Mengantar ke Tanah Arwah, Uapacara Tradisi Masyarakat Tengger
Mengantar ke Tanah Arwah Begitu ada seorang yang meninggal segera keluarganya memberitahukan kepada Petinggi dan dukun desa. Seluruh keluarga diberitahu…
- Mengantar ke Tanah Arwah
Begitu ada seorang yang meninggal segera keluarganya memberitahukan kepada Petinggi dan dukun desa. Seluruh keluarga diberitahu kepada Petinggi dan dukun desa. Seluruh keluarga diberitahu demikian juga tetangganya yang dekat. Pengurusan mayat baru diselenggarakan setelah seluruh keluarga, dukun desa dan para pamong desa telah datang.
Sambil menunggu keluarga yang agak jauh dan menunggu dukun serta para pejabat desa, keluarga yang ditinggalkan segera menyembelih biri-biri atau kambing, bahkan bagi yang kaya menyembelih kerbau atau sapi untuk mengadakan selamatan dan menjamu yang akan ikut menguburkan. Biasanya sebelum mayat diurus, makanan dan sajian telah disiapkan.
Kalau tempat penguburan jauh dipuncak gunung, terlebih dahulu sebelum mayat diujubkan dan dimandikan, semua orang yang akan mengantarkan mayat dijamu diberi makan terlebih dahulu. Setelah itu barulah dukun desa mulai dengan upacara pengujuban.
Mayat dibaringkan dengan mengarah ke Timur, di samping kaki mayat ditaruhkan sajian berupa gedang ayu, nasi sepiring dengan lauk pauknya. Kemudian dukun desa duduk bersila menghadap mayat dekat kepalanya. Terlebih dahulu dukun memakai selendang suci. Dupa dibakar dan mantera pengujuban dibacakan. Sambil membacakan mantera itu air yang telah disediakan oleh Legen (pembantu dukun) dicipratkan (dipercikkan) sebanyak tiga kali kepedupaan dan kepada mayat. Selesai membacakan mantera pengujuban, selendang suci dibuka dan-diberikan kepada pembantunya untuk disimpan.
Kemudian mayat diangkat ke tempat pemandian dan dimandikan dengan pimpinan Legen. Pemandian dilakukan oleh keluarga si mati. Yang pertama mengguyurkan air adalah isterinya atau suaminya serta disusul oleh keluarga yang tertua dan kemudian oleh keluarga lainnya dengan urutan umur. Selesai dimandikan kemudian mayat dibungkus dengan kain kafan. Pembungkusan dilakukan sebanyak tiga lapis dan dilakukan di atas “pendoso” (pasaran). Pendoso ini dibuat dari bambu yang dilapisi dengan kain samak.
Selesai pembungkusan mayat, mayat siap untuk diangkat dan diangkut menuju tempat penguburan. Pengusung harus dari keluarga terdekat sebanyak empat orang, baru setelah dijalan, diganti oleh orang lain yang bersedia untuk mengusung. Di setiap persimpangan ditaburkan uang logam, sebagai tanda labuh (korban). Pembuangan ini dimaksudkan untuk menghindarkan “sengkolo” dan sebagai penebus dosa yang meninggal. Orang yang paling depan harus wong sepuh yang menjadi penunjuk jalan bagi arwah yang meninggal.
Setelah sampai di kuburan, usungan mayat diputar sebanyak tiga kali. Keliling tiga kali itu dimaksudkan sebagai “ketuk pintu” karena akan memasuki alam kubur. Setelah di kelilingkan kemudian “dienjat” (diturun-naikkan) sebanyak tiga kali pula. Maksud diturun-naikkan itu sebagai tanda permisi dari arwah si mati, karena akan memasuki alam kubur. Barulah mayat dimasukkan ke dalam kuburan. Pandoso di buka dan bambu-bambunya dipotong-potong dan dijadikan penahan tanah (sama dengan kayu padung). Kemudian samak ditutupkan. Lobang-lobang yang masih terbuka ditutup dengan alang-alang atau daun-daunan, barulah kemudian ditimbun dengan tanah sambil diinjak-injak sampai padat sekali.
Di tengah-tengah timbunan tanah kuburan kemudian diberi kayu nisan. Kemudian upacara pengujuban dilkukan oleh dukun sebagai penyerahan yang meninggal ke alam lelangit (kuburan). Selesai pengujuban bunga-bunga ditaburkan oleh keluarganya berganti-ganti dan diatasnya ditaruh sajian. Barulah kemudian dibagi-bagi sajian tumpeng dan ikan ayam panggang, terutama kepada para penggali kubur dan para pengusung. Selesailah penguburan.
Sore harinya diadakan selamatan di rumah keluarga yang meninggal. Upacara pengujuban dilakukan oleh dukun desa dan para “Bes- po” (petra). Benda suci ini dibentuk seperti orang-orangan. Benda ini dianggap tempat tinggal sementara arwah yang .baru meninggal atau tempat para arwah yang sedang diupacarakan. Demikian sakti petra ini sehingga bisa menampung para arwah yang sedang diundang atau diupacarakan. Petra terbuat dari daun-daunan “nangkuh”, bunga “seni kikir”, bunga “tanlayu”, daun “andong” daun janur, daun “pampung”. Semua itu tumbuh di daerah pegunungan Tengger. Daun-daun dan bunga-bunga itu disusun demikian rupa sehingga menyerupai orang duduk. Kalau arwah yang diundang atau yang diupacarakan itu laki-laki Petra diberi pakaian laki-laki. Demikian juga kalau wanita diberi pakaian wanita. Petra banyak dipergunakan pada upacara “Entas-entas”, atau pada waktu upacara kematian.
Upacara yang lebih besar lagi diadakan setelah keseribu-harinya. Upacara ini dinamakan “entas-entas”. Petra dibuat dengan secara besar- besaran yang dibuat dari bunga pisang, buah kelapa, lawe, daun pokok, rumput, telur dan diberi pakaian. Petra dibuat seperti orang-orangan yang dibentuk secara duduk. Petra merupakan tempat arwah yang akan diupacarakan oleh pemimpin upacara yakni Dukun desa. Pelaksanaan upacara sama seperti pada waktu meninggalnya. Selesai upacara di dalam rumah kemudian petra dibawa ke Pandanyangan untuk dibakar ditungku yang telah disediakan pada Pandanyangan. Pada pandanyangan juga dibakar dupa dan sesajen. Lamanya upacara entas-entas sampai sehari semalam.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Reog di Jawa Timur. Jakarta: Upacara Kasada dan Beberapa Adat Istiadat Masyarakat Tengger, Proyek Sasana Budaya , Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1978-1979. hlm. 96-99