Merawat Jenazah, Tradisi Kematian Daerah Jawa Timur
Apabila kematian seseorang jatuh pada hari Selasa Kliwon, menurut kepercayaan sebagaian bmasyarakat Jawa Timur, termasuk hari baik, sebab saat itu…
Apabila kematian seseorang jatuh pada hari Selasa Kliwon, menurut kepercayaan sebagaian bmasyarakat Jawa Timur, termasuk hari baik, sebab saat itu merupakan hari turunnya wahyu Pada umumnya pengetahuan tentang saat yang dianggap baik dan buruk bagi orang yang meninggal, dipercayai sebagai pertanda adanya kebaikan atau keburukan bagi keluarga yang ditinggalkan. Di kalangan masyarakat dikenal cara menghitung dengan menyebut : gunung, guntur, segara, asad; yang diulang-ulang sampai jumlah neptu yang dimaksudkan tercapai. Hitungan lain adalah : pancuran, sendang, segara, asad. Dengan mencari perpadanan antara jumlah neptu dengan jatuhnya hitungan tersebut, dapat memberi petunjuk apa yang akan terjadi sekiranya orang yang meninggal jatuh pada hari Rabu Pon, misalnya.
Jenazah, sementara tetap dibiarkan pada tempatnya semula, hanya dibetulkan letak tangannya yang disilangkan di dada (sedakep). Kelopak matanya dikatupkan, mulutnya yang menganga dirapatkan.3) Pada pergelangan tangannya, diikat dengan sapu tangan, demikian pula pada pergelangan kaki. Dengan mengikat bagian-bagian tersebut dimaksudkan agar posisi tangan dan kaki tidak berubah.
Setelah seorang meninggal dunia, biasanya mayat dipindahkan dari tempat matinya ke ruangan tengah. Diletakkan pada dipan (meja) atau tempat yang tinggi, tidak di tanah karena kebiasaannya orang menghormati dan agar mudah perawatan maupun pengawas annya. Tetapi ada kalanya mayat dibiarkan di tempat semula dengan bujur ke arah mana saja. Hal ini dilakukan, karena mereka mempunyai kepercayaan tidak berani mengubah kehendak orang tuanya yang meninggal dunia. Karena menurut kepercayaan mereka bujur orang yang meninggal tersebut merupakan bujur yang baik. Baru dipindahkan ke tempat yang lain setelah mayat akan dimandikan. Di desa ini dan sekitarnya, ada beberapa sebutan bagi mayat, yaitu layon, jisim atau jenazah.
Segera setelah meninggal, jenasah itu dibaringkan pada tempat yang khusus, yaitu dipan atau bangku panjang. Bangku ini dilapisi dengan tikar dan kain panjang. Pada keempat kakinya dimasukkan kaleng yang berisi air. Maksudnya agar jenazah tersebut tidak dijangkau oleh binatang kecil, seperti semut, lipan, kecoak dan lain- lain.
Daerah ini juga mengenal kebiasaan membaringkan jisimnya di lantai, yang sudah dilapisi tikar, ada pula yang meletakkannya di atas meja panjang. Jika mayat itu dibaringkan di lantai, hal itu mempunyai lambang bahwa manusia itu berasal dari bumi, tetapi tentang meletakkan jisim di atas bangku, meja atau lantai mempunyai perlambang adanya hubungan/sentuhan dengari tanah. Sedang air yang terdapat pada kaleng yang digunakan untuk alas kaki dipan, atau meja, adalah lambang air. Di dekat kepala jenazahnya diletakkan pula sebuah sentir, atau lentera, lampu minyak kelapa. Menurut keterangan penduduk, lampu sentir itu melambangkan api.
Orang yang sudah meninggal, dibaringkan dengan posisi membujur ke arah utara-selatan. Ada beberapa keterangan tentang posisi mayat yang demikian itu, antara lain :
- Untuk melambangkan bumi, sebab posisi bumi di mata angin utara. Sedang air, berada di posisi mata-angin selatan. Apinya dilambangkan dengan lentera atau sentir, atau damar, ublik yang berada di dekat jenazah. Keterangan tersebut berhubungan dengan asal- usul manusia yang terdiri dari unsur tanah (bumi), air dan api. Lentera atau sentir itu juga dimaksudkan agar rokh si mati tidak tersesat dalam perjalanannya ke akherat.
- Terdapat kepercayaan bahwa mayat dibujurkan ke arah utara- selatan, dimaksudkan sebagai lambang bahwa kalau jisim itu dimiringkan, dengan telinga kanan berada di bawah, maka posisi orang itu akan menyerupai orang yang bersembahyang, menghadap kiblat.
Selama menunggu untuk dimandikan, jenazah tersebut harus dijaga, maksudnya ditunggui terutama oleh ahli warisnya. Biasanya pekerjaan ini dilakukan secara bergantian. Dianjurkan selama menunggui jenazah, tidak boleh memperbincangkan hal-hal yang buruk, baik tentang yang meninggal atau orang lain (dalam bahasa Jawa: ngrasani). Menangis secara berlebihan. Dianjurkan membaca Salawat dan membaca Al-Quran.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Jawa Timur : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan; Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional; Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1985 – 1986, hlm.