Joko Jumput
Adipati Cakraningrat di kadipaten Sampang, Madura sedang mengadakan sidang paripurna. Segenap nayaka praja hadir pada balai persidangan agung. Lengkaplah sudah…
Adipati Cakraningrat di kadipaten Sampang, Madura sedang mengadakan sidang paripurna. Segenap nayaka praja hadir pada balai persidangan agung. Lengkaplah sudah yang hadir pada waktu itu, menghadap Adipati Cakraningrat Tidak ketinggalan pula, pembantu utama kadipaten Sampang, Patih Gajah Seta dan Patih Gajah Manggala, hadir pula sebagai tetua kadipaten Sampang. Demikian juga pada waktu itu hadir Raden Situbanda, putra Adipati Cakraningrat.
Sidang berjalan seperti pada persidangan-persidangan biasanya, Adipati Cakraningrat, minta laporan segala hal tentang kadipeten Sampang mualai dari laporan tentang keamanan dan ketenteraman samapai pengairan pertanian di Kadipaten Sampang, Madura. Setelah membicarakan masalah-masalah yang sudah menjadi laporan rutin harian, ada keperluan khusus yang ingin dibicarakan oleh Adipati Cakraningrat, maka pada waktu itu ada suatu persoalan yang sangat penting yang perlu dibicarakan dalam sidang agung tersebut.
Maka pusat pembicaraan beralihlah pada masalah Raden Situbanda yang ingin melamar seorang dara yang cantik jelita dari Katumenggungan Surabaya yakni Dewi Purbawati, putra pamanda Tumenggung Jayengrana. Purbawati adalah seorang gadis yang kecantikannya merupakan bahan kekidungan para penembang, yang selalu didendangkan oleh setiap pria yang mengagumi kecantikannya. Tidaklah mengherankan kalau banyak putera raja, bupati dan adipati yang ingin mempersuntingnya, menjadikan pasangan hidupnya.
Demikian juga pada waktu itu Raden Situbanda yang sudah menginjak dewasa mulai terkena panah asmara sang dara cantik jelita. Maka sudah selayaknyalah sebagai seorang ayah yang mencintai anaknya, Adipati Cakraningrat, membawa persoalan putranya itu ke balai persidangan agung, untuk dibicarakan dengan segenap nayaka praja Kadipaten Sampang, Madura.
Akhirnya sidang agung itu mengambil keputusan, mengirimkan duta ke Katumenggungan Surabaya, melamar Dewi Purbawati. Maka segera berangkatlah Patih Gajah Seta serta Patih Gajah Manggala, dengan diiringkan oleh prajurit lengkap dengan segala persenjataan, menuju ke Katumenggungan Surabaya. Raden Situbanda pun tidak mau ketinggalan, ikut serta pula dalam rombongan.
Sebenarnya, jika dipertimbangkan dengan nalar yang bening, Raden Situbanda, sama sekali tidak sepadan bila hendak mempersunting sang dara cantik jelita Purbawati. Sebab Raden Situbanda itu mempunyai cacat badan yang sangat mengerikan. Wajahnya sangat jelek, matanya sebelah membengkak, dan mempunyai noktah hitam yang mengerikan pada wajahnya. Apakah Purbawati akan bisa menerima dia sebagai suaminya karena wanita-wanita yang memandang wajahnya merasa ngeri, sebab memang sebenarnya sangat mengerikan.
Dengan cepat perjalanan rombongan Gajah Seta, Gajah Manggala dan Raden Situbanda sampai di tlatah Katumenggungan Surabaya. Pada waktu itu di Katumenggungan Surabaya sedang diadakan persidangan agung, membicarakan tentang banyaknya lamaran-lamaran yang masuk ke Kadipaten Surabaya. Para bupati, putra raja, adipati, tiada henti-hentinya berdatangan ke Katumenggungan Surabaya. Semua mempunyai maksud yang sama yaitu hendak mempersunting sang dewi Purbawati.
Demikianlah ketika mereka sedang bersidang, datang seorang tamtama, yang mengatakan bahwa di luar ada utusan dari Kadipaten Sampang yang berkeinginan menghadap sang Tumenggung Jayengrana. Maka utusan Kadipaten Sampang yang dimpimpin oleh Patih Gajah Seta itu pun dipersilahkan masuk, menghadap sang Tumenggung Jayengrana. Setelah berbasa-basi seperlunya, maka Patih Gajah Seta pun segera mengutarakan maksudnya, bahwa dia diutus mewakili Adipati Cakraningrat untuk menyampaikan lamaran, pada Dewi Purbawati, akan dipersandingkan dengan Raden Situbanda putra Adipati Sampang. Demikianlah atas nama Adipati Cakraningrat, Patih Gajah Seta dan Patih Gajah Manggala menyampaikan segala suka duka Cakraningrat yang telah ditangisi oleh puteranya, minta supaya dapat mempersunting Dewi Purbawati, putri Katumenggungan Surabaya.
Mendengar apa yang disampaikan oleh Patih Gajah Seta ataupun Gajah Manggala, hati Jayengrana menjadi agak bingung. Jauh dalam hatinya ia akan menolak lamaran tersebut, karena rasanya memang tidak sepadan sama sekali apabila Dewi Purbawati yang cantik itu bersanding dengan Raden Situbanda yang jelek rupa. Namun agar tidak menyinggung perasaan para utusan, maka Tumenggung Jayengrana mengatakan ia tidak berkeberatan, asal yang menjalani perkawinan itu sanggup. Maka kemudian dipanggilnya putrinya, Dewi Purbawati. Sang Dewi Purbawati kemudian diberitahu oleh ayahandanya, bahwa kedatangan Raden Situbanda ke Katumenggungan Surabaya tiada lain ialah hendak melamar Purbawati. Purbawati menyaksikan Raden Situbanda yang tampangnya mengerikan itu dalam hatinya menolak lamarannya. Namun supaya tidak tersinggung, maka ia kemudian membuat sayembara Barang siapa dapat membuka hutan Kitri, maka dialah yang akan menjadi suaminya.
Hutan Kitri adalah sebuah hutan belantara yang masih sangat liar dan sangat wingit dan angker. Hutan perawan ini dijaga oleh jin setan, peri perayangan, ilu-ilu banaspati, hantu tetekan, dan segala makhluk halus yang lain, Ibaratnya, manusia yang berani masuk ke hutan itu pasti mati, binatang pun tidak akan bisa lari dari kematian yang mengerikan bila berani masuk ke dalam hutan yang masih angker tersebut. Jadi Dewi Purbawati mengatakan, bila seseorang ingin mengawini dia harus membuka hutan Kitri hanyalah merupakan suatu cara menolak lamaran, karena usaha membuka hutan itu adalah sebuah usaha yang konyol. Demikianlah gagasan sang Dewi Purbawati.
Raden Situbanda dan para utusan telah mendengarkan apa yang diminta Purbawati. Yakin akan kekuatannya sendiri, maka Raden Situbanda pun menyanggupi apa yang diminta oleh Purbawati. Setelah mohon doa restu dan mohon diri, maka mereka pun berangkatlah menuju hutan larangan tersebut, untuk mengadu nasib. Hutan Kitri memang bukan hutan sembarangan, karena hutan itu sangat angkernya. Namun Raden Situbanda telah bertekad untuk membuka hutan itu, dengan harapan utama dapat mempersunting sang dara jelita Purbawati.
Sampai rombongan itu di hutan Kitri, namun ternyata tidak ada hal yang mengkawatirkan, sehingga dengan leluasa rombongan Raden Situbanda dapat membuka hutan, setelah selesai membuka sebagaian hutan. Setelah istirahat berucaplah Raden Situbanda: “Mbesuk nek onok rejo rejane zaman tlatah iki karan deso WONO KITRI” (Besok kalau dunia sudah ramai daerah ini akan disebut desa WONO KITRI (WONO=hutan kitri). Kemudain rombongan itu melanjutkan usahanya untuk membuka hutan kitri. Namun baru beberapa langkah, di depan Nampak hutan yang sangat indah, sepajang mata memandang yang Nampak hanya tanaman bunga, maka oleh rombongan Raden Situbanda tanaman dilalui begitu saja tanpa disentuh sedikitpun, dan berucaplah Raden Situbanda: “ Mbesuk nek onok rejo rejane zaman tlatah iki karan deso WONO SARI” (hutan sari/asri).
Setalah uasaha membuka hutan sudah mencampai setengahnya barulah mendapat gangguan, memang nama hutan Kitri bukan kosong belaka, disinalah yang disebut hutan yang berbahaya, untuk mengingat maka berucaplah Raden Situbanda: “Mbesuk nek onok rejo rejane zaman tlatah iki karan deso WONO BOYO” (hutan yang berbahaya). Selanjutnya mereka segera disambut oleh jin penghuni hutan itu, yang merasa sangat terganggu akan kedatangan manusia ke hutan itu. Manusia telah merusak kedamaian mereka. Oleh sebab itu mereka sangat marah. Terjadilah perselisihan yang mengakibatkan pertempuran. Raden Situbanda yang tidak mau mundur dengan Jin Kewagean demikian nama jin yang menghalangi tersebut, namun Jin Kewagean tidak mau kalah dia tetap menghalangi dengan merubah dirinya menjadi SIMO (singa), untuk menandingi kesaktian Raden Situbanda, dan tetap melarang manusia masuk ke dalam wilayahnya. Namun akhirnya ternyata bahwa Raden Situbanda juga bukan nama yang kosong belaka. Putra Cakraningrat yang terkenal, ternyata juga sehebat itu pula nama anaknya, Raden Situbanda. Jin Kewagean yang merubah dirinya menjadi sima tersebut bisa dikalahkan oleh Raden Situbanda, dan akhirnya dapat dibunuh oleh Raden Situbanda.
Setelah jin Simakewagean tewas, pada tempat terbunuhnya Simo Kewagean itulah Raden Situbanda berucap. “Mbesuk nek onok rejo rejane zaman tlatah iki karan SIMO KEWAGEAN” (Kelak bila bila menjadi daerah yang ramai, maka daerah ini akan disebut sebagai Simakewagean). Kemudian rombongan itu meneruskan usahanya untuk membuka hutan kitri. Namun segera kemudian mereka dihadang oleh jin yang lain, yang merasa sangat terganggu dengan kehadiran manusia di tengah-tengah mereka. Jin itu pun protes keras dan melarang mereka membuka hutan milik mereka. Terjadilan perselisihan yang berakhir dengan pertempuran. Jin itu yang namanya adalah jin KALANGAN. Untuk menandingi kesaktian Raden Situbanda, jin Kalangan juga merubah dirinya menjadi SIMO pula. Namun akhirnya mati juga di ujung senjata Raden Situbanda. Untuk memperingati jin yang menguasai daerah itu, maka Raden Situbanda berucap bahwa, “Mbesuk nek onok rejo rejane zaman tlatah iki karan SIMO KALANGAN” daerah itu akan disebut Simakalangan.
Setelah jin kalangan tewas, muncullah jin yang lain yang disebut Jin Katrungan, belapati (membalas kematian) terhadap saudara-saudaranya. Seperti kedua jin telah mati, Jin Katrungan juga merubah dirinya menjadi SIMO. Maka terjadilah pertempuran yang juga berakhir dengan kematian. Jin Katrungan. Demikian untuk memperingati nama jin itu maka Raden Situbanda berucap, bahwa kelak daerah itu akan menjadi sebuah daerah dengan nama SIMO KATRUNGAN. Berhasillah Raden Situbanda membuka hutan yang sangat angker itu melalui perjuangan yang sengit dan penuh dengan taruhan nyawa. Merasa puas dengan hasil pekerjaannya, maka kembalilah Raden Situbanda ke Katumenggungan Surabaya, untuk menagih janji Dewi Purbawati. Cak WhoDw
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Sumber: dari cerita tutur (Cerita Ludruk)