Saturday, December 7, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Upacara Khitan

Berkhitan bagi masyarakat Madura dianggap tahap pen­ting bagi kehidupan seorang anak. Khitan itu telah diadatkan, dan bagi keluarga yang tidak…

By Pusaka Jawatimuran , in Madura Seni Budaya Th. 1984 , at 12/10/2012 Tag: , , , , , ,

Berkhitan bagi masyarakat Madura dianggap tahap pen­ting bagi kehidupan seorang anak. Khitan itu telah diadatkan, dan bagi keluarga yang tidak mengkhitankan anaknya dianggap kafir. Bahkan bagi bayi perempuan yang baru lahir sering kali dikhitan. Sedang anak laki-laki biasanya dikhitan jika berusia antara 5 sampai 8 tahun. Di kalangan masyarakat Madura, upa­cara khitan ini disebut Sonattan.

Sonattan merupakan syarat bagi seorang laki-laki maupun perempuan yang beragama Islam. Dengan menjalani khitan itu, dianggap bahwa si anak sudah diislamkan Waktu yang paling disukai untuk menyelenggarakan khi­tanan adalah sesudah panen, atau pada bulan haji (bulan Besar) Khitanan biasanya diadakan waktu pagi hari atau malam hari. Bagi keluarga yang mampu, upacara khitan itu diadakan di ru­mah dengan memanggil Kyae (kyai) atau dukun. Sekarang di­lakukan oleh mantri kesehatan atau dokter. Bagi keluarga yang tidak mampu, dapat diikutkan dalam khitanan umum (massal). Upacara khitan, atau sonnat, terdiri dari beberapa tahap kegiatan, yaitu pelet, yang berarti pijat, ngarak keman- ten sonnat, sonnatan, diakhiri dengan selamatan atau rasolan.

Berikut ini adalah gambaran dalam sebuah keluarga Ma­dura yang mempunyai hajat sonnatan.

Pak Matrap mempunyai anak tiga orahg. Yang tertua laki-laki bernama Rijali, mempunyai adik perempuan (ale’bine) yang bernama Rokaya, dan dia mempunyai ale’lake’ (adik laki-laki) bernama Arham.

Pada suatu hari Pak Matrap menanyakan kepada Rijali, apakah ia sudah berani di sonnat. Rijali sebagai kacong, yang berusia 12 tahun itu, menyatakan berani untuk dikhitan. Sesudah anaknya mengatakan berani dikhitan, maka Pak Ma­trap, pergi kepada kaka’nya yang rumahnya berseberangan dengan rumah Pak Rijali (menurut adat Madura, bila anak ter­tua bernama Rijali, maka panggilan kepada bapaknya ialah eppa’na Rijali).

Kepada kaka’nya itu Pak Rijali mengutarakan maksud­nya bahwa anaknya akan disonnat, karena panakan lake’ su­dah berani. Mendengar pemberitahuan Ale’lake’ (adik laki- lakinya) ini, menasehatkan agar ia minta nasehat Kyai, untuk mendapat petunjuk kapan atau hari apa akan diadakan sonnat­an. Sepulangnya dari kaka’nya, Pak Rijali pergi memberitahu­kan hajat sonnatan kepada Kyai Rokhim, yang dikenal ahli tarekat.

Kyai Rokhim kemudian menasehatkan agar si kacong (sebutan untuk Rijali) di sonnat pada hari Senin, pagi hari bakda subuh (sesudah subuh). Dengan senang Pak Rijali mem­beritahukan kepada isterinya dan saudara-saudaranya, bahwa manurut nasehat Pak Kyai, sonnatan untuk Rijali akan diada­kan hari Senin. Isterinya setuju, karena hari tersebut bukan hari kelahiran anaknya, karena anaknya lahir hari Selasa wage. Hari itu juga bukan hari colpak bujel Rijali. Karena ia lahir pada hari Selasa Wage, ia diberi anting-anting yang dipakai di telinga kirinya. Anting-anting itu sebagai penolak bala, dan me­nurut adat di desa, seorang yang lahir Selasa Wage, diberi an- ting-anting di telinga sebelah kiri.

Sejak sepekan sebelum hajat sonnatan itu berlangsung, dalam rumah Pak Rijali, nampak kesibukan untuk persiapan sonnatan. Di sana sudah berkumpul emba nyae dan emba kae, keduanya adalah nenek dan kakek Rijali. Demikian pula rama majadi’ dan ebu majadi’, keduanya adalah paman tua dan bibi tua Rijali. Di rumah itu menjadi ramai karena sepopo lake’ dan sepopo bine’, yaitu saudara sepupu Rijali laki-laki dan perempuan datang.

Para tetangga dan saudara Pak Matrap, datang untuk addu bau, yaitu membantu bergotong royong di rumah Pak- Matrap. Di muka rumahnya di buat terop, karena rumahnya tidak cukup besar. Sehari sebelum di sonnat (dikhitan), Rijali akan dikarak keliling kampong (kampung) dengan naik kuda kenca’. Kuda Kenca’ adalah kuda yang menari, hal ini disebut demikian karena kalau berjalan kaki kuda itu seolah-olah me­nari. Kuda itu memang kuda khusus yang dapat disewa.

Sekitar jam dua sore, Rijali diberi pakaian haji. Ia mema­kai jubah putih dengan igal, tutup kepala seperti sorban. Mukanya diberi bedak dan gincu. Pakaiannya diberi selem­pang warna merah dengan bintik-bintik warna keemasan. Kuda kenca’ itu dituntun oleh yang empunya, yang menyewakan kuda itu untuk keperluan Kemanten sonnat. Ia kemudian di­arak keliling dengan diikuti oleh rombongan sronen, tabuhan atau gamelan khas Madura. Dengan upacara itu dimaksudkan juga agar para tetangga mengetahui bahwa Rijali akan dikhitani Pada hari itu pula, banyak tetangga dan kenalan yang diundang datang ke rumah Pak Matrap.

Malamnya Rijali di pelet, oleh seorang dukun perempuan, selama dipelet itu ia ditunggui oleh emba nyae-nya. Dengan pe­let itu dimaksudkan agar badannya segar, dan sehat. Makannya tidak boleh sembarangan, ia tidak boleh minum yang terlalu manis, karena dapat menyebabkan kalau dikhitan darahnya akan banyak keluar.

Selepas Mahgrib, Pak Matrap menyuruh adiknya laki-laki meng antarkan air bunga satu gelas dengan uang untuk salabad, ya­itu uang yang diberikan kepada seorang kyai yang diminta me- nasehatinya. Segelas air bunga itu setelah di-doai, diberikan kembali untuk diminumkan kepada- Rijali, jika ia akan dikhi­tan. Dengan minum air bunga itu agar Rijali tidak merasa sakit waktu di khitan.

Pagi sesudah subuh, dukun yang akan mengkhitan su­dah siap untuk mengkhitan. Dengan dibantu oleh majadinya, Rijali dibimbing keluar rumah, yaitu diserambi muka, sebelah kanan pintu muka. Disana ia didudukkan di dulang, semen­tara itu majadi-nya menyekap dari belakang. Orang-orang yang sudah berada disekitarnya, membaca selawat, sementara dukun mulai mengkhitan. Dengan mengucap bersama “Allohumma solli alia Muhammad”, dukun menyudahi pekerjaannya. Po­tongan kulit penis tidak dibuang, tetapi ditempatkan di cawan tanah liat yang berisi air komkoman.  Sesudah dikhitan, Rijali dipapah ke ruang tengah, untuk didudukkan di muka para undangan. Para tamu sebelum me­ninggalkan rumah Pak Matrap, memberi uang kepada Rijali. Dengan demikian berakhirlah upacara khitan itu.

Bagi anak perempuan, upacara pengkhitanan itu dilaku­kan pada waktu bayi sudah colpak bujel (Jawa : pupak puser) atau sesudah tor on tana. Dalam hal demikian, keluarga itu hanya mengadakan rasolan, dengan sajian jajan pasar. Orang yang mengkhitan adalah dukon baji.

Dengan upacara khitan itu, bagi anak laki-laki sudah harus tidur di surau, dan tidak boleh lagi tidur bersama sauda­ranya yang perempuan. Dengan menjalankan khitan itu, ber­arti kewajiban shalatnya harus ditunaikan dengan lebih tertib. Setelah sonnat, seorang anak laki-laki, sudah mulai belajar hidup sendiri di surau, dan pergi mengaji kepada seorang kyai.

Di kalangan keluarga Madura, anak yang sudah dikhitan, sebaiknya sudah menamatkan Al Qur’an. Peristiwa menamat­kan membaca Al Qur’an itu seringkah ditandai dengan Sala- medi dengan rasolan, bahkan jika keluarga itu mampu, diada­kan ekamantanagi yang berarti di”kemanten”kan.

Upacara khataman, yang artinya menamatkan bacaan Al Qur’an, dilakukan apabila seorang anak telah selesai mena­matkan belajar membaca 30 Juz. Orang tua si anak yang kha­tam itu, mengundang saudara-saudara dan tetangga, dan teru­tama Kyae se morok ngaji, kyai yang mengajar mengaji. Bagi seorang perempuan, biasanya ebu’ nyae, yaitu seorang wanita yang mengajar mengaji.

Anak yang sudah tamat itu disuruh mengaji, dihadapan un­dangan. Sesudah dianggap cukup, maka kyai membaca doa, sambil mendoakan agar si anak menjadi orang yang saleh dan terpuji tingkah lakunya. Kyai yang mengajar itu, kemudian diberi tor ator, semacam hadiah, lazimnya berupa sarung, kopyah dan bahan pakaian. Dalam hal khatam Al Qur’an ini, diadakan rasolan.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Upacara Tradisional daerah Jawa Timur.Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi Daerah 1983-1984, Surabaya September 1984,  hlm. 51-54.