Menanam Ari-Ari, Upacara Tradisional Jawa Timur
Apabila dhukun bayi telah selesai merawat bayi maupun ibunya, pekerjaan selanjutnya adalah merawat ari-ari (tembu- ni). Menanam ari-ari caranya :…
Apabila dhukun bayi telah selesai merawat bayi maupun ibunya, pekerjaan selanjutnya adalah merawat ari-ari (tembu- ni). Menanam ari-ari caranya : mula-mula ari-ari dicuci sampai bersih, sesudah itu dimasukkan ke dalam periuk atau piring dari tanah liat (Jawa : layah), yang diberi alas daun waru. Di atas tembuni itu diberi beberapa saji-sajian yang terdiri dari kembang boreh, kemenyan, garam, bawang merah, bawang putih, gula dan kelapa sedikit, jarur, benang, pensil, kertas bertuliskan huruf latin, arab. Saji-sajian tersebut ada maksudnya, jarum supaya anak itu berotak cerdas, benang supaya panjang umurnya, pensil supaya pandai, huruf arab supaya menjadi anak soleh. Di samping itu juga dilengkapi dengan beras, uang logam, bahkan ada kalanya welat dan kunyit untuk memotong tali pusat. Setelah itu periuk yang berisi tembuni dan bermacam-macam sarana itu ditutup, biasanya dengan tutup yang terbuat dari tanah liat yang disebut “layah” dan seterusnya ari-ari itu ditanam.
Untuk menanam tembuni (ari-ari) itu biasanya dilakukan oleh ayah si bayi, tetapi apabila ayah si bayi itu berhalangan maka sebagai gantinya dapat dilakukan orang lain tetapi harus orang laki-laki. Pada waktu si ayah menanam tembuni harus berpakaian rapi. Ada sementara orang kalau anaknya laki-laki harus memakai pakaian sebagaimana yang dikenakan oleh orang laki-laki, jika anaknya perempuan haruslah berpakaian seperti orang perempuan. Hal ini menurut kepercayaan bermaksud supaya anaknya nanti rajin bersolek. Setelah berdandan rapi ayah segera menggendong tembuni menuju ke arah lobang tempat tembuni akan dikubur. Kemudian ayah tersebut jongkok di dekat lobang itu dengan memandang lobang tersebut sambil membaca doa doa antara lain adalah doa selamat, berikut ini rekaman doa tersebut :
“Kowe iki anakku, yo kuwi sadulure tuwo jabang bayine (bayi yang baru lahir), reksanen, emongen sadulurmu enom/jabang bayine (bayi yang baru lahir).
Setelah doa itu selesai dibaca, tembuni dimasukkan ke dalam lobang, kemudian ditimbuni tanah. Cara menanamnya tidak boleh terlalu dalam, karena terlalu dalam menurut kepercayaan bayi tersebut akan sukar bicara. Kemudian timbunan tersebut dikelilingi pagar bambu dan ditutup dengan kuali yang dilobangi bagian atasnya. Maksudnya supaya tembuni itu tidak dibongkar oleh binatang buas. Kemudian setiap malam di tempat itu dinyalakan lampu kecil (Jawa : Ublik) selama 7 hari bahkan
Ada beberapa ketentuan untuk menanam tembuni antara lain apabila bayi laki-laki tembuni harus ditanam di sebelah kanan pintu, dan sebaliknya apabila bayi lahir perempuan tembuni harus di tanam di sebelah kiri pintu rumah.ada yang sampai 35 hari.
Setiap malam, sejak bayi itu lahir hingga selamatan Sepa- saran (puputan), ada semantara orang yang mengadakan tirakatan (Jawa : Melekan) yang biasanya disebut jagung bayen. Malam jagong bayen ini biasanya sebagian besar tamunya adalah laki-laki, namun demikian wanita juga ada yang hadir. Para wanita yang datang itu biasanya saudara-saudaranya. Pada pertemuan itu para tamu dijamu minuman dan makanan ala kadarnya menurut kemampuan yang punya hajat
Jagong bayen ini sering diadakan sampai jauh malam, bahkan ada kalanya sampai pagi (Jawa : ngebyar). Untuk mencegah rasa kantuk (Jawa : cegah lek), para tamu itu main kartu atau mendengarkan ceritera. Bahkan ada sementara orang yang membaca maca-pat atau ayat-ayat suci Al-Qur’an. Maksud jagong bayen ini adalah mchon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bayi dan ibunya selamat. Karena menurut kepercayaan sementara orang sebelum bayi itu puput-puser selalu diganggu roh-roh jahat.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Upacara Tradisional daerah Jawa Timur.Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi Daerah 1983-1984, Surabaya September 1984, hlm.72 – 74