Ritual Larung Sesaji di Papuma, Kabupaten Jember
Acara ritual tahunan ini, disebut larung sesaji penyelenggaraan tradisi budaya ini digelar di Pantai Pasir Putih Malikan (Papuma). Ada keriuhan,…
Acara ritual tahunan ini, disebut larung sesaji penyelenggaraan tradisi budaya ini digelar di Pantai Pasir Putih Malikan (Papuma). Ada keriuhan, ditingkahi wangi asap dupa, kemenyan. Sepotong kepala kambing dil- etakkan di atas miniatur kapal dan diarak bersama-sama menuju samudera.
Para pengaraknya memakai pakaian adat Jawa, dengan iringan reog Singo Budoyo. Mereka memasuki pekarangan vihara, dan berhenti di salah satu ceruk tempat sesaji. Ini Vihara Dewi Sri Wulan. Warnya didominasi merah, dengan menara bundar berkisi-kisi emas menjulang tinggi. Dalam ceruk, seekor singa dan bangau berdiri. Vihara ini konon dulu hanya sebuah gubuk kecil. Seorang dermawan yang tak ingin dikenal membantu mempermegah vihara itu.
Lebih dari 30 orang bekerja sama membangun vihara tersebut selama setahun. Vihara itu disebut-sebut sebagai Vihara Dewi Kwan Im terbesar dan satu- satunya yang menghadap laut selatan. Tak ada vihara lain yang memiliki keunikan ini.
Satu-satunya di Asia Tenggara. Banyak orang yang datang dan beribadah di sini dan memberikan pemasukan yang besar. Bahkan ada pula turis manca negara seperti Jerman, Iran, Israel dan Cina yang datang ke sini.
Di ceruk vihara itu, doa dilantunkan untuk sesaji, sebelum dibawa ke pantai. Di tengah pantai Papuma, sejumlah sesepuh dan pemimpin vihara mendorong ‘kapal’ sesaji itu ke tengah laut. Sesaji itu adalah perwujudan rasa syukur masyarakat nelayan di selatan Jember, atas melimpahnya panen ikan tahun ini. Mereka berharap, panen ikan terjadi sepanjang tahun. Selamanya.
Larung sesaji juga lukisan harmoni masyarakat Jember selatan. Seniman, jag- awana, polisi, tokoh adat, tokoh agama, dan penjaga vihara, tumplek blek. Tahun lalu, barongsai menjadi seni tradisi yang dimainkan. Tahun ini, reog menjadi pilihan. Malam sebelumnya, wayang kulit sudah digelar, mendahului acara larung di siang itu.
Bagi sebagian kalangan, larung sesaji adalah perpaduan atau sinkretisme sejumlah elemen agama: Islam, kejawen, Konghucu. Acara ini sudah lima kali digelar selama lima tahun terakhir. Dalam perkembangannya semakin banyak masyarakat dan wisatawan yang tertarik pada upacara ini.
Tentu saja, ini aset wisata budaya yang unik dan menarik. Tak hanya mempromosikan keindahan, tapi juga makna kedamaian sebuah perbedaan dalam masyarakat yang beragam. (*)
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Majalah Pariwisata Jember,