Pe-sapean
Deskripsi Permainan. Pe-sapean adalah permainan rakyat tradisional yang hanya terdapat di Kabupaten Sumenep, tepatnya di daerah Kecamatan Ambunten yakni di…
Deskripsi Permainan.
Pe-sapean adalah permainan rakyat tradisional yang hanya terdapat di Kabupaten Sumenep, tepatnya di daerah Kecamatan Ambunten yakni di desa-desa Ambunten Tengah dan Tamba Agung Barat Kabupaten Sumenep. Secara harfiah kata pe-sapean (bahasa Madura) berarti sapi akan tetapi maksudnya bukan berarti sapi sebenarnya, namun menyerupai bentuk sapi.
Permainan pe-sapean bersifat religius magis, karena permainan ini merupakan bagian dari upacara minta hujan, yang mempunyai kaitan kepercayaan yang kuat dengan kehidupan petani dan peternak sapi, yang kegiatannya tergantung pada perubahan musim, seperti kemarau yang panjang akan menyebabkan pertanian terhambat. Permainan ini dilaksanakan waktu upacara minta hujan yakni pada musim kemarau, di waktu siang hari. Pe-sapean dapat pula etangga (diundang bermain) untuk selamatan perkawinan, yang dalam pelaksanaannya terpisah dari upacara minta hujan. Akan tetapi yang mengundang harus memenuhi persyaratan, yakni harus menyediakan sesajen tertentu.
Bagi para petani, permainan ini merupakan suatu permainan yang khas, karena di dalamnya terkandung unsur religius ^magis di mana ada sa’saba (sesajen) yang diunjukkan kepada Se Araksa (Yang Kuasa), lengkap dengan pembacaan do’a secara Islam, untuk memohon keselamatan dan kebahagiaan segenap penduduk desa; dunia akherat, agar segera diturunkan hujan sehingga panennya berhasil.
Para pelaku dari permainan pe-sapean ini terdiri dari enam atau tujuh orang. Dua orang yang memakai topeng sapi dan masing- masing ada yang menjadi pengendali sapi dengan memegang tali kendali lalu dua atau tiga orang lagi bertopeng yang menjadi badut. Semua pemain ini terdiri dari para petani laki-laki dewasa atau agak tua. Laki-laki yang menjadi sapi ini memakai topeng sapi, sedangkan yang menjadi badut juga memakai topeng yang aneh-aneh tetapi lucu.
Peralatan yang dipergunakan untuk permainan pe-sapean ini terdiri dari topeng berikut segala perlengkapannya, ba’saba (sesajen) serta satu stel gamelan sronen. Perlengkapan topeng yang menyangkut permainan pe-sapean terdiri dari: empat buah rape (perlengkapan penutup bagian badan sapi di depan), empat buah jamang (mahkota di kepala sapi), empat buah sabbau (untaian kain yang dikaitkan-di leher), sampur yang dipakai sapi dan pengendali masing-masing selembar; jadi berjumlah enam lembar, empat buah kalembang (sayap) yang dipakai oleh sapi, empat buah gungseng (genta) yang ditaruh di kaki sapi, dua utas tali atau selendang pengikat lengan sapi agar bergandengan menjadi satu, dua untai bunga merah yang ditaruh di atas tali, pengikat lengan sapi yang digandeng masing-masing seuntai dan masing-masing empat stel baju dan celana tanggung yang dipakai sapi. Baju tersebut berwarna biru dan celana berwarna hijau. Juga tidak lupa pakaian adat desa yang berwarna hitam dan kaos lurik merah untuk kedua pengendalinya. Tiga atau dua topeng berikut baju yang lucu, yang dipakai badut-badut, dan dapat pula ditambahkan dua buah cambuk yang dipegang oleh kedua pengendali sapi. Sedangkan perlengkapan ba’saba’ (sesajen) untuk searaksa terdiri dari sebuah anjer (bambu panjang yang dipancangkan di tempat upacara dengan dihiasi umbul-umbul), dan sebuah ancak yang terbuat dari pelepah pisang dan dibangun seperti meja kecil segi empat untuk tempat sesajen. Ancak berikut sesajen ini ditaruh di bawah anjer, yang terdiri dari: nasi putih, sekkol (dibuat dari parutan kelapa), kembang bubur (bunga irisan pandan harum damar kembang (lampu minyak kelapa bersumbu kapas), aeng merra (air merah, dapat pula terbuat dari strup merah) di dalam gelas dengan bunga mawar merah dan jajan pasar yakni kue-kue yang dijual di pasar yang terbuat dari tepung beras dan dicetak menyerupai binatang. Apabila yang diundang itu orang? maka pengundang permainan itu yang harus menyediakan sesajen berupa beras yang ditempatkan di pennay (semacam kuali dibuat dari tanah dibakar), sebuah kelapa dan seekor ayam berbulu putih mulus. Dan sesajen tersebut nantinya diberikan kepada para pemain.
Ba’saba (sesajen) disediakan untuk se araksa. Dan yang menyiapkannya adalah para wanita yang suci. Maksudnya, wanita yang sedang datang bulan tidak boleh turut bekerja.
Apabila waktu dan tempat untuk melaksanakan permainan ini telah ditentukan, juga para pelakunya telah ada, serta peralatan untuk memainkan permainan pe-sapean ini telah disiapkan, maka permainan pun dapat dimulai. Dalam pelaksanaannya, permainan ini diiringi gamelan sronnen, karena sronnen sebagai gamelan pengiring dari permainan pe-sapean ini merupakan kesatuan. Sronnen sebagai gamelan pengiring permainan pe-sapean ini terdiri dari: sebuah kendang kecil dan sebuah kendang besar, sebuah gong kecil dan gong besar, sebuah atau dua buah sronnen (semacam klarinet khas Madura).
Karena permainan pe-sapean ini merupakan bagian dari pada upacara minta hujan, maka yang diutamakan adalah penyelenggaraan upacara itu sendiri. Upacara itu diselenggarakan di tengah ladang. Sebagai tanda pusat upacara, maka di sana dipancangkan anjer umbul-umbul dan di bawahnya diletakkan ba’saba yang ditempatkan di atas ancak. Di dekatnya selalu mengepul asap ke- -menyan dupa. Penduduk desa lalu mengitari tempat pusat upacara yang akan diselenggarakan.
Kemudian salah seorang dari pemimpin upacara membacakan do’a secara Islam. Setelah dibacakan do’a permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang maksudnya agar terkabul hajat penduduk desa serta kebahagiaan dunia akheral, maka ke luarlah para pemain pe-sapean dengan diiringi irama sronnen. Sapi-sapi tiruan yang berpakaian dengan perlengkapannya lalu menggerak-gerakkan tubuhnya yang seakan-akan sedang menari sambil menelusuri ladang-ladang gersang di tempat upacara itu. Gerakan-gerakan permainan dari dua orang manusia bertopeng sapi yang masing-masing orang ada pengendalinya itu menggerak-gerakkan, seluruh tubuhnya seperti sapi yang sedang membajak tanah-tanah ladang. Dan di depan pasangan sapi-sapian itu ada dua atau tiga orang badut yang bertopeng. Badut-badut yang bertopeng, menyerupai kucing, lalu menari-nari dan menimbulkan gerak gerakan yang lucu seakan-akan menunjukkan jalan, ladang mana yang akan dibajak.
Gerakan-gerakan ritus dari pe-sapean itu tidak berlangsung lama, kira-kira hanya antara setengah atau satu j&m sudah selesai. Dengan selesainya permainan pe-sapean, maka selesai pula upacara minta hujan di desa tersebut.
Sehari sebelum upacara minta hujan dimulai, di ladang yang akan ditempati upacara, telah ramai orang yang berjualan, meskipun di situ tidak ada tontonan. Apabila etangga (diundang) orang untuk meramaikan upacara khitanan maka permainannya agak. lama, dan gerakan-gerakannya pun lebih bebas di mana para badutnya lebih lucu tingkah lakunya. Sebelum bermain, sesajen yang harus disediakan oleh pengundang terlebih dahulu dibakari kemenyan dan diberi bunga. Hal ini dimaksudkan agar permainan itu berlangsung Tancar dan selamat.
Analisa.
Pulau Madura umumnya dan khususnya Kabupaten Sumenep merupakan penghasil ternak sapi terbesar di Jawa Timur. Para peternak dan petani Madura sangat mencintai sapinya, seperti yang diungkapkan dalam pepatahnya yang berbunyi se ngorebi sengko area yang artinya “yang menghidupi aku ini ialah sapiku”. Oleh karena itulah, banyak unsur-unsur kebudayaannya memvisualisasikan keakraban mereka dengan sapi, di antaranya dalam permainan rakyat tradisional yakni pe-sapean.
Permainan pe-sapean ini hanya terdapat di daerah Kecamatan Ambunten, di Kabupaten Sumenep. Situasi daerah ini telah melatarbelakangi kebudayaan dari permainan tersebut, karena daerah itu terletak di daerah pegunungan yang curah hujannya kurang sekali. Sebagian besar daerah ini terdiri dari tanah ladang serta sawah tadah hujan yang tergantung pada turunnya hujan. Tanah ladang ini menghasilkan jagung yang terbesar di pulau Madura, sedangkan sawah tadah hujan, menghasilkan padi yang cukup untuk daerahnya saja.
Seperti diketahui desa-desa di Kecamatan Ambunten ini, sebagian besar tanah ladangnya merupakan tanah tandus. Ladang- ladang itu merupakan tempat tumpuan harapan petani, begitu pula sapi adalah binatang ternak yang sangat berharga bagi mereka. Oleh karena itu, hidup ternak tersebut sangat diperhatikan dan diutamakan. Penduduk yang hidupnya tergantung pada hujan, setiap tahunnya di akhir musim kemarau selalu menghadapi masalah kekurangan air.
Dalam menghadapi musim kemarau yang mengakibatkan bencana kekurangan air ini, masyarakat berembuk untuk mengatasinya. Mereka berusaha dengan jalan meminta kepada Yang Kuasa agar diturunkan hujan yakni dengan cara mengadakan upacara.
Seperti diketahui penduduk desa ini semuanya beragama Islam, di mana unsur-unsur kebudayaan Islam tampak jelas terlihat pada masyarakat petani dalam melaksanakan upacara adat, di antaranya upacara minta hujan. Dalam mengawali kegiatan upacara minta hujan, dari segi agama berdo’a kepada Tuhan Yang Maha Esa; sedangkan dari segi kepercayaannya masih tampak adanya sisa-sisa kepercayaan tradisional. Mereka masih piengikuti jejak para leluhur dengan menyediakan ba’saba untuk Searaksa yang memohon agar hujan segera diturunkan. Namun demikian, do’a yang diucapkan adalah do’a dalam ajaran agama Islam.
Upacara yang bersifat religius magis itu melibatkan segala aspek dalam kehidupan para petani dan peternak, karena di dalamnya berkaitan satu dengan yang lainnya seperti keperluan pertanian dan peternakan. Dalam pertanian, mereka membutuhkan agar diturunkan hujan sehingga sawah dan ladangnya berhasil dipanen. Begitu pula dalam peternakan, di mana sapi sangat berharga bagi mereka di samping, untuk membajak sawah dan ladang juga dapat menghasilkan. Oleh karena itulah, dalam upacara ini dilibatkan sapi, sehingga lahirlah permainan pe-sapean.
Pe-sapean itu sendiri seperti yang telah disebutkan di atas, artinya sapi; akan tetapi bukanlah berarti sapi yang sebenarnya, tetapi berhak seperti sapi. Dalam permainan ini, pemain memakai topeng sapi dan di belakangnya dikendalikan sehingga seolah-olah petani yang sedang membajak ladangnya karena tanahnya gembur oleh hujan yang telah membasahinya. Sapi bagi mereka merupakan bagian dari hidupnya yang mahal. Oleh karena itulah peranan sapi yang digantikan oleh dua orang petani dengan memakai topeng kepala sapi melakukan gerakan-gerakan tiruan sedang membajak ladang. Sapi-sapi tiruan itu dilengkapi dengan perlengkapan seperti yang telah disebutkan terdahulu, jadi seakan-akan bukan sapi biasa
Sapi yang oleh penduduk desa dianggap penting, karena selain menghasilkan juga dapat digunakan untuk menggarap sawah ladang, karena itu mereka viasualisasikan sapi yang sedang membajak ladang petani dalam bentuk permainan. Dalam mengvisuali- sasikan permainan ini, mereka lakukan dalam bentuk kehidupan petani yang sedang melaksanakan pekeijaannya, selalu bergotong- royong. Hal ini, dapat dilihat dalam menghadapi musim kemarau, penduduk desa secara berembuk memecahkan masalah. Di sini kehidupan masyarakat desa untuk bergotong-royong masih tertanam, karena kehidupan gotong-royong merupakan bagian dari kehidupan para petani yang tidak dapat dipisahkan. Misalnya, ketika musim kemarau yang terlalu lama sehingga mengakibatkan tanahnya menjadi tandus maka mereka berusaha agar desanya dituruni hujan. Untuk itulah mereka berembuk mengadakan upacara minta hujan agar oleh Yang Maha Kuasa diberi secepatnya turun hujan.
Permainan pe-sapean sudah ada sejak dahulu, karena memang merupakan bagian dari upacara minta hujan yang dalam pelaksanaannya bersamaan dengan dilakukannya upacara tersebut. Permainan ini mempunyai arti yang sangat penting dalam meningkatkan nilai-nilai budaya, karena di dalamnya terdapat unsur-unsur rasa persatuan, religius magis dan gotong royong yang ditanam dalam kehidupan masyarakat petani. Permainan itu sendiri berasal dari kehidupan para petani dan peternak, yang kesemuanya tercermin dalam bentuk permainan. Bentuk permainan itu sendiri bukanlah merupakan permainan yang kompetitif, tetapi permainan yang sifatnya hiburan dan di dalamnya terkandung unsur religius magis. Selain dilakukan pada upacara minta hujan juga dapat dilakukan ujituk selamatan lainnya, seperti perkawinan atau pun khitanan. Walau pun demikian unsur religius masih tampak, yakni ketika akan diselenggarakan orang yang mempunyai hajat harus menyediakan sesajen yang diberikan kepada para pemain. Maksudnya agar yang dianggap mempunyai kekuatan magis dapat memberi rahmat kepada para pelaku permainan maupun kepada orang yang sedang melakukan perhelatan tersebut, sehingga para pemain dan para penyelenggara tidak kena amarah dari Yang Kuasa.
Apabila kita kaji dari latar belakang upacara minta hujan ini, dapat kita simpulkan bahwa upacara minta hujan ini melibatkan suatu permainan rakyat yakni permainan tradisional. Walaupun permainan ini merupakan bagian dari upacara minta hujan karena yang dituju adalah memohon kepada Yang Kuasa agar diberi hujan, tetapi di sini melibatkan suatu permainan di mana sapi yang menjadi alat utamanya. Karena sapi merupakan bagian dari kehidupan petani yang tidak dapat dipisahkan. Ada pun nilai-nilai yang terkandung dalam permainan ini, yakni rasa solidaritas yang spontanitas, kegotong-royongan dan religius magis.
a. Rasa Solidaritas. Di sini tampak rasa solidaritasnya, yakni para pemain yang menjadi “sapi”. Karena permainan pe-sapean ini untuk kepentingan,bersama, maka mereka rela untuk melakukan permainan tersebut.
b. Kegotong-royongan Unsur kegotong-royongannya tampak jelas, dalam melakukan permainan pe-sapean. yakni yang bertopeng sapi (menjadi sapi) dikendalikan oleh orang yang memegang tali kendali. Sapi tersebut dikendalikan untuk melakukan pekeijaan seolah-olah sedang membajak ladang, yang kemudian ketika permainan ini dilakukan diiringi oleh sronnen. Sronnen dengan permainan tersebut merupakan kesatuan yang tidak boleh dipisahkan, karena apabila tidak diiringi sronnen, permainan tidak akan terlaksana. Begitu pula dengan badut-badutqya yang memberikan variasi terhadap jalannya permainan itu. Pelaksanaan permainan merupakan hasil rembukan dari para warga desa yang merasa gelisah karena tanahnya tandus. Sehingga dalam melaksanakan permainan dilakukan secara bersama-sama dengan bergotong- royong baik dalam materiil maupun moril.
c. Religius magis. Unsur religius magis tampak, sebelum permainan ini dilakukan, terlebih dahulu disediakan perlengkapan ba’saba (sesajen) untuk Searaksa. Sesajen tersebut harus dilakukan oleh para wanita yang suci, maksudnya yang sedang datang bulan tidak boleh turut bekerja. Kemudian, juga dilakukan pembacaan do’a-do’a yang memohon agar terkabul keinginannya. Jadi dengan demikian permainan ini sangat sakral bagi penduduk desa itu, karena di dalamnya terkandung unsur religius magis. Nilai-nilai di atas, satu dengan yang lainnya berkaitan yang tidak dapat dipisahkan, karena kehidupan magis religius dalam kehidupan masyarakat terutama, masyarakat petani sangat mempengaruhinya. Demikian pula bila kita kaji dari latar belakang pelaku permainan, di’mana pelaku-pelaku permainan tersebut harus laki-laki dewasa, atau yang agak tua, hal ini karena di dalam gerak-geriknya sangat berat, jadi memerlukan fisik dan tenaga yang kuat.
Permainan pe-sapean itu sendiri, bukan merupakan permainan yang kompetitif. Akan tetapi merupakan permainan yang sifatnya hiburan yangsdi dalamnya terkandung unsur religius magis. Ketika akan dilaksanakan sebelumnya harus disediakan perlengkapan ba’saba (sesajen) seperti yang telah disebutkan di atas. Selain itu, permainan pe-sapean dapat pula dilakukan untuk perhelatan lainnya, yang terlepas dari upacara minta hujan. Tetapi si penyelenggara harus pula.menyediakan sesajen untuk Searaksa. Maksudnya, agar yang dianggap mempunyai kekuatan magis dapat memberikan rahmat baik kepada para pelaku permainan miu pun kepada yang punya hajat perhelatan. Oleh karena itulah permainan ini masih dianggap sakral. Adapun sifat hiburan yang terdapat dalam permainan ini, yaitu ketika permainan ini dimainkan ada badut- badut yang lucu, yang menyebabkan permainan pe-sapean juga berfungsi sebagai tontonan yang bersifat menghibur penduduk.
Pada saat ini, permainan pe-sapean masih merupakan bagian dari upacara minta hujan di desa Ambunten Tengah dan Tamba Agung Barat. Bahkan permainan tersebut kini telah diorganisir dan diajarkan pula kepada para pemuda dan gadis-gadis dengan gerakan-gerakan yang divariasikan sedemikian rupa, sehingga mengena pada selera masyarakat pada masa kini. Akan tetapi, tujuannya bukan untuk dikomersilkan, hanya maksudnya agar permainan tersebut beserta alat-alatnya tidak terbengkalai dan kelestariannya tetap terjaga. Selanjutnya juga agar permainan tersebut tidak hanya setahun sekali muncul di dalam upacara, tetapi dapat juga .dipertunjukkan untuk meramaikan perhelatan, seperti perhelatan perkawinan, khitanan atau remo (upacara peralatan), asalkan saja yang menyelenggarakan harus menyediakan sesajen yang telah ditentukan karena masih dianggap sakral.
Jadi dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa sampai sekarang penduduk Madura masih dapat menerima, dan bahkan mempelajari permainan tradisional sebagai warisan dari leluhurnya. Hal ini, karena permainan tersebut dapat mendidik anak-anak untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperilaku dan bermental baik sesuai dengan norma-norma agama di dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga sebagai generasi penerus tidak saja kaya akan ilmu pengetahuan tetapi didukung pula oleh ilmu agama sebagai pengendali moral.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Nilai Budaya Dalam Permainan Rakyat Madura- Jawa timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, 1991. hlm. 52 -60