“Entas-entas”, Upacara Tradisi Masyarakat Tengger
Upacara setelah keseribu-harinya kematian. Upacara ini dinamakan “entas-entas”. Petra dibuat dengan secara besar- besaran yang dibuat dari bunga pisang, buah…
Upacara setelah keseribu-harinya kematian. Upacara ini dinamakan “entas-entas”. Petra dibuat dengan secara besar- besaran yang dibuat dari bunga pisang, buah kelapa, lawe, daun pokok, rumput, telur dan diberi pakaian. Petra dibuat seperti orang-orangan yang dibentuk secara duduk. Petra merupakan tempat arwah yang akan diupacarakan oleh pemimpin upacara yakni Dukun desa. Pelaksanaan upacara sama seperti pada waktu meninggalnya. Selesai upacara di dalam rumah kemudian petra dibawa ke Pandanyangan untuk dibakar ditungku yang telah disediakan pada Pandanyangan. Pada pandanyangan juga dibakar dupa dan sesajen. Lamanya upacara entas-entas sampai sehari semalam.
Upacara entas-entas untuk menyempurnakan keabdian arwah hidup di alam lelangit. Semua kesengsaraan di alam lelangit akan musnah kalau sudah diupacarakan entas-entas. Arwah yang tidak diselamati akan mengganggu keluarganya yang masih hidup. Apalagi kalau ada orang yang mati pada hari Jumat, dianggap tidak baik dan menurut kepercayaan akan mengakibatkan kematian lagi dari keluarganya. Oleh karena itu keluarganya sedapat mungkin diupacarakan dengan upacara “tulak sengko- lo” (penolak bahaya). Sampai sekarang bagi masyarakat Tengger ada kebiasaan pergi mengunjungi kuburan pada hari Jumat Legi dan pada hari Karo.
Pendanyangan merupakan suatu tempat yang penuh tumbuh-tumbuhan. Pada hutan kecil ini semua tumbuh-tumbuhan harus hidup sebagaimana alamnya. Tidak boleh ada yang mengganggu, ditebang atau ditanami seperti tanah pertanian yang lainnya. Hutan ini harus sebagaimana aslinya. Keaslian inilah menyebabkan tempat ini menjadi suci karena tidak pernah diganggu oleh tangan-tangan yang banyak dosa. Terkecuali dukun-dukun yang dianggap mempunyai kekuatan sakti dan bisa mensu- cikan diri. Pendanyangan ini merupakan tempat para Danyang yaitu para arwah nenek moyang serta para penunggu yang memegang peranan dalam kehidupan manusia. Pendanyangan ini merupakan jalan pintu masuk arwah memasuki alam lelangit.
Pada pendanyangan ini terdapat sebuah bangunan suci tempat melakukan samedi dan upacara pembakaran petra. Pada upacara ini merupakan jalan pelepasan arwah yang akan memasuki alam lelangit. Kalau akan melakukan sesuatu atau akan mengadakan selamatan apapun harus pergi dulu kepada Pendanyangan ini. Akan tetapi pergi ke Pandanyangan tidak sembarangan saja, semuanya harus seijin dan sepengetahuan Dukun, apa yang menjadi tujuannya. Untuk upacara-upacara besar Dukun itu sendiri yang memimpinnya.
Pada bangunan Pandanyangan terdapat tungku pembakar Petra yang terletak di samping kanan dari pintu masuk sedangkan di depan berhadapan dengan pintu masuk di sudut sebelah kanan terdapat Danyang, tempat pembakaran dupa dan tempat sesajen. Pada Pendanyangan ini biasanya terdapat pula Puser Desa. Sebuah tugu yang dianggap suci karena puser itu sama pusat (pancer) yang menjadi inti kehidupan masyarakat desa, hidupnya masyarakat desa. Dari sinilah tersebar keempat penjuru angin di sekitar desanya.
Upacara yang lebih besar lagi diadakan setelah keseribu-harinya. Upacara ini dinamakan “entas-entas”. Petra dibuat dengan secara besar- besaran yang dibuat dari bunga pisang, buah kelapa, lawe, daun pokok, rumput, telur dan diberi pakaian. Petra dibuat seperti orang-orangan yang dibentuk secara duduk. Petra merupakan tempat arwah yang akan diupacarakan oleh pemimpin upacara yakni Dukun desa. Pelaksanaan upacara sama seperti pada waktu meninggalnya. Selesai upacara di dalam rumah kemudian petra dibawa ke Pandanyangan untuk dibakar ditungku yang telah disediakan pada Pandanyangan. Pada pandanyangan juga dibakar dupa dan sesajen. Lamanya upacara entas-entas sampai sehari semalam.
Upacara entas-entas untuk menyempurnakan keabdian arwah hidup di alam lelangit. Semua kesengsaraan di alam lelangit akan musnah kalau sudah diupacarakan entas-entas. Arwah yang tidak diselamati akan mengganggu keluarganya yang masih hidup. Apalagi kalau ada orang yang mati pada hari Jumat, dianggap tidak baik dan menurut kepercayaan akan mengakibatkan kematian lagi dari keluarganya. Oleh karena itu keluarganya sedapat mungkin diupacarakan dengan upacara “tulak sengko- lo” (penolak bahaya). Sampai sekarang bagi masyarakat Tengger ada kebiasaan pergi mengunjungi kuburan pada hari Jumat Legi dan pada hari Karo.
Pendanyangan merupakan suatu tempat yang penuh tumbuh-tumbuhan. Pada hutan kecil ini semua tumbuh-tumbuhan harus hidup sebagaimana alamnya. Tidak boleh ada yang mengganggu, ditebang atau ditanami seperti tanah pertanian yang lainnya. Hutan ini harus sebagaimana aslinya. Keaslian inilah menyebabkan tempat ini menjadi suci karena tidak pernah diganggu oleh tangan-tangan yang banyak dosa. Terkecuali dukun-dukun yang dianggap mempunyai kekuatan sakti dan bisa mensu- cikan diri. Pendanyangan ini merupakan tempat para Danyang yaitu para arwah nenek moyang serta para penunggu yang memegang peranan dalam kehidupan manusia. Pendanyangan ini merupakan jalan pintu masuk arwah memasuki alam lelangit.
Pada pendanyangan ini terdapat sebuah bangunan suci tempat melakukan samedi dan upacara pembakaran petra. Pada upacara ini merupakan jalan pelepasan arwah yang akan memasuki alam lelangit. Kalau akan melakukan sesuatu atau akan mengadakan selamatan apapun harus pergi dulu kepada Pendanyangan ini. Akan tetapi pergi ke Pandanyangan tidak sembarangan saja, semuanya harus seijin dan sepengetahuan Dukun, apa yang menjadi tujuannya. Untuk upacara-upacara besar Dukun itu sendiri yang memimpinnya.
Pada bangunan Pandanyangan terdapat tungku pembakar Petra yang terletak di samping kanan dari pintu masuk sedangkan di depan berhadapan dengan pintu masuk di sudut sebelah kanan terdapat Danyang, tempat pembakaran dupa dan tempat sesajen. Pada Pendanyangan ini biasanya terdapat pula Puser Desa. Sebuah tugu yang dianggap suci karena puser itu sama pusat (pancer) yang menjadi inti kehidupan masyarakat desa, hidupnya masyarakat desa. Dari sinilah tersebar keempat penjuru angin di sekitar desanya.
Upacara yang lebih besar lagi diadakan setelah keseribu-harinya. Upacara ini dinamakan “entas-entas”. Petra dibuat dengan secara besar- besaran yang dibuat dari bunga pisang, buah kelapa, lawe, daun pokok, rumput, telur dan diberi pakaian. Petra dibuat seperti orang-orangan yang dibentuk secara duduk. Petra merupakan tempat arwah yang akan diupacarakan oleh pemimpin upacara yakni Dukun desa. Pelaksanaan upacara sama seperti pada waktu meninggalnya. Selesai upacara di dalam rumah kemudian petra dibawa ke Pandanyangan untuk dibakar ditungku yang telah disediakan pada Pandanyangan. Pada pandanyangan juga dibakar dupa dan sesajen. Lamanya upacara entas-entas sampai sehari semalam.
Upacara entas-entas untuk menyempurnakan keabdian arwah hidup di alam lelangit. Semua kesengsaraan di alam lelangit akan musnah kalau sudah diupacarakan entas-entas. Arwah yang tidak diselamati akan mengganggu keluarganya yang masih hidup. Apalagi kalau ada orang yang mati pada hari Jumat, dianggap tidak baik dan menurut kepercayaan akan mengakibatkan kematian lagi dari keluarganya. Oleh karena itu keluarganya sedapat mungkin diupacarakan dengan upacara “tulak sengko- lo” (penolak bahaya). Sampai sekarang bagi masyarakat Tengger ada kebiasaan pergi mengunjungi kuburan pada hari Jumat Legi dan pada hari Karo.
Pendanyangan merupakan suatu tempat yang penuh tumbuh-tumbuhan. Pada hutan kecil ini semua tumbuh-tumbuhan harus hidup sebagaimana alamnya. Tidak boleh ada yang mengganggu, ditebang atau ditanami seperti tanah pertanian yang lainnya. Hutan ini harus sebagaimana aslinya. Keaslian inilah menyebabkan tempat ini menjadi suci karena tidak pernah diganggu oleh tangan-tangan yang banyak dosa. Terkecuali dukun-dukun yang dianggap mempunyai kekuatan sakti dan bisa mensu- cikan diri. Pendanyangan ini merupakan tempat para Danyang yaitu para arwah nenek moyang serta para penunggu yang memegang peranan dalam kehidupan manusia. Pendanyangan ini merupakan jalan pintu masuk arwah memasuki alam lelangit.
Pada pendanyangan ini terdapat sebuah bangunan suci tempat melakukan samedi dan upacara pembakaran petra. Pada upacara ini merupakan jalan pelepasan arwah yang akan memasuki alam lelangit. Kalau akan melakukan sesuatu atau akan mengadakan selamatan apapun harus pergi dulu kepada Pendanyangan ini. Akan tetapi pergi ke Pandanyangan tidak sembarangan saja, semuanya harus seijin dan sepengetahuan Dukun, apa yang menjadi tujuannya. Untuk upacara-upacara besar Dukun itu sendiri yang memimpinnya.
Pada bangunan Pandanyangan terdapat tungku pembakar Petra yang terletak di samping kanan dari pintu masuk sedangkan di depan berhadapan dengan pintu masuk di sudut sebelah kanan terdapat Danyang, tempat pembakaran dupa dan tempat sesajen. Pada Pendanyangan ini biasanya terdapat pula Puser Desa. Sebuah tugu yang dianggap suci karena puser itu sama pusat (pancer) yang menjadi inti kehidupan masyarakat desa, hidupnya masyarakat desa. Dari sinilah tersebar keempat penjuru angin di sekitar desanya
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Reog di Jawa Timur. Jakarta: Upacara Kasada dan Beberapa Adat Istiadat Masyarakat Tengger, Proyek Sasana Budaya , Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1978-1979. hlm. 96-99