehat. Dari permainan itu, anak-anak belajar untuk sportif, menaklukkan tantangan, tak curang, dan berbagi.”Jangan anggap enteng bermain. Permainan anak tradisional memiliki filosofi luar biasa, ramah lingkungan, dan mengajarkan team work,” kata Ciciek. (*)       

Suporaharjo dan Ciciek Farha

Tanoker muncul dari ide pasangan suami istri ini: Suporaharjo dan Ciciek Farha. Keduanya intelektual aktivis yang mau kembali ke daerah, menin- ggalkan pusat untuk membangun kehidupan sosial masyarakat yang lebih baik. Semuanya diawali dari egrang. Dan dari permainan yang tampak remeh itu, mereka membuat perubahan sosial di Kecamatan Ledokombo. Reporter De Kopler mewawancarai mereka untuk Majalah Halo Jember.

Apa makna kehadiran Tanoker di Ledokombo? SR: Tanoker berharap bisa membangun di Ledokombo lingkungan yang ramah kepada anak. Di Ledokombo, orang tua bekerja seba­gai buruh tani, banyak yang bekerja sebagai buruh migran. Anak-anak kadang waktu kecil banyak bekerja. Tanoker mendorong ba­gaimana bersama-sama membangun ruang bermain bagi anak-anak.

Pelan-pelan kita arahkan pandangan:  bagaimana orang tua yang susah, tapi anak-anak harus bahagia. Kenapa menggunakan egrang sebagai sarana?

CF: Kita adalah masyarakat multikulturyang merayakan keberagaman dengan segala keinda­hannya. Merakit mozaik-mozaikyang tak selalu sama. Kadang kita perlu energi. Egrang dalam konteksi multikultur, sengaja atau tidak, ternyata bukan hanya ada di Indonesia. Saya chatting den­gan kawan di Belanda, Jepang, Australia, ternyata di sana egrang ada. Ini berarati budaya interna- sional.Tidaktahu siapa yang mulai.

SR: Sekarang masyarakat mulai senang. Sekolah bikin lomba egrang. Egrang bukan semata-mata pemainan, tapi ada unsur enter­tainment. Kalau hanya egrang bermain, anak- anak tidak greget. Kita coba agar bagaimana permainan ini jadi sebuah hal yang prestisius, sehingga anak-anak bangga bermain.

CF: Mimpi anak-anak bisa menggelar fes­tival internasional, karena di masing-masing negara egrang ada, tinggal membangun jaringan. Kebetulan di Komite Olahraga Na­sional Indonesia (KONI) ada cabang olahraga nonprestasi. Siapa tahu egrang bisa didorong berprestasi di tingkat nasional atau interna­sional. Bagaimana menjaga kelangsungan hidup egrang di Tanoker?

SR: Festival sudah jalan.Kita bikinkan race, lomba gerak jalan egrang, kita mulai dengan pawai. Kita libatkan kelompok-kelompok seni, seperti grup-grup musik patrol, can-macanan. Kami upayakan egrang dikelola se­bagai entertainment. Sebetulnya kami ingin bagaimana bisa masuk ke kurikulum sebagai ekstrakurikuler. Dari segi pengendalian diri juga lebih bagus buat anak-anak. Tanoker sih ingin membangun ruang bermain bagi anak- anak. (*)

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: HALO JEMBER edisi 7 tahun 2011, hlm. 25