Thursday, November 14, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Le-alle Bengko

Deskripsi Permainan Le-alle bengko adalah suatu permainan anak-anak yang bersifat kompetitif. Le-alle bengko ini terjadi dari dua kata. yakni le-alle…

By Pusaka Jawatimuran , in Madura Seni Budaya Th. 1991 , at 08/10/2012 Tag: , , , , , ,

Deskripsi Permainan

Le-alle bengko adalah suatu permainan anak-anak yang bersifat kompetitif. Le-alle bengko ini terjadi dari dua kata. yakni le-alle dan bengko. Le-alle berasal dari kata alle berarti pindah”, jade le-alle berarti “berpindah-pindah” Bengko berarti “rumah”. Apabila kita tejemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harfiah, kata le-alle bengko berarti “berpindah-pindah rumah”. Pengertian “rumah” di sini bukanlah rumah yang sebenarnya, tetapi adalah “tiang”, tempat pangkal anak bermain yang diumpamakan rumah, dan tiang tersebut adalah tiap rumah atau tiang teras rumah (da­lam bahasa Madura: “soda”). Rumah tanyyan lanjang (halaman panjang) ini adalah rumah yang terdiri dari beberapa petak dan menyatu. Petak-petak ini ditempati oleh suatu keluarga besar, sehingga rumah itu berbentuk empat persegi panjang yang berke- lilingnya pada “soda” (teras) bertiang.

Rumah tanyeyan lanjang mempunyai tiang-tiang pada setiap sudut “soda”. Tiang sudut “soda” inilah yang diumpamakan se­bagai rumah bengko) oleh anak-anak dalam permainan le-alle bengko.

Permainan ini tidak ada kaitannya dengan peristiwa lain yang bersifat religius magis seperti upacara siklus hidup seseorang, upa­cara bersih desa, sedekah laut ataupun dengan upacara keagamaan. Olah karena itu, permainan le-alle bengko hanya merupakan per­mainan rekreatif yang sifatnya hiburan untuk mengisi waktu seng­gang baik pada siangkah maupun pada malam hari.

Permainan le-alle bengko ini sangat digemari oleh anak-anak. Karena selain mudah dimainkan juga tidak memerlukan beaya. Ada pun aturan dan cara permainannya pun sangat sederhana dan tidak rumit. Yang diperlukan dalam permainan ini hanyalah tenaga •dan kegiatan semalta-mata.

Pelaku-pelaku permainan ini terdiri dari dua kelompok yang berlawanan. Masing-masing kelompok terdiri dari empat orang anak, jadi jumlah pemain seluruhnya delapan orang anak. Satu kelompok (empat orang anak) seperti “penjaga rumah”, sedangkan satu kelompoknya lagi sebagai kelompok “penyetgap” yang ber­siap-siap untuk memperebutkan rumah-rumah tersebut.

Kedelapan anak pemain ini rata-rata berusia antara delapan sampai dengan dua belas tahun. Kelompok pemain tidak boleh campuran antara anak laki-laki dengan anak-anak perem­puan. Kelompok bermain harus anak-anak sejenis, laki-laki saja atau perempuan saja. Hal ini disebabkan, karena dalam permainan ini ada konsekuensi kalah menang, yakni kelompok yang kalah harus menggendong kelompok yang menang.

Peralatan yang dipergunakan dalam permainan le-alle bengko hanya empat bilah tiang “soda” (teras) rumah yang sudah ada. Untuk peserta anak laki-laki biasanya dipilih tiang-tiang “soda” rumah teneyan lanjang, maksudnya agar jarak dari tiang ke tiang agak jauh. Sedangkan anak-anak perempuan memilih rumah taneyan lajang yang tidak panjang. Tiang-tiang ini harus kuat dan dari tiang ke tiang tidak ada perintang.

Peramainan le-alle bengko ini tidak diiringi irama gamelan musik atau pun nyanyian, akan tetapi yang terdengar hanya suara teriakan-teriakan yang selalu menyertai permainan ini, mi­salnya teriakan memperingatkan kawannya, teriakan terkejut atau teriakan-teriakan yang memberi semangat serta gertak sebagai siasat.

Apabila pelaku-pelaku permainan ini telah berkumpul, lalu diadakan suatu konsensus terhadap aturan-aturan permainan, seperti:

  1. Pemilik rumah tidak boleh terlalu lama tidak pindah rumah, apabila terlalu lama mereka akan diperingati oleh kelompok lawannya.
  2. Suatu rumah tidak boleh direbut oleh dua orang anak dalam satu kelompok.

Kemudian apabila masing-masing telah mengetahui aturan- aturan permainan dan para pelaku telah berkumpul, maka dila­kukanlah pemilihan dalam kawan kelompok. Dalam memilih ka­wan kelompok ini, mereka banding-bandingkan sesama pemain, agar dua orang yang berlawanan itu setidak-tidaknya seusia, dan sebanding pula ketrampilannya, kegiatan serta kekuatan fisiknya. Setelah mereka membagi dua-dua yang seimbang lalu mereka melakukan “suten”. Pemenang sama-sama pemenang kelompok, yang kalah masuk kelompok yang kalah. Jika penentuan anggota kelompok bermain ini telah ditentukan, kemudian mereka mela­kukan “suten” lagi untuk menentukan kelompok pemain dan pe- nyergap. Salah seorang sebagai wakil dari kelompoknya melakukan “suten” dengan kelompok lawannya, misalnya kelompok A yang menang “suten” dan kelompok B yang kalah “suten”. Yang me­nang (kelompok A) mendapat kesempatan bermain lebih dahulu, yaitu menjadi “pemilik” dan sekaligus sebagai “penjaga rumah”; sedangkan yang kalah (kelompok B) menjadi “penyergap”.

Setelah diketahui kelompok yang menang dan kelompok yang kalah, serta telah ditentukan tempat permainan maka permainan pun dimulai. Kelompok A sebagai pemenang; masing-masing ang­gota memiliki tiap (rumah) yang dijaga oleh seorang pemain. Tiang pertama dijaga oleh A, tiang kedua oleh A2, tiang ketiga oleh A3, dan tiang ke empat oleh A4. Sedangkan kelompok B sebagai ke­lompok “penyergap” untuk merebut rumah yang kosong berdiri di tengah-tengah, seperti BI. berdiri di antara Al – A2; B2 di an­tara A2 – A3; B3 di antara A3 – A4 dan B4 diantara Al – A2 (lihat gambar).

Dalam permainan ini Al harus berhasil-pindah ke A2, lalu ke A3 dan ke A4 sehingga kembali lagi ke A1; jika berhasil maka me­nanglah kelompok A. Usaha pindah rumah harus teijaga. Caranya, dengan segera diganti oleh kawan kelompoknya, sebab lawannya selalu mengincar kekosongan rumah tersebut. Kalau rumah tidak teijaga, atau diganti/ ditempati oleh teman kelompoknya, maka rumah tersebut akan segera direbut dan diduduki oleh lawan ke­lompoknya. Apabila teijadi hal yang demikian, teijadilah pergan­tian kelompok, lawannya (kelompok B) sekarang sebagai “pemil- lik” atau “penjaga rumah”. Pindah rumah dari satu rumah ke rumah lainnya, menurut arah jarum jam (lihat denah arena per­mainan).

 

Jadi Al berusaha pindah ke A2, dan bersamaan dengan itu A2 berusaha pindah ke’ A3 dan A3 berusaha pindah ke A4. karena itulah tim atau kelompok A harus kompak, keijasama yang rapi, dan selalu mencari kesempatan kelengahan lawan, agar serempak bisa pindah rumah sehingga rumah yang ditinggal tidak dapat direbut. Kegesitan, siasat dengan gertak pura-pura betul-betul diwujudkan dengan pindah rumah, sehingga lawannya kelabakan. Karena itu sebelum permainan dimulai kelompok-kelompok ter­sebut menentukan siasat bersama. Misalnya dalam gertak pertama, kedua dan ketiga (dalam usaha pindah rumah yang pertama) ada­lah gertak pura-pura; tetapi gertak yang keempat adalah betul- betul pindah rumah. Bila berhasil ganti siasat, gertak pertama dan kedua pura-pura, tetapi gertak yang ketiga betul-betul pindah rumah. Begitulah selanjutnya.

Bila Al berhasil pindah ke A2, lalu ke A3 lalu berhasil ke A4 dan kembali lagi ke Al, juga teman-temannya berhasil pindah maka menanglah kelompok A, dan mereka berhak memperoleh gendongan dari lawannya (kelompok B) dari tiang Al berkeliling

rumah sampai ke A1 lagi.

Begitu pula kelompok B adu siasat, di samping harus selalu waspada agar siap-siap menyergap merebut rumah yang kosong. Sekali pun BI harus berdiri di tengah-tengah Antara Al – A2 (begitu pula kelompok B yang lain), tetapi dengan siasat pemba­gian tugas pengawasan sehingga tidak sampai terjadi tabrakan sesama teman. Artinya, satu rumah diperebutkan oleh dua orang temanya (B). Karena itu, pembagian perebutan diatur seteman, seiring berlawanan dengan jarum jam (lihat dengan arena per­mainan) atau sebaliknya. Apabila satu rumah berhasil direbut berarti semua rumah jatuh kepada lawannya. Pihak yang pindah rumah selalu dicari yang lemah oleh lawannya, karena itu salah seorang pemilik rumah yang lemah selalu menjadi incaran lawan­nya.

Apabila kelompok A sulit untuk pindah rumah, sanksinya ialah ganti tempat bermain. Artinya kelompok A menyerah se­hingga kelompok B sekarang pemilik rumah, sedangkan kelompok A ganti berusaha memperebutkan rumah B. Demikian seterusnya sampai anak-anak merasa bosan bermain dan lelah. 

Analisa 

Permainan le-alle bengko merupakan suatu permainan anak- anak yang hanya terdapat dr pulau Madura, yakni di bagian barat kota Sampang dan di desa-desa pesisir. Permainan ini menggambar­kan. suatu permainan anak-anak khas Madura yang mempunyai ciri dari alat permainan yang dipergunakan yakni berupa tiang dari teras rumah taneyan lanjang. Apabila kita artikan kata “le-alle bengko” ini, terdiri dari dua kata yakni alle dan bengko. Alle artinya “pindah” sedangkan bengko artinya “rumah”,. Kata bengko itu sendiri yang diumpamakan “rumah”, Pengerfian “rumah” di sini bukanlah rumah yang sebenarnya, akan tetapi tiang tempat pangkal anak-anak bermain yang diumpamakan rumah.

Seperti telah diketahui bahwa permainan le-alle bengko ini merupakan gambaran dari bentuk kebudayaan Madura, yang telah melatar belakanginya, karena alat yang dipergunakan adalah tiang rumah yang telah tercipta dalam arsitektur daerah itu. Hal ini, karena bentuk rumah-rumah di pulau Madura mempunyai gaya arsitektur yang tersendiri, di mana setiap sudut mempunyai tiaiig teras yang dalam bahasa Madura disebut “soda”, dan sudut “soda” rumah inilah yang diumpamakan sebagai bengko (rumah) dalam permainan.

Penduduk Madura merupakan suatu kelompok besar. Dalam pengelompokan masih terdapat beberapa kelompok kecil antara lima sampai sepuluh rumah dengan jajaran rumah yang memanjang atau saling berhadapan dan merupakan suatu keluarga besar atau keluarga luas (extended family), yang disebut “taneyan lanjang” (yang berarti halaman panjang). Rumah taneyan lanjang umumnya dihuni oleh satu keluarga besar (extended family) yang terdiri dari kakek — nenek dan anak-anaknya, termasuk anak yang sudah ber­keluarga. Jadi satu keluarga satu petak. Tiga atau empat keluarga (yang sudah berkeluarga), terdiri dari tiga – empat petak menyatu dalam satu atap rumah yang memanjang ke sisi, terjadilah rumah- rumah dengan taneyan lanjang. Hal ini sesuai dengan falsafah hi­dup orang Madura di desa-desa yang menyatakan “makan tidak makan pokoknya kumpul” yang memungkinkan terbentuknya rumah taneyan lanjang ini, sekali pun hidup mereka kekurangan.

Rumah-rumah tempat tinggal yang terletak dalam satu taneyan lanjang (halaman panjang) ini tidak dibatasi pagar. Rumah yang satu dengan rumah yang lain saling berdekatan dan berderet men­jadi dua baris yang berhadap-hadapan, dan di tengah-tengah inilah anak-anak melakukan permainan dengan menggunakan tiang-tiang pada setiap sudut ” soda” rumah yang mereka umpamakan sebagai “bengko” (rumah) oleh anak-anak dalam permainan le-alle bengko.

Permainan le-alle bengko ini sudah lama dikenal dan dimain­kan oleh anak-anak. Kapan permainan ini dimulai dan siapa yang mula-mula memainkan tidak ada yang mengetahui. Yang jelas per­mainan ini sudah ada sejak dahulu dan biasa dimainkan oleh anak-anak. Anak-anak sangat menggemarinya, karena le-alle bengko ini sangat mudah dimainkan selain tidak perlu mengeluar­kan biaya karena yang menjadi alat utama adalah tiang rumah yang sudah ada, juga aturan-aturan dari permainan ini tidaklah rumit. Oleh karena itu permainan le-alle bengko dikatakan merak­yat, sebab dapat dimainkan oleh siapa saja dengan tidak memba­tasi kelompok sosial. Di samping itu cara memainkannya pun sa­ngatlah sederhana, sesederhana cara berpikir dan pola hidup orang desa. Jadi penduduk desa yang petani, peternak, buruh tani, ne­layan atau pun pelaut sama saja. Artinya anak-anaknya akibat pe­ngaruh kemampuan orang tuanya yang hidup rata-rata di bawah garis kemiskinan sering memainkan permainan-permainan yang se­derhana tidak memerlukan biaya.

Apabila kita kaji dari pola permainan le-alle bengko ini sangat­lah sederhana, diperkirakan bahwa permainan ini asli dimainkan oleh anak-anak petani di daerah ini yaitu di daerah yang berumah taneyan lanjang. Sedangkan dilihat dari kata le-alle bengko berarti yang telah disebutkan di atas, mungkin bisa diartikan rumah yang berpindah. Dahulu pemindahan rumah di desa berbeda dengan di kota. Jika di kota, yang pindah adalah orangnya tetapi rumahnya tidak turut pindah. Sebaliknya di desa-desa Madura umumnya dan khususnya di daerah Sampang, yang pindah adalah rumahnya ke­mudian menyusul orangnya. Rumah yang pindah ini adalah ke­rangkanya yang dipikul beramai-ramai oleh para sanak dan tetang­ganya secara bergotong-royong.

Hal seperti di atas sesuai dengan permainan le-alle bengko yang merupakan suatu permainan khas sesuai dengan kondisi ling­kungan di mana keadaan sosial masyarakatnya telah melatar be­lakangi budaya dalam bentuk permainan ini, yang memperlihatkan

adanya keija-sama yang didukung oleh faktor kegotong-royongan di antara warga masyarakat yang masih terjalin baik.

Kaitan antara permainan le-alle bengko dengan pemindahan rumah secara bergotong-royong agar anak-anak tersebut melalui rekreasi selalu mengingat sikap kegotong-royongan, yang menda­sari pemindahan rumah salah seorang warga desanya atau kam­pungnya. Oleh karena itulah permainan ini, merupakan usaha me­lestarikan nilai dan sikap yang baik. Yang jelas permainan seder­hana ini memang timbul dari masyarakat itu sendiri, yang kemu­dian diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, per­mainan le-alle bengko sebagai salah satu permainan rakyat mem­punyai arti yang sangat penting di dalam upaya meningkatkan nilai-nilai budaya, karena di dalam permainan ini tergambar ke­hidupan masyarakat petani yang telah melatarbelakangi bentuk kebudayaan mereka.

Apabila kita kaji permainan ini, maka akan tampak nilai-nilai yang tergambar di dalamnya. Ada pun nilai-nilai ini, antara lain:

  1. Rasa disiplin, yakni para pemain harus mematuhi aturan- aturan yang telah ditetapkan dalam permainan berdasarkan konsensus bersama. Seperti, “pemilik rumah” tidak boleh terlalu lama tidak pindah rumah, dan satu rumah tidak boleh direbut oleh dua orang dalam satu kelompok.
  2. Unsur gotong-royong atau kerja-sama. Unsur gotong- royong di |sini tampak sekali, yakni ketika akan berpindah dari satu tiang ke tiang lain, usaha pindah ini haruslah segera diikuti oleh anggota kelompoknya. Misalnya, kelompok A sebagai “pen­jaga rumah” di mana masing-masing anggotanya mempunyai tiang Al, A2, A3, dan A4) (lihat dengan arena permainan). A1 berusaha pindah ke A2, dan bersamaan dengan itu A2 berusaha pindah ke A3 dan A3 berusaha pindah ke A4, begitu pula A4 harus berusaha pindah ke Al. Dalam usha pindah rumah ini, jangan sampai ru­mah tidak terjaga karena bila rumah tidak dijaga maka akan ditem­pati oleh lawan kelompoknya, dan kelompok “panjaga rumah” berarti kalah. Oleh karena itulah, rumah yang kosong harus segera diisi, dengan segera oleh kawan kelompoknya, sebab lawannya selalu mengincar kekosongan rumah tersebut. Lantaran itulah tim atau kelompok A harus kompak, kerja sama rapi dan selalu jeli, mencari kesempatan akan kelengahan*lawan, agar serempak bisa pindah rumah sehingga rumah yang ditinggal tidak dapat direbut. Begitu pula kelompok B sebagai kelompok “penyergap”, mereka harus bekeija sama sesama anggota kelompoknya.

Selain itu melalui permainan ini anak-anak dapat mengem­bangkan fisik, terbina kecekatannya dan ketangkasan; sedangkan dalam pengembangan terbina keberanian dan kecerdasan. Dengan permainan ini dapat dididik anak-anak baik dalam sikap maupun dalam gerak. Di dalam sikap si anak belajar menghormati peratur­an-peraturan yang dibuat dan disetujui sendiri, disiplin, memilih dan menentukan bersama suatu siasat, menjaga keijasama dan kekompakan, kewaspadaan menjaga milik sendiri, serta menangkis kemungkinan-kemungkinan ancaman dari luar. Sedangkan gerakan yang menyatakan adalah kegesitan bergerak, cepat lari, kemung­kinan menghindari tubrukan yang melatih gerak naluriah lebih tajam.

Selaputnya apabila kita lihat dari latar belakang para pemain, bahwa permainan ini tidak boleh dimainkan campuran jenis anak laki-laki dengan anak perempuan, jadi kelompok bermain harus­lah anak-anak sejenis ini, karena dalam permainan ada konsekuen­sinya, apabila kalah maka kelompok yang kalah harus menggen­dong kelompok yang menang. Tidaklah pantas jika anak perem­puan harus menggendong anak laki-laki atau sebaliknya anak laki- laki harus menggendong anak perempuan.

Pada saat ini ^permainan le-alle bengko sudah mulai kurang berkembang bahkan mulai punah. Walau pun masih ada anak-anak yang memainkan permainan le-alle bengko ini. namun dapat di­hitung dengan jari. Seperti juga dengan permainan-permainan tra­disional lainnya,, maka permainan ini makin lama makin terdesak oleh bermacam-macam persoalan atau terdesak oleh kesibukan- kesibukan anak itu sendiri seperti: menyelesaikan tugas-tugas pelajaran sekolah; kegiatan-kegiatan sekolah; membantu orang tua, mencari nafkah; cara, antara lain, menunggu warung atau berkeli­ling beijualan kue-kue. Kesempatan bermain di siang hari makin berkurang, sehingga permainan le-alle bengko ini, seringkali di­mainkan pada malam hari menjelang bulan purnama.

Disayangkan sekali bila permainan ini menjadi punah. Padahal apabila kita lihat permainan le-alle bengko ini sangatlah baik untuk pembinaan anak-anak (proses sosialisasi), karena permainan itu sendiri mempunyai nilai-nilai yang dapat membentuk jiwa dan si­fat anak agar beijiwa sportif, trampil dan sigap. Dengan melalui permainan ini, si anak akan berkembang daya pikirnya dan pula
sifat kegotong-royongan yang telah tertanam di desa akan selalu terbawa dalam pembentukan pribadinya.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:  Nilai Budaya Dalam Permainan Rakyat Madura- Jawa timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, 1991. hlm. 24-42