Wednesday, January 15, 2025
Semua Tentang Jawa Timur


Kapat, Upacara Tradisi Masyarakat Tengger

Upacara Kapat, Meminta Selamat Pada setiap tanggal 4 bulan Kapat, masyarakat Tengger melakukan upacara-upacara yang bermaksud mencapai keselamatan untuk umat…

By Pusaka Jawatimuran , in Probolinggo Seni Budaya Th. 1978 , at 20/10/2012 Tag: , , , , , ,

Upacara Kapat, Meminta Selamat

Pada setiap tanggal 4 bulan Kapat, masyarakat Tengger melakukan upacara-upacara yang bermaksud mencapai keselamatan untuk umat ma­nusia, tanaman dan hewan piaraan. Upacara bulan Kapat ini sebenarnya berhubungan dengan siklus pertanian. Upacara ini lebih menekankan ke­pada usaha masyarakat untuk menolak-bala agar terhindar dari berbagai bencana yang dapat merugikan manusia, tanaman dan binatang piaraan.

Salah satu upacara yang dikenal ialah upacara Liliwet. Pada upa­cara ini, sesajen yang dihidangkan ialah: nasi putih, ayam brumbun (tidak berbulu, kecuali bulu-bulu halus), gubahan bunga senikir 7 pasang, pisang ayu. Upacara ini dipimpin oleh Dukun, serta diikuti oleh setiap rumah. Secara bergiliran Dukun mengujubkan upacara dan sekaligus memantrai bagian rumah atau pekarangan agar terhindar dari malapetaka. Tempat-tempat itu ialah: dapur, pintu, tamping, sigiran, pekarangan di empat penjuru. Biasanya sebelum upacara Liliwet, ladang untuk semen­tara tidak boleh digarap.

 Kalau hasil pertaniannya tidak menguntungkan, bahkan sangat rugi, diadakan upacara “sengkolo”, untuk menolak kerugian yang akan datang dan untuk meminta ampun atau tobat kalau ada kesalahan yang tidak terasa atau terlupakan. Menurut kepercayaan orang Tengger keru­gian dalam pertanian atau kesengsaraan juga penyakit yang diderita merupakan hukum karma, karena ada suatu perbuatan yang tiada baik. Kerugian itu menurut kepercayaan mereka karena lupa akan nadar, tidak dilakukan sajian ke kawah gunung Bromo. Oleh karena itu pada setiap hari Kasada kalau mempunyai nadar harus melakukan korban ongkek ke kawah gunung Bromo.

Upacara juga dilakukan terutama yang berhubungan dengan ta­naman jagung yang menjadi makanan pokok masyarakat Tengger. Per­hitungan untuk melakukan upacara dihitung dari hari kelahiran pemi­lik ladang. Hari yang baik untuk melakukan upacara, sehari setelah hari kelahirannya. Kalau hari lahirnya Hari Jum’at Pon, maka hari yang baik untuk menanam jagung pada hari Sabtu Wage. Upacara liwet dila­kukan di rumahnya masing-masing dengan dipimpin oleh Dukun Desa. Upacara untuk menanamnya dilakukan oleh pemilik ladang itu sendiri.  

Upacara di ladang pertama-tama kemenyan dibakar, kemudian pemilik ladang membaca mantera penanaman. Benih yang akan ditanam dimasukkan terlebih dahulu kedalam tempat yang ada “pengilon, suri, batu dan bedak” (cermin, sisir, batu dan bedak). Maksudnya supaya benih itu mendapatkan berkah dari dewi tanah yang menjaga kesuburan tanah.

Pada waktu mendirikan rumah atau pindah rumah juga dilakukan upacara. Upacara untuk mendirikan rumah diselenggarakan dengan “Liliwet”. Membuat rumah dilakukan dengan bergptong-royong, sesuai dengan welas asih terhadap sesama hidup. Setelah blandar tiang ter­akhir dipasang, semua tiang digantungi dengan tebu, pisang, baju dan alat-alat bangunan. Sajian terlebih dahulu disediakan berupa jagung, padi, bendera merah putih. Jagung dan padi bertujuan agar supaya di tempat rumah baru dan mudah mendapatkan sandang pangan. Tebu dan pisang dimaksudkan agar supaya selalu selamat sentosa tinggal di rumah. Merah putih mengingatkan akan asal manusia yaitu darah merah dan darah putih.

Sebelum mendirikan rumah, terlebih dahulu mengadakan se­lamatan dengan dipimpin oleh dukun. Setelah itu dicari hari baik untuk memulai mendirikan rumah tersebut. Perhitungan didasarkan atas ra- malan-ramalan seperti di bawah ini, di antaranya:

  1. “Pitutur” yang berarti kalau diam di rumah tersebut akan meng- kibatkan banyak perkara yang dihadapi. Oleh karena itu kalau ramalan jatuh seperti itu, waktu pendirian rumah dibatalkan dan dicari lagi waktu yang baik ramalannya.
  2. “Demang kenduruan” yang meramalkan kalau diam di rumah itu akan banyak menderita penyakit. Perhitungan itu akan ditinggal­kan dan dicari perhitungan yang sekiranya dapat menguntungkan atau menyelamatkan.
  3. “Satriyo pinayungan” suatu ramalan yang dapat menjadikan peng­huni rumah selalu dalam keadaan selamat. Perhitungan ini yang diinginkan dan kalau bisa diikuti dengan ramalan berdasarkan per­hitungan.
  4. “Mantri sinoro rejo” suatu perhitungan yang meramalkan kalau tinggal di rumah yang didirikan pada waktu itu akan mengakibatkan banyak disenangi orang.
  5. “Macan ketawang” suatu perhitungan yang meramalkan bahwa orang yang tinggal di rumah yang dibangun pada waktu itu akan mengakibatkan selalu bertengkar. Ramalan itu tidak disenangi dan dicari lagi waktu yang baik.
  6. “Nuju pati” suatu perhitungan yang dapat meramalkan akan selalu berduka cita. Ramalan ini yang paling jelek. Oleh karena semua orang akan menghindarkan pembuatan rumah yang dimulainya pa­da waktu tersebut.

            Suatu contoh yang pernah dilakukan diantaranya orang yang men­dirikan rumah mulainya pada hari Jum’at Kliwon atau pada Sabtu Kli­won, akan meramalkan “Demang kenduruan” (Tidak baik). Sabtu Legi akan meramalkan “Mantri sinoro rejo” (baik). Pada waktu pindah rumah diadakan selamatan dengan sesajen dan sajian jenang merah dan jenang putih, gedang ayu,, dan nasi piring 7 pi­ring. “Gedang ayu” adalah dua buah pisang yang didempetkan dan di tengah-tengahnya diberi sirih kapur dan gambir. Kebanyakan orang Tengger kalau pindah rumah baru mengadakan selamatan Liliwet.

 ‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Reog  di Jawa Timur. Jakarta:  Upacara Kasada dan Beberapa Adat Istiadat Masyarakat Tengger, Proyek Sasana Budaya , Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1978-1979. hlm. 90-92