Thursday, October 10, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Madakaripura, Kabupaten Probolinggo

Misteri Madakaripura, Misteri Paguron Desa Negarejo Embek, embek, embek…! Setiap hari Jum’at apalagi pada Sukra Manis begitu orang Jawa menyebut…

By Pusaka Jawatimuran , in Legenda Probolinggo Seni Budaya Th. 1990 , at 23/10/2012 Tag: , , , , , ,

Misteri Madakaripura, Misteri Paguron Desa Negarejo

Embek, embek, embek…! Setiap hari Jum’at apalagi pada Sukra Manis begitu orang Jawa menyebut hari Jum’at Legi. Pasti terdengar suara kambing mengembik dari arah hutan kecil. Itulah yang berlangsung sejak dulu hingga kini di satu dukuh bernama Krajan di desa Negarareja, kecamatan Lumbang, Probolinggo. Darah mengucur selalu di sana, menetes ke tanah makam kuna di hutan itu. Daging kambing itu pun dibagi-bagikan ke setiap orang yang ikut hadir, ikut mengharap “berkah” dari “Mbah Sujud” yang dimakamkan. Kuburan tua inilah yang sejak lama disebut “Pegu ron”. Tempat berguru!

SIAPA yang disebut sebagai Embah atau Eyang Sujud, masyarakat setempat sendiri hanya mampu samar-samar menceritakan. Eyang Sujud itulah orangnya yang pertama membuka, babad alas mendirikan desa yang berpusat di dukuh Krajan ini. “Mulai kakek-nenek kami sudah disebut Mbah Sujud dan Lemah (tanah) Peguron,” begitu warga dukuh bersaksi. Yang jelas ternyata tidak hanya warga setempat sendiri yang pada hari Jum’at sengaja melak-sanakan upacara di tanah Peguron, tapi juga ada saja yang sengaja datang dari luar daerah Probolinggo. Khususnya mereka yang tergolong “pinter”, tergolong orang Jawa yang su­ka “ilmu”, tahu bahwa ada “yoni” di petilas­an Mbah Sujud.

Pokokipun tiyang pundi-pundi katah ingkang namu” (Pokoknya orang dari mana-mana ada saja yang ke sana), tutur bangga mbah Sahat, nenek tua yang tetap sehat wa­lau usia hampir 100 tahun dan masih meladeni siapa saja yang ingin dipijat. Cerita mbah Sa­hat, dulu terlalu sering orang datang “nyepi” ke Peguron untuk memperoleh kesaktian. Masih ingat si nenek ketika masa mudanya sering melihat langsung orang yang sedang mencoba kadigdayan, kesaktian mereka yang diperoleh dari Peguron. Bacok-membacok, tapi nyatanya tak ada luka sedikit pun di badan mereka. Yang hancur hanyalah pakai­an, baju dan sarung robek tak karuan. Dulu, beberapa pendekar ikut menjaganya. Supaya perampok, pencuri dan orang-orang jahat lainnya tidak ikut nyepi di kuburan Peguron. Ketika zaman revolusi itulah Peguron amat penuh dengan para pejuang kita yang nyepi cari kekebalan. Ternyata menurut cerita, me­reka jadi tak mempan peluru oleh tembakan para tentara Belanda. “Saya jadi awet sehat, tetap diberi umur panjang ini juga karena tak melupakan ke sana,” mengaku mbah Sahat.

Si Kuru lan Si Lemu
Ini kisah yang terjadi berabad-abad silam. Ada 2 lelaki bersaudara sedang bersaing mencari kesempurnaan hidup, untuk menda­patkan tempat tertinggi di sorga nanti. Yang sulung bernama Si Kuru sebab kurus-kering kurang makan, sedang adiknya Si Lemu yang berbadan gemuk. Si Kuru setiap harinya ber­puasa terus, kalau makan hanya dedaunan yang masuk ke perut. Itu pun dilakukan ha­nya demi kelangsungan hidupnya. Sedang Si Lemu memakan apa saja yang dapat dima­kan, asal tidak merugikan orang lain. Kedua­nya selama bertahun-tahun memang dikenal paling suka memberikan pertolongan apa saja terhadap masyarakat. Juga, selalu memba­ngun keperluan keagamaan.

Di usia menjelang kematiannya, Dewa da­tang mencoba. Seekor harimau putih disuruh mendatangi kedua bersaudara itu. “Saya la­par, sudah lama tidak mendapatkan daging segar,” ucap si harimau yang bertubuh besar, sambil mengaum menakutkan, nampak gigi dan taringnya. “Apa tidak salah memilih saya yang kering,” jawab Si Kuru gerqetar, keri­ngat dingin mengalir dari seluruh tubuhnya. “Tapi kalau Dewa memang menentukan saya yang jadi korban, saya pun menurut,” lanjutnya. Harimau itu mengaum, lantas mengangguk-angguk mengatakan bahwa Si Kuru merupakan salah satu contoh manusia yang mulia. Ketika harimau itu ganti berta­nya ke Si Lemu, langsung pula manggut- manggut memuji kemuliaan jiwanya. Sebab Si Lemu langsung bersedia menjadi korban.

Kedua bersaudara itu mendengar janji ba­kal masuk sorga. Tapi tetap penasaran belum mendapat kepastian siapa di antara keduanya yang lebih tinggi derajatnya di sorga, nanti. Si Kuru lantas menggugat Dewa, selekasnya di­beri jawaban. Begitulah, lalu ada petunjuk Lengkapnya  supaya keduanya bertapa, menyongsong kematian, mengakhiri kehidupan dengan sem­purna. Si Kuru memilih di puncak satu bukit. Si Lemu di dalam hutan. Sebab konsentrasi­nya maka keduanya tetap duduk bersila sela­ma berminggu-minggu, tanpa makan, mi­num dan tidur. Percuma saja berbagai binatang dan mahluk halus menggoda, memba­ngunkannya. Tiba-tiba saja puncak bukit jadi hangus, terbakar. Dari panas badan Si Kuru yang menuntut Dewa agar selekasnya roh di­rinya melayang menuju sorga. Memang dika­bulkan. Si Kuru terbang lebih dulu masuk ke Nirwana.

Beberapa lama kemudian barulah Si Lemu menyusul, memang tiba waktu sebenarnya meninggal dunia sebab usia, sebab raga tak loiasa lagi bertahan. Di Nirwana, Si Kuru ma­sih belum puas. Tetap bertanya ke Dew ; siapa sebenarnya yang lebih tinggi derajat di dalam kehidupan sorganya. Dewa pun lalu menyuruh menyaksikan sendiri pada tempat bekas yang mereka gunakan bertapa. Siapa lebih tinggi derajat, maka bekas tempat ber­tapa, petilasannya didatangi peziarah. Sebab

ketika hidupnya Si Kuru lebih sering memin­ta pada Dewa dibanding Si Lemu. Maka se­bagai gantinya peziarah yang datang memin­ta di petilasan Si Lemu oleh Dewa dikabul­kan. Nah, sejak itulah makam alias petilasan Si Lemu didatangi orang. Sedang petilasan Si Kuru semakin jarang didatangi, akhirnya di­lupakan, dan dimana bekasnya, orang zaman kini tidak bisa lagi menunjukkan. Petilasan Si Lemu sebaliknya semaian dikenal sebagai makam Mbah Sujud alias Mbah Ujud. Sebab disitulah orang berziarah bersujud, lantas permintaannya berwujud, terlaksana.

Gending Punggung Gunung
Ketika kedua bersaudara itu “muksa” me­nuju Nirwana, konon, dari kerajaan para De­wa terdengar alunan gending-gending de­ngan tetabuhan gamelan Lokananta. Cerita­nya, seperangkat gamelan maupun sejumlah wayang kulit kadang menampakkan diri di punggung gunung kecil yang berada di atas pedukuhan Krajan. Untuk melihatnya di zaman kini memang terbilang langka, sebab haruslah orang yang mencapai “ilmu” tinggi.

Namun bagi masyarakat awam, sejumlah wayang kulit itu bisa dilihat sewaktu-waktu di sana. Sebagai sejumlah batu biasa, tapi kalau dibayang-bayangkan, kok, menyerupai wayang. Makanya disebut Watu Wayang.

Watu Wayang sepertinya sengaja berha­dapan dengan puncak Bukit Pesantren yang berada di wilayah kabupaten Pasuruan. Ya, dari kedua puncak itu bila maifmelihat ke ba­wah yang terletak di antara keduanya, se­buah sungai penuh batu mengalir ke arah uta­ra. Itulah Kali Laweyan yang mengalir menu­ju Laut Jawa sepanjang perbatasan kabupa­ten Probolinggo dan Pasuruan. Melewati Pamotan, Klampok, Tongas lalu bermuara di Tambakrejo. Bening pada musim kemarau, berwarna coklat dan gemuruh di musim huj­an seperti saat ini. Kalau ada warga desa memberikan “sesaji” di tepi sungai, pada po­hon-pohon besar, pada batu yang punya “yoni”. Maka ayam-ayam dari seberang sana pun tergiur pada ceceran nasi. Terbang, me­lompat dari batu ke batu, lalu ikut member­sihkan sisa “selamatan”. Gabruk, gabruk, ga- bruk…! Antar jago yang belum saling kenal beradu jago. Kukuruyuk…! Yang menang, memang jagonya jago, sombong, menenga­dahkan kepala ke langit.

Gajahmada?
Menyusur sungai kecil Laweyan ke arah hulu, menentang arus sejauh lebih sejam me­langkahkan kaki, ternyata sampailah kita ke obyek wisata yang kini mulai didatangi turis asing. “Madakaripura”, itulah air terjun yang legendaris. Konon, di situlah dulu mahapatih Gajahmada tapa kungkum, bertapa dengan berendam air untuk memperoleh kesaktian. Beberapa warga desa setempat mempercayai bahwa tokoh yang dikatakan sebagai Mbah Ujud, Mbah Sujud atau Si Lemu inilah pula yang pernah menjadi patih terkenal Majapa­hit yaitu Gajahmada. Lho…V. “Duka ‘nggih, menawi lare sekolah mboten percados” (En­tah ya, bila anak sekolah tidak mempercayainya), ungkap beberapa petani yang sedang si­buk menggaru sawan di lereng bukit ke Li­berty. Katanya pula, dulu hanya masyarakat setempat yang mengenal nama Madakaripu­ra. Tapi kemudian semua pun mulai datang dari jauh, mengunjungi. Mada adalah singkatan dari Gajahmada. Kari, akhir, maksudnya Gajahmada di usia tua. Pura, tempat bersemedi. Ya, dikisahkan akhirnya Sidang Sapta Prabu yang dulu sung­kan dan takut pada Gajahmada, berani ter­ang-terangan menyalahkan Gajahmada yang menimbulkan perang Bubat itu. Sidang Sapta Prabu merupakan penasehat prabu Hayamwuruk yang terdiri dari 7 orang raja-ratu mu­lai dari orangtua Hayamwuruk, mertua, suami adiknya dan seterusnya. Semuanya merupakan raja-ratu yang masih berkaitan darah dengan Hayamwuruk sendiri. Namun selama bertahun-tahun kalah wibawa dengan Gajahmada. Dalam Perang Bubat itu Dyah Pitaloka putri Sunda yang amat cantik dan di­cintai Hayamwuruk terpaksa melakukan bu­nuh diri demi membela ayahnya yang tersing­gung merasa dihina Gajahmada.

Gajahmada tersinggung hatinya mengha­dapi Sapta Prabu dalam sidang yang menya­lahkan kebijaksanaannya hingga terjadi Per­ang Bubat. Saat itu sang mehapatih memang telah mulai berusia lanjut. Lantas sering minta cuti untuk pulang ke tempat asalnya di Pro­bolinggo, alasannya sakit-sakitan. Di tempat kelahirannya ia memang melakukan tapa kungkum. Dalam Kidung Sundayana diceri­takan Sapta Prabu memerintahkan prajurit- prajurit Majapahit pergi ke Madakaripura untuk menangkap tokoh yang pernah meng­ukir zaman keemasan Majapahit itu. Rumah Gajahmada dikepung. Ketika mereka masuk ke dalam, ternyata Gajahmada “muksa”. Le­nyap, pergi ke sorga. Itulah salah satu versi akhir hayat sang mahapatih. “Dadosipun, ni- ki kenging percados kenging mboten, swargi sinuwun Gajahmada tapanipun inggih ‘teng Madakaripura, inggih ‘teng Peguron” (Jadi, boleh percaya boleh pula tidak, mendiang Gajahmada itu bertapa di Madakaripura maupun di Peguron), tutur petani tua itu, ya­kin.

Pilihlah Air Panguripan !
Memasuki celah bukit mendekat Madaka­ripura kalau tak mau berbasah kuyup, bisa menyewa payung dan membeli tas kresek un­tuk menyimpan bawaan pengunjung yang tak ingin ikut basah. Ya, walau tak ikut man­di di air Madakaripura, sebab air terjun itu di­percaya punya khasiat, siapa pun yang masuk ke ce lah menuju lokasi Madakaripura pasti­lah berbasah kuyup bila tanpa payung. Ya, di celah itulah berlangsung hujan abadi. Tetap hujan walau musim kemarau, apalagi di mu­sim hujan seperti sekarang. Hujan ini meru­pakan cipratan-cipratan air dari atas, dari se­kian asal Madakaripura sebagai air terjun. Ya, kalau mau tahu ternyata terdapat 7 air terjun. Mana paling “ampuh”, paling punya “daya” yang menyembuhkan berbagai pe­nyakit. membuat awet muda, lekas dapat jo­doh, keinginan terkabul dst. Dari yang terbesar itulah jadi nama Lawey­an. sungai berbatu yang “misterius” pula di desa Negarareja khususnya dukuh Krajan. Mengapa masyarakat Kraja punya “pun­den” . punya beberapa batu dan pohon yang “diuri-uri”. Banyak kisahnya. Di antaranya, pohon Kepuh besar itu memang bukan sem­barang pohon yang tumbuh di tepi Kali La­weyan. Dulu sebelum tumbuh besar yaitu pa­da tempat tumbuhnya telah ada Kepuh be­sar. Suatu ketika angin meniup begitu ken­cang. Roboh, menimpa puluhan bocah kecil yang tengah mandi, bermain. Tetapi, aneh­nya tak seorang bocah pun cedera. Anehnya kepala-kepala para bocah muncul di antara dahan dan rantingnya. Mereka semuanya ja­di bisu untuk sekian hari. Bisa buka mulut, bi­cara, setelah beberapa “orangtua” melaksanakan “selamatan”. Ternyata begitu alasan “orangtua”, pohon roboh ke sungai merupa­kan peringatan dari sang danyang. Mengapa memberi “sesaji” dilupakan.

Hingga kini yang tak dilupakan oleh setiap “KK” Krajan yang terdiri dari 118 KK. tutur carik Roya’i, maka di setiap hari Jum’at di se­tiap rumah membuat “krupuk” dari ubi. Mengasyikkan untuk disuguhkan tamu. Kru­puk itu digoreng, tak kenyang-kenyang juga walau semeja dihadapi oleh 4 orang. Kriyak- kriyuk, mengawani kopi panas dan kepulan rokok. Embek, embek, embek…. Pasti ada kambing dijadikan “korban” di tengah hutan dukuh Krajan. Dan, ruang-ruang tamu ru­mah warga dukuh itu punya hiasan dinding khas: kambing, ukiran dari kayu. (Ayiek Narifuddin)

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: LIBERTY, 1720,16-28 FEBRUAR11990 TH. XXXVII, hlm. 26 sambung 94