Sunday, December 8, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Upacara Kelahiran

Setelah upacara Pelet Kandhung, usia kan­dungan menjelang usia delapan bulan, Ibu mertua nyaba oca’ (berkunjung) pada seorang dukon bayi (Dukun…

By Pusaka Jawatimuran , in Madura Seni Budaya Th. 1984 , at 12/10/2012 Tag: , , , , , ,

Setelah upacara Pelet Kandhung, usia kan­dungan menjelang usia delapan bulan, Ibu mertua nyaba oca’ (berkunjung) pada seorang dukon bayi (Dukun beranak). Untuk memberitahukan bahwa anak manto bine-nya sudah hamil tua. Sewaktu-waktu akan melahirkan, diminta kepada sang dukun bayi itu untuk bersiap-siap menolongnya.

Bersamaan dengan makin tuanya kandungan maka si calon Ibu harus lebih sering minum peja atau gaja, jenis ramuan daun-daunan yang dapat mencegah bau anyir dan melancarkan air susu.

Ketika sang calon ibu sudah merasa akan melahirkan, si calon ayah  memberi­tahukan pada Ibu mertuanya, sang mertua lalu mengadakan arasol. mendatangi po-seppo (pini sepoh) Kyae ngaji, yaitu guru mengaji, untuk mendapatkan petunjuk, agar manto binenya selamat dalam melahirkan. Kemudian menanyakan hari kelahiran si Calon Ibu tersebut. Setelah mengetahui bahwa si Calon Ibu tersebut lahir pada hari Senen Legi, maka si calon Ibu tersebut harus menghadap ke timur. Seandainya ia tidak mendapatkan petunjuk dari primbon itu, si Calon Ibu harus didudukkan di atas cangkelongan, menghadap arah pintu masuk, atau mem­belakanginya.

Hari itu sang calon ayah tidak pergi atau bekerja dimohon untuk membantu persalinan dengan jalan nyondang yaitu menyangga si hamil ketika akan melahirkan, serta duduk de­kat kepala isterinya sambil menghembus ubun-ubun istrnya tiga kali. Dengan perbuatan itu, diharapkan bayinya lancar keluarnya.

Orangtunya menyisir rambut menantunya dengan licin, tidak lupa rambut itu diminyaki sampai mengkilap. Minyak yang dipakai untuk menyisir itu ialah minyak kelapa. Semua lemari yang terkunci dibuka, demikian juga pintu jendela dan apa saja yang terikat di buka atau dilonggarkan, dengan maksud untuk memperlancar keluarnya jabang bayi. Selang tidak berapa lama, bayi itu lahir dengan selamat. Dukun itu memberitahukan bahwa anaknya Kacong, Kacong adalah sebutan untuk anak laki-laki. Sang ayah kemudian membisikkan azan, di telinga kanan dibisikkan azan, dan di telinga kiri, dibisikkan ikomat 3X.

Ketika bayi itu telah lahir, maka saudara-saudara perempuan Buser memukul dinding rumah, tiang rumah, kaleng, dan lesong. Bunyi benda-benda yang dipukul itu, meningkahi tangis bayinya. di­maksudkan agar para tetangga mengetahui ada bayi yang lahir, dan menurut kepercayaan orang Madura, bunyi-bunyian itu akan berpengaruh terhadap sifat anak kelak jika sudah dewasa. Anak itu bersifat pemberani dan tidak mudah ter­kejut, setelah itu dukun meletakkan si bayi itu di atas gaddang, yaitu nyiru sambil menunggu keluarnya tembuni. Setelah tembuninya keluar, dilakukan pangetokan bujel (Pemotongan ari-ari) dipotongnya dengan bellat atau sembilu (bilah bambu). Ada kalanya pemotongan ari-ari itu dilakukan oleh ayahnya sendiri dengan cara menggigitnya, dengan maksud­ kelak si bayi menjadi anak yang kebal.

Membacakan azan di telinga bayi, dapat pula dilakukan setelah bayi dimandikan dengan air hangat dan telah dibungkus dengan kain, kemudian dibawa ke halaman muka rumah (ke tanean).

Sementara itu, keluarga mempersiapkan makanan dan sajian untuk keperluan arasol atau rasolan (selamatan). Berupa tompeng, (nasi putih yang di bentuk seperti kerucut) dengan lauk-pauk. yang berupa ayam panggang, rap orap, (sayuran yang dibumbui dengan parutan kelapa).

Rasolan atau selamatan, dipimpin oleh Kyae. Kadang rasolan ini dipimpin oleh po-seppo (seseorang yang dituakan) pinisepuh. Dalam upacara kelahiran ini, dibacakan doa selamat.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Upacara Tradisional daerah Jawa Timur.Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi Daerah 1983-1984, Surabaya September 1984,  Hlm 38-41.