Asal mula upacara Karo, Legenda Tengger
Asal mula upacara Karo itu menurut legendanya sebagai berikut: Konon, pada jaman dahulu, adalah dua orang sahabat yang sangat erat…
Asal mula upacara Karo itu menurut legendanya sebagai berikut: Konon, pada jaman dahulu, adalah dua orang sahabat yang sangat erat ikatan persaudaraannya, ialah Nabi Muhammad dan Adji Saka. Adapun tempat kediaman kedua orang sahabat itu di Mekah. Mereka itu masing-masing mempunyai seorang hamba kesayangan yang sangat patuh dan setia = Hamba Nabi Muhammad bernama Setya, sedang hamba Aji Saka bernama Satuhu. Pada suatu hari, berundinglah Nabi Muhammad dengan Aji Saka. Dalam perundingan itu ditetapkannyalah, bahwa Nabi Muhammad tetap tinggal di Mekah memimpin bangsanya, sedang Aji Saka harus pergi ke pulau Jawa dan memimpin, menolong serta membebaskan bangsa tersebut dari penindasan seorang raja yang sangat kejam. Putusan tersebut dilaksanakan, dan berangkatlah Aji Saka ke pulau Jawa, dengan diikuti oleh hamba kesayangannya, Satuhu. Sesampai di pulau Jawa, diketahuinyalah, segenap penduduk pulau Jawa senantiasa hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Adapun yang
menyebabkan ketakutan dan kecemasan itu ialah: karena raja mereka, Prabu Dewatacengkar, gemar memakan daging manusia. Tiap-tiap hari, raja itu mewajibkan rakyatnya menyerahkan anaknya untuk dimakan. Mereka cemas, takut anak mereka akan habis dimakan oleh raja mereka, menjadi korban keganasan nafsu kebinatangan Prabu Dewatacengkar. Aji Saka berhasil membunuh Prabu Dewatacengkar dan dengan demikian segenap penduduk pulau Jawa dapat terhindar dari bahaya kecemasan yang senantiasa menyiksa sepanjang hidupnya. Betapa besar hati dan terimakasih penduduk pulau Jawa tidaklah terhingga. Atas penghargaan terhadap jasa Aji Saka yang tak ternilai besarnya itu, mereka menobatkan Aji Saka menjadi raja, sebagai pengganti Prabu Dewatacengkar yang lalim dan tidak berperikemanusiaan itu. Di bawah pemerintahan Prabu Aji Saka, segenap rakyat pulau Jawa hidup dalam tenteram sejahtera. Setelah beberapa saat memerintah di pulau Jawa, ingatlah Prabu Aji Saka akan keris pusakanya yang ditinggalkan di Mekah dititipkan kepada Nabi Muhammad. Maka Setuhu lalu dipanggil, disuruhnya kembali ke Mekah menjemput keris pusaka tersebut. Kepada hamba kepercayaannya itu, Prabu Aji Saka berpesan: “Hanya engkaulah yang kupercaya menerima keris pusaka itu dari tangan Nabi Muhammad dan membawa kemari, menyerahkannya kepadaku.” Rupanya Prabu Aji Saka lupa, bahwa dahulu, waktu menitipkan keris pusaka tersebut kepada Nabi Muhammad, ia berpesan: “Keris pusaka ini jangan diserahkan kepada siapapun juga. Kelak setelah tenteram hidupku di pulau Jawa, aku sendiri akan menjemputnya kemari.”
Sementara itu, di Mekah, Nabi Muhammad ingat akan keris pusaka titipan Aji Saka. Sudah lama di nanti-nantikannya, Aji Saka tak kunjung datang, bahkan beritanyapun tidak. Setelah ingat akan keris titipan itu, berpikirlah Nabi Muhammad, “Mungkin keris pusaka itu sangat dibutuhkan oleh Aji Saka, untuk menghindarkan bencana yang menempuh hidupnya sewaktu-waktu.” Maka dipanggilnyalah Setya, hamba kepercayaannya itu, disuruhnya menyerahkan keris pusaka itu kepada Aji Saka, sambil pesannya: “Keris ini adalah keris pusaka Aji Saka. Hanya engkaulah yang kupercaya menyerahkannya kepada pemiliknya! Ingat! Jangan sampai ada seorangpun berhasil merebutnya dari tanganmu.”
Kebetulan di tengah perjalanan antara Mekah dengan pulau Jawa, bertemulah Setya dengan Satuhu. Karena kedua orang itu telah saling mengenal, maka berhentilah mereka sejenak untuk bercakap-cakap. Bermacam-macam persoalan mereka perbincangkan dalam perjumpaan itu. Pada akhirnya, setelah percakapan mereka telah sampai pada persoalan keris pusaka, berselisihlah kedua oran itu, yang masing-masing bermaksud menjunjung tinggi pesan tuannya.
Perselisihan itu makin lama makin sengit, hingga terjadilah suatir perkelahian yang seru, memperebutkan keris pusaka tersebut. Perkelahian itu barulah selesai setelah kedua-duanya mati tertikam oleh keris lawannya. Mayat kedua orang itu tergeletak di tengah jalan didekat keris pusaka Aji Saka. Sepeninggal hamba kesayangannya, Prabu Aji Saka ingat akan pesannya dahulu kepada Nabi Muhammad. “Kalau Nabi Muhammad memegang teguh pesan saja, tentu saja tak akan mau menyerahkan keris pusaka itu kepada Satuhu.” Demikian pikir Aji Saka. “Lebih baik aku menyusul ke Mekah, agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan”. Maka berangkatlah Aji Saka ke Mekah.
Begitu pula halnya Nabi Muhammad. Sepeninggal Setya yang disuruhnya menyerahkan keris pusaka kepada Aji Saka, mulailah timbul perasaan tidak enak pada hatinya, sebab ingat akan pesan Aji Saka dahulu. Segeralah Nabi Muhammad berangkat menuju ke pulau Jawa, menyusul Setya dan akan menemui Aji Saka. Kebetulan sekali, Nabi Muhammad dan Prabu Aji Saka saling bertemu, tepat di tempat mayat-mayat Setya dan Satuhu itu tergeletak.
Melihat hamba kesayangannya kini telah menjadi mayat, sedihlah hati mereka berdua. Mereka mengakui bahwa kematian hamba kesayangan mereka itu hanyalah karena kelalaian dan kekhilafan mereka. Mereka tahu, bahwa Setya dan Satuhu itu mati karena kesetiaan dan kepatuhannya menjunjung tinggi perintah tuannya. Untuk memperingati kematian Satya dan Satuhu yang mati tanpa dosa itu, Prabu Aji Saka memerintahkan kepada segenap rakyatnya, agar menyelenggarakan selamatan atau upacara. Upacara peringatan itu diselenggarakan setahun sekali, Upacara tersebut sampai sekarang tetap diselenggarakan setahun sekali dikalangan masyarakat Tengger, disebut selamatan Karo.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Reog di Jawa Timur. Jakarta: Upacara Kasada dan Beberapa Adat Istiadat Masyarakat Tengger, Proyek Sasana Budaya , Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1978-1979. hlm. 65-84