Tuesday, September 10, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Mengantar ke Tanah Arwah, Uapacara Tradisi Masyarakat Tengger

Mengantar ke Tanah Arwah Begitu ada seorang yang meninggal segera keluarganya memberita­hukan kepada Petinggi dan dukun desa. Seluruh keluarga diberitahu…

By Pusaka Jawatimuran , in Probolinggo Seni Budaya Th. 1978 , at 20/10/2012 Tag: , , , , ,

  • Mengantar ke Tanah Arwah

    Begitu ada seorang yang meninggal segera keluarganya memberita­hukan kepada Petinggi dan dukun desa. Seluruh keluarga diberitahu ke­pada Petinggi dan dukun desa. Seluruh keluarga diberitahu demikian juga tetangganya yang dekat. Pengurusan mayat baru diselenggarakan setelah seluruh keluarga, dukun desa dan para pamong desa telah datang.

    Sambil menunggu keluarga yang agak jauh dan menunggu dukun serta para pejabat desa, keluarga yang ditinggalkan segera menyembelih biri-biri atau kambing, bahkan bagi yang kaya menyembelih kerbau atau sapi untuk mengadakan selamatan dan menjamu yang akan ikut mengu­burkan. Biasanya sebelum mayat diurus, makanan dan sajian telah disiap­kan.

    Kalau tempat penguburan jauh dipuncak gunung, terlebih dahulu sebelum mayat diujubkan dan dimandikan, semua orang yang akan mengantarkan mayat dijamu diberi makan terlebih dahulu. Setelah itu barulah dukun desa mulai dengan upacara pengujuban.

    Mayat dibaringkan dengan mengarah ke Timur, di samping kaki mayat ditaruhkan sajian berupa gedang ayu, nasi sepiring dengan lauk pauknya. Kemudian dukun desa duduk bersila menghadap mayat dekat kepalanya. Terlebih dahulu dukun memakai selendang suci. Dupa dibakar dan mantera pengujuban dibacakan. Sambil membacakan mantera itu air yang telah disediakan oleh Legen (pembantu dukun) dicipratkan (diper­cikkan) sebanyak tiga kali kepedupaan dan kepada mayat. Selesai mem­bacakan mantera pengujuban, selendang suci dibuka dan-diberikan ke­pada pembantunya untuk disimpan.

    Kemudian mayat diangkat ke tempat pemandian dan dimandikan dengan pimpinan Legen. Pemandian dilakukan oleh keluarga si mati. Yang pertama mengguyurkan air adalah isterinya atau suaminya serta di­susul oleh keluarga yang tertua dan kemudian oleh keluarga lainnya dengan urutan umur. Selesai dimandikan kemudian mayat dibungkus dengan kain kafan. Pembungkusan dilakukan sebanyak tiga lapis dan dilakukan di atas “pendoso” (pasaran). Pendoso ini dibuat dari bambu yang dilapisi dengan kain samak.

    Selesai pembungkusan mayat, mayat siap untuk diangkat dan di­angkut menuju tempat penguburan. Pengusung harus dari keluarga ter­dekat sebanyak empat orang, baru setelah dijalan, diganti oleh orang lain yang bersedia untuk mengusung. Di setiap persimpangan ditaburkan uang logam, sebagai tanda labuh (korban). Pembuangan ini dimaksudkan untuk menghindarkan “sengkolo” dan sebagai penebus dosa yang me­ninggal. Orang yang paling depan harus wong sepuh yang menjadi penun­juk jalan bagi arwah yang meninggal.

    Setelah sampai di kuburan, usungan mayat diputar sebanyak tiga kali. Keliling tiga kali itu dimaksudkan sebagai “ketuk pintu” karena akan memasuki alam kubur. Setelah di kelilingkan kemudian “dienjat” (diturun-naikkan) sebanyak tiga kali pula. Maksud diturun-naikkan itu sebagai tanda permisi dari arwah si mati, karena akan memasuki alam kubur. Barulah mayat dimasukkan ke dalam kuburan. Pandoso di buka dan bambu-bambunya dipotong-potong dan dijadikan penahan tanah (sama dengan kayu padung). Kemudian samak ditutupkan. Lobang-lo­bang yang masih terbuka ditutup dengan alang-alang atau daun-daunan, barulah kemudian ditimbun dengan tanah sambil diinjak-injak sampai padat sekali.

    Di tengah-tengah timbunan tanah kuburan kemudian diberi kayu nisan. Kemudian upacara pengujuban dilkukan oleh dukun sebagai pe­nyerahan yang meninggal ke alam lelangit (kuburan). Selesai pengujuban bunga-bunga ditaburkan oleh keluarganya berganti-ganti dan diatasnya ditaruh sajian. Barulah kemudian dibagi-bagi sajian tumpeng dan ikan ayam panggang, terutama kepada para penggali kubur dan para pengu­sung. Selesailah penguburan.

     

    Sore harinya diadakan selamatan di rumah keluarga yang me­ninggal. Upacara pengujuban dilakukan oleh dukun desa dan para “Bes- po” (petra). Benda suci ini dibentuk seperti orang-orangan. Benda ini dianggap tempat tinggal sementara arwah yang .baru meninggal atau tem­pat para arwah yang sedang diupacarakan. Demikian sakti petra ini se­hingga bisa menampung para arwah yang sedang diundang atau diupaca­rakan. Petra terbuat dari daun-daunan “nangkuh”, bunga “seni kikir”, bunga “tanlayu”, daun “andong” daun janur, daun “pampung”. Semua itu tumbuh di daerah pegunungan Tengger. Daun-daun dan bunga-bunga itu disusun demikian rupa sehingga menyerupai orang duduk. Kalau arwah yang diundang atau yang diupacarakan itu laki-laki Petra diberi pakaian laki-laki. Demikian juga kalau wanita diberi pakaian wanita. Petra banyak dipergunakan pada upacara “Entas-entas”, atau pada waktu upacara kematian.

    Upacara yang lebih besar lagi diadakan setelah keseribu-harinya. Upacara ini dinamakan “entas-entas”. Petra dibuat dengan secara besar- besaran yang dibuat dari bunga pisang, buah kelapa, lawe, daun pokok, rumput, telur dan diberi pakaian. Petra dibuat seperti orang-orangan yang dibentuk secara duduk. Petra merupakan tempat arwah yang akan diupacarakan oleh pemimpin upacara yakni Dukun desa. Pelaksanaan upacara sama seperti pada waktu meninggalnya. Selesai upacara di dalam rumah kemudian petra dibawa ke Pandanyangan untuk dibakar ditungku yang telah disediakan pada Pandanyangan. Pada pandanyangan juga di­bakar dupa dan sesajen. Lamanya upacara entas-entas sampai sehari semalam.

    ‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
    Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Reog  di Jawa Timur. Jakarta:  Upacara Kasada dan Beberapa Adat Istiadat Masyarakat Tengger, Proyek Sasana Budaya , Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1978-1979. hlm. 96-99