Mpu Sindhok
Gunung Merapi telah reda dari amarahnya, namun demikian di Mataram sama sekali tak nampak adanya kehidupan. Mataram telah kehilangan kejayaannya,…
Gunung Merapi telah reda dari amarahnya, namun demikian di Mataram sama sekali tak nampak adanya kehidupan. Mataram telah kehilangan
kejayaannya, lengang bagaikan kuburan raksasa yang terselimuti kabut tebal yang membentuk bayangan-bayangan seakan akan melolong menghimbau datangnva pertolongan.
Mpu Sindhok dengan pasukannya sangatlah terpukul, gundah gulana tidak tahu yang mesti diperbuat. Sekali-sekali mereka nampak mendesah, sambil duduk-duduk bertelekan tangan di tanah bersandar batang randualas. Tanpa terasa waktu telah menjelang fajar, nun jauh disana terdengar burung merak
mangungong, kokok ayam hutan sayup-sayup sampai. Dinginnya pagi yang terbawa angin berhembus sepoi-sepoi merasuk dalam sanubari memberikan kesegaran terhadap mereka yang sedang lunglai.
Serasa baru bangun dari tidur, Mpu Sindhok berdiri meloncat di atas batu hitam, memanggil senopati pangapit yaitu Mpu Manggali dan Mpu Mapanji.
Mereka telah membulatkan tekat sepakat untuk mengembalikan kejayaan Mataram,dengan cara membangun keraton baru di daerah timur, yaitu di Galuh Watu. Konon Mpu Sindhok dengan pasukannya segera menuju ke Galuh Watu. Barisannya meliuk-liuk melingkari perbukitan, pada
akhirya sampailah mereka di daerah Tamwlang, suatu daerah yang tidak kalah indahnya dengan Galuh Watu. Seketika itu juga, Mpu Sindhok memerintahkan berhenti di Tamwlang dan segera bekerja membuka hutan untuk dijadikan keraton.
Sebenarnyalah bumi Tamwlang telah ada yang menguasai, yaitu dua orang bersaudara yang bernama Waharu dan Sumbut. Keduanya merasa dilecehkan oleh para prajurit yang telah berani membuka hutan tanpa memberi tahu dan ijin dari mereka berdua.
Karena merasa kekurangan prajurit, maka Waharu dan Sumbut secara diam-diam mengganggu mereka yang sedang bekerja. Oleh sebab itu maka setiap pembangunan keraton sudah hampir selesai, dipastikan roboh hancur berantakan bagai diterjang banjir bandang. Itu semua adalah ulah Waharu dan Sumbut.
Mpu Sindhok yang tidak mengetahui siapa yang berulah, segera memanggil Mpu Mapanji dan Mpu Manggali untuk mencari siapa yang telah mengganggu pembangunan keraton.
Pada akhirya Mpu Mapanji dan Mpu Manggali berhasil mempergoki Waharu dan Sumbut. Terjadilah perselisihan pendapat, yang akhirya ditentukan melalui ketajaman pedang.
Namun demikian, belum sampai ada yang kalah maupun menang, datanglah Mpu Sindhok melerai mereka yang sedang bertempur. Dihadapan Mpu Sindhok, Waharu dan Sumbut menjelaskan bahwa mereka berdualah yang berhak atas bumi Tamwlang berdasarkan titah raja Kanjuruan. Sementara itu Waharu dan Sumbut belum pernah mengenal langsung Mpu Sindhok, mereka hanya mengenal kebesaran namanya saja.
Mpu Sindhok yang ternyata berbudi luhur, sama sekali tidak tersinggung atas ulah Waharu dan Sumbut, bahkan serta merta Mpu Sindhok meminta maaf kepada Waharu dan Sumbut atas kesalahfahaman yang telah terjadi. Alangkah kagetnya Waharu dan Sumbut setelah mengetahui bahwa yang berdiri di depannya adalah tokoh yang mereka kagumi dan hormati, serta merta mereka pun duduk bersilah memeluk kaki menyembah kepada Mpu Sindhok, meminta maaf atas segala ulahnya, bahkan bersedia menyerahkan bumi Tamwlang dan membantu mendirikan keraton.
Mpu Sindhok dengan penuh keakraban menerima uluran tangan Waharu dan Sumbut, namun demikian pembangunan keraton di Tamwlang harus dibatalkan, dialihkan ke Galuh Watu sebagainiana rencana terdahulu.
Beberapa hari kemudian, perjalanan pasukan Mpu Sindhok telah sampai di Galuh Watu. Segeralah mereka bekerja dengan penuh semangat, sehingga tidak lama kemudian di Galuh Watu telah berdiri sebuah bangunan megah berbentuk keraton yang berbenteng tebal dilingkari sungai yang dalam, menghadap alun-alun yang luas yang dihiasi oleh sepasang ringin kurung sehingga untuk sementara para prajurit pun dapat melepaskan lelahnya.
Belum lagi kering keringat yang menempel di tubuh mereka, suasana dikejutkan oleh kedatangan prajurit sandi yang melaporkan bahwa di Nganjukladang dijumpaibarisan yang panjang, melihat bendera yang dibawanya jelaslah mereka adalah pasukan dari Swarnadwipa utusan raja Sriwijaya keturunan Balaputra. Pasukan besar tersebut dipimpin oleh senopati Mpu Gantar. Tanpa menunggu perintah, para prajurit pun berlari mempersiapkan diri.
Kapak, cangkul, tatah dan gergaji segera dibuangnya. Tangannya menyambar segala macam senjata yag ada di dekatnya yang selama ini diistirahatkan. Pedang, tameng, tumbak, bindi dan gada telah siap di tangan untuk menghadapi musuh yang akan menggagalkan usaha mereka dalam membangun negara.
Bertemunya kedua pasukan dari Swarnadwipa dan Galuh Watu, gemuruh bagai ombak samodra yang menghantam karang. Berkilatnya pedang yang ditangkis tameng sferta sambaran tombak yang diterima gada memercikkan bunga api dan suara keras menambah riuhnya pertempuran.
Ternyata pasukan dari Galuh Watu adalah merupakan prajurit terpilih dan terlatih dengan baik sudah kenyang dengan tempaan berbagai ilmu kanuragan tentang kerasnya tulang dan liatnya kulit, ditambah dengan semangat tempur yang tinggi serta sesanti lebih baik mati berkalang tanah dari pada menyerah.
Bagaikan banteng terluka mereka memporak porandakan gelar pasukan musuh.
Pada akhirnya prajurit Galuh Watu berhasil menghalau musuh-musuhnya. Terdengar sorak sorai pasukan Galuh Watu yang unggul dalam pertempuran.
Peperangan itupun berakhir, Mpu Sindhok ditetapkan sebagai raja di Mataram Galuh Watu dengan gelar Shri Ishanawikrama Dharmatunggadewa (929-947). Cerita ini, disajikan untaian lagu yang terangkai dalam sekar setaman Maskumambang, Mijil, Asmaradana, Pangkur, Durma dan Kinanthi.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: RM. Budi Udjianto, HN. Banjaran Kadiri, Kediri: Pemerintah Kota Kediri, 2008