Reog Kedhiri
Istilah “reog” untuk pertunjuKan rakyat sejenis dengan Reog Panaraga, di daerah Kendhiri sekarang sudah jarang terdengar. Sebutan , “Jaranan” lebih…
Istilah “reog” untuk pertunjuKan rakyat sejenis dengan Reog Panaraga, di daerah Kendhiri sekarang sudah jarang terdengar. Sebutan , “Jaranan” lebih populer. Mungkin bagi masyarakat Kedhiri dan sekitar, “reog” memberikan asosiasi pikiran kepada garnbaran Singabarong Dhadhakmerak di Panaraga, yang dalam pertunjukan mereka tidak ada. Atau karena kenyataan, ballwa pertunjukan mereka sekarang sudah jarang tersajikan secara lengkap dan hanya menampilkan jaranannya saja dengan tokoh gendruwonya yang berfungsi sebagai dhagelan (lawakan). Narnun demikian, sebutan “reog” pada awal mulanya memang dipakai. Sarna dengan rekan-rekannya di Tulungagung dan Panaraga, (yang akhirini dengan versi Mirah), Reog Kedhiri menggunakan Panji sebagai tema pertunjukannya, hanya mengarnbil episoda yang lain.
Reog Kedhiri dalarn bentuknya yang asli sudahjarang kita saksikan, atau mungkin sudah tidak ada lagi. Yang tinggal kini adalah kepingankepingan yang sudah cam pur aduk. Penyajian sebagai komposisi tari (Reog Kedhiri pada hakikatnya memang komposisi tari) – ‘yang utuh, lengkap, dan urut sukar dapat kita temukan. Kita merasa sayang, tetapi kita tidak dapat menyesalkan, karena Reog Kedhiri, berbeda dengan Reog Tulungagung, menonjol sekaIi sifat kerakyatannya. Reog Kedhiri memang kesenian rakyat, sederhana, spontan, kadangkala kasar, asing dengan kaidah-kaidah yang seringkita istilahkan “sophisticated” seperti pada kesenian cabang atas.
Untuk memperoleh garnbaran yang lebih konkrit bagaiJnana Reog Kedhiri seperti aslinya, atau yang mendekati bentuk aslinya, kita muatkan di sini maian Dr. Th. Pigeaud mengenai tulisan Martaatmadja sebagaimana yang dimuat dalam ”’Pusaka Djawi” V, 1926. Angka tahun 1926 kiranya cukup kontras untuk diperbandingkan dengan tahun 1979 sekarang ini, karena jarak waktu setengah abad lebih akan memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti. Terjemahan u’raian Pigeaud tersebut lebih kurang sebagai berikut:
Dibandingkan dengan Reog Panaraga, garapan Reog Kedhiri lebih kasar. Dalam permainan kedhokan ini ditampilkan barongan, tanpa mahkota bulu merak, moncongnya panjang, yang oleh pemerannya dapat dibuka dan dikatupkan sehingga menimbulkan bunyi “plok-plok-plok” (Sekarang dinamakan barongan “cepaplok”, S.Tm.).
Anak-anak sering menggodanya dengan ejekan dalam bahasa Jawa: “kecerit, kecerit, bolmu kejepit!”, yang artinya: “mencret, mencret, duburmu terjepit!”. Agaknya diasosiasikan dengan orang sakit mencret. Kalau barongan itu marah dan mengejar anak-anak itu, maka larilah mereka tunggang langgang. Mungkin karena ejekan terse but, barongan itu sering dipanggil “cerit” atau ” pacerit” (Pak Cerit? S.Tm.). Demikian tutur salah seorang Jawa.
Pemain kedhokan kedua yalah Dhampuawang, mengenakan topeng berwarna merah dengan hidung yang panjang. Ia hanya bersenjatakan sebuah cemethi. Pengganti dua raksasa dalam pertunjukan Reog Panaraga, di sini hanya ditampilkan satu tokoh, mengenakan pakaian terbuat dari bagor dan topeng seperti Jaka Bluwo at au Jaka Bodho. Ia bersenjatakan pedang kayu. Di Kedhiri tokoh ini disebut Jaka Lodra. menurut tuan Martaatmadja nama itu dikaitkan dengan “ludrug” . Maka anak-anak pun mengejeknya dengan panggilan: Ludrug. Ludrug atau Badhut. Atau Badhut.
Oleh tuan Martaatmadja juga dipaparkan ten tang pertunjukan kedhokan yang lebih luas. dengan adegan-adegan yang sarna seperti di atas. Setelah adegan beberapa jaranan (= pemain kuda kepang) “ndadi” (intrance, extase). rnaka mereka pun bertarung melawan barongan. Jaranan kalah. Muncullah Dhampuawang. berperang melawan barongan. Di sini diselipkan adegan Dhampuawang melepaskan lelah, ditunggui oleh isteriisterinya. Dalam adegan ini diperdengarkan lagu-Iagu, yang diuraikan oleh tuan Martaatmadja secara terperinci.
Selanjutnya menyusul adegan Gunungsari dan Regol Patrajaya. Menarik sekali apa yang diuraikan oleh tuan Martaatmadja yalah. Bahwa Gunungsari. atau yang sering disebut juga Mlayakusuma. oleh orang-orang Kedhiri dianggap sebagai pepundhen. artinya dipuja sebagaimana kebiasaan adat di daerah terse but. Suatu contoh lagi ten tang kecenderungan masyarakat daerah untuk memuja tokoh-tokoh mitologi, yang barangkali be rsumber dari alam kepercayaan animistik.
Akhirnya rrienyusul adegan Penthul dan Tembem. Apa peranan laka Lodra sebenarnya, tuan Martaatmadja tidak menyebutkan. Kita perkirakan, bahwa Jaka Lodra ini akan merampungkan peperangannya teni.khir melawan barongan. Demikianlah kurang lebih pertunjukan Reog Kedhiri pada sekitar tahun 1926 sebagaimana dilukiskan oleh Martaatmadja yang dicatat oleh Pigeaud . Kadar bandingan, berikut ini sebuah pertunjukan sejenis di desa Wanasari, kecamatan Pagu , kabupaten Kedhiri, yang kami sakslkan pada tanggal 8 Januari 1979.
Mula-mula tampil dua_ orang penari kuda lumping (Jaranan). Mereka bersenjatakan sebuah cambuk. Beberapa saat mereka menari dengan gaya masing-masing ditingi<ah oleh bunyi gamelan yang ditabuh dengan irama lamban.
Menyusul adegan Celengan (celeng = rusa). Irama tctabuhan dipercepat. Celcngan menyerang laranan , terjadi peperangan satu lawan dua. Dalam pada itu muncul pula barongan cepaplok, yang melukiskan seekor Nagaraja (raja ular), bertarung dengan tokoh gendruwon, berhidung panjang, sepasang mata melotot, kumis dan rambutnya panjang. Ia bersenjatakan cambuk pula. Sekali pandang segera dapat kita kenali sebagai Bujanggan{)ng dalam Reog Panaraga, at au Dhampuawang dalam Reog Kedhiri tahun 1926 tersebllt di atas, tetapi di sini topengnya berwarna hitam, bukan merah.
Penampilannya dibatengi oleh peran perempuan, (pemerannya laki-Iaki berbusana perempuan mengenakan gaun), topengnya berwarna merah, anehnya tidak dipasang menutupi mukanya, melainkan clicangking saja. Kehaclirannya mengingatkan kita kepada tokoh isteri Dhampuawang, walaupun adegan romans Dhampuawang bersama isterinya sewaktu mengaso melepaskari lelah sehabis berperang melawan barongan tidak sempat ditampilkan.
Dalam adegan yang sekarang, digambarkan peperangan antara Jaranan dan Dhampuawang di satu pihak, dan di pihak lawan Cclengan dan Cepaplok. Bertubi-tubi lecutan cambuk ditimpakan ke tubuh Celengan oleh prajurit Jaranan, dan ke tubuh Cepaplok oleh Dhampuawang, demikian kcrasnya hingga penonton ngeri melihatnya.
Unik di sini peranan tokoh perempuan yang tidak berperan apa-apa, kecuali berjalan kian kemari sembari berlenggat-lenggot . Tetapi setelah diamati benar-benar, mengagumkan juga fantasi mereka. Karcna scmpitnya waktu yang tersedia, mereka memadatkan pertunjukan mereka dengan menyatukan adegan peperangan kedua kelompok itu (kelompok Jaranan melawan Celengan, dan kelompok Dhampuawang melawan Cepaplok, dan tidak saling berganti lawan) dalam satu arena yang tidak terlalu luas. Dalam hal demikialln tokoh perempuan ternyata mengambil peranan aktif namun netral sebagai batas pemisah arena.
Sudah barang tentu batas itu berpindah-pindah mengikuti gerakan yang saling berperang. Itulah sebabnya topeng tidak dikenakan pada mukanya, pertama: untuk memberi kesan netralitasnya; kedua: sekaligus menyatakan kehadirannya sebagai isteri Dhampuawang; dan ketiga: tanpa topeng dimukanya ia leluasa mengamati arena. Andaikata waktunya ada, niscaya adegan peperangan kedua kelompok itu dilakukan secara terpisah.
Setelah pihak Celengan dan Cepaplok dikalahkan, maka selesailah pertunjukan. Adegan-adegan lain seperti penampilan Jaka Lodra, Gunungsari, Patrajaya, dan lainnya tidak ada, atau memang tidak sempat diadakan. Ternyata tidak terdapat adanya perubahan mendasar antara pertunjukan Reog Kedhiri tahun 1926 dan 1979, kecuali hanya yang menyangkut kostum dan garapan saja . Tetapi rakyat sebenarnya tidak pernah mengenal apa yang disebut Hgarapan” di bidang kesenian itu. Mereka menerima warisan dari leluhur mereka turun-temurun. Mereka melakukan apa yang dilakukan oleh moyang mereka , sepanjang keadaan mengijinkan.
Judi kalau ada perubahan, hanyalall perubahan materiil sesuai dengan keadaan jaman dan kemamplfan daya beli. Atau kalau pun ada perubahan yang pokok, itu terjadi secara tidak sengaja karen a kekurangan pengetahuan atau pengaruh-pengaruh dari Iuar yang tidak mereka sadari. Namun, apa yang mereka lakukan sekarang, lepas dari segal a kekllrangannya, mereka lakukan dengan sungguh-sungguh. Dan dari apa yang mereka lakukan itu, kita masih cukup mengenali kembali apa yang telah disajikan oleh moyang mereka pada tahun 1926. Dan mengingat jarak waktu pemisah yang setengah abad lebih itu, tanpa ada perubahan fundamental, kiranya dapat kita terima dengan hati ringan , bahwa demikian itulah kurang lebih bentuk dan karakter Reog Kedhiri aslinya dulu. Busana, kecuali yang dikenakan oleh pelaku perempuan, pada dasarnya sama semua: udheng (ikat kepala), kaos oblong, celana berseret panjang sampai lutut , kain batik panjang yang dililitkan ke pinggang dengan ujungnya menjurai ke bawah di bagian depan. Ikat pinggangnya setagen dirangkapi dengan sam pur sebagai hiasan . Secarik syal melilit di leher semacam dasi.
Yang membedakan peranan mereka satu sama lain yalah atribut peranan mereka. Yang Jaranan menunggangi kuda kepang, dengan gerak tari meniru-niru gerakan prajurit penunggang kuda dan gerakan kudanya itu sendiri. Sebentar-sebentar melecutkan cambuknya, jumedher suaranya mengatasi keriuhan suara tetabuhan yang mengiringi. Pelaku Celengan membawa sebuah gambar celeng-celengan ‘ tanpa kaki, disengkelit atau diacungkan ke depan menurut ulah tari menirukan gerakan seekor celeng: njrunthul, nyronggot, dan sebagainya.
Peran Dhapuawang menggunakan topeng, seperti dilukiskan di muka, warna hitam, mata melotot, hidung panjang, ditambah dengan kumis dan rambut panjang. Gerak jogedannya lucu, tetapi juga bisa marah, lalu melecutkan cambuknya ke tubuh barongan. Adapun barongannya, sang Nagaraja, moncongnya panjang, dapat membuka dan mengatup dengan mengeluarkan bunyi “plok-plok-plok” dan ekornya terbuat dari kain berbentuk segi tiga yang memanjang ke belakang, dilukisi bersisik, atau kadang-kadang juga polos saja. Biasanya pada ujung ekornya ada orang yang memegangi. Hiasan kepala naga itu semacam jamang (mahkota) terbuat dari kulit kerbau, bertatahkan hiasan warna-warni. Karena . pemeran barongan praktis tersembunyi di balik kedhoknya dari kepala sampai badannya, ia tidak perlu memakai udheng, kain batik, dan sebagainya.
Cukup dengan celana yang berseret itu dan kaos oblong. Peranan. perempuan sudah disebutkan mengenakan gaun (rok) panjang sampai di bawah lutut, sebuah syal di leher, sedang topengnya yang berwajah ‘ manusia. biasa berwarna putih hanya dicangking saja. Tentang busana ‘ini ada yang membedakan mereka dengan rekanrekan mereka di Tulungagung dan Panaraga. Mereka tidak mengenakan kaos kaki, gongseng, sum ping dan kacamata. Musik pengiringnya sarna dengan yang di Panaraga: sebuah kendhang, sebuah thempling atau ketipung yang dipukul dengan sebuah tongkat lentur, sebuah kenong, ·sebuah kempul, sebum selompret dan dua buah angklung. Satu hal yang patut dicatat di sini yalah, bahwa selompret yang sekarang berfungsi sebagai “pamurba'” lagu. Sekaligus pembawa lagu (mel odie drager), jadi dengan demikian merupakan unsur yang tidak dapat ditinggalkan dalam iringan tetabuhan reog.
justeru tidak digunakan dalam pertunjukan Reog Kedhiri sekitar 1926. Sebagai gantinya
digunakan tiga buah angklung, sehingga melodi yang keJuar diungkapkan oleh Martaatmadja dengan deretan suku kat a menirukan bunyi “kilkil’pak, kil·kil-nong”. dan seterusnya, dalam irama cepat atau lambat menu rut keperluan. Sekarang, setelah ada , selompret, maka variasi melodi diperkaya dengan lagu-lagu populer, sarna seperti di Tuhmgagung dan Panaraga (Angleng, Loro-loro, Gandariya, dan lain-lain) .
Kini tentang identifikasi peranan. Di muka telah disebutkan, bahwa pertunjukan Reog Kedhiri bertemakan cerita Panji. Pada pertampilan penari Celengan segera dapat kita kenali tokoh Patih Puthut Jenggalalana yang mengikuti pasanggiri mencari Candrakirana dan Panji Asmarabangun yang menghilang dari kraton (Bab IV: 1.4.), atau kawula prajurit binatang anak buah Prabu Rahwanaraja. Dalam Reog Kedhiri 1926 adegan Celengan tidak disebutkan.
Prajurit Jaranan jelas· menggambarkan pasukan berkuda kerajaan Jenggala(manik). Dalam Reog Panaraga adalah pasukan berkuda Bantarangin, anak buah Prabu Kelana Sewandana. Dhampuawang (berikut isterinya) sukar diidentifikasikan. Tokoh legendarik ini terlalu banyak tersebar di mana-mana, tidak hanya di kalangan pertunjukan Reog Kedhiri saja. Ada yang menapsirkan suatu verbastering dari kata “dang puhawang” yang berarti “sang nakhoda” (kapten kapal), dan ini dihubungkan pula dengan Cheng Ho, seorang laksamana Kaisar Tiongkok yang memimpin perutusan muhibah ke Jawa pada permulaan jaman Islam.
Lain lagi menapsirkan suatu verbastering nama Sam Po Ong, berubah menjadi Sam Po Wang, dan oleh lafal Jawa disebut Dhampuawang (Dhampoawang). Nama Sam Po Ong ini rupa.rupanya sangat terkenal atau populer di katangan masyarakat Kedhiri, sebab di Gua Selamangleng, di kaki gunung Klothok Kedhiri, terdapat sebuah patung Amitabha (= Dhyani-Buddha dalam sikap samadi, yang oleh Juru Kunci yang menjaga gua tersebut identifikasikan dengan Sam Po Ong.
Kenyataannya sekarang tempat itu pad a tiap kesempatan banyak dikunjungi oleh masyarakat Cina yang “nepi” atau “ngalap berkah”, agar terpenuhi segala keinginan duniawinya. Mengingat Gua Selamangleng menurut tutur tradisi adalah pertapaan Dewi Kilisuci, tokoh penting dalam siklus Panji, maka di sini pasti ada kaitannya antara Dhampuawang dan panji. Namun apa peranan Dhampuawang dalam siklus Panji itu sebenarnya, tetap merupakan teka-teki.
Jaka Lodra,adalah anak seorang bujangga sakti bernama Buta Locaya, karena sumpah ayahnya beralih rupa menjadi manusia berkepala kerbau. Kemudian ia menjadi raja Bandarangin (bukan Bantarangin), bernama Prabu Lembusura, yang melamar Ratu Kilisuci. Akhirnya Lembusura ini tewas oleh tangan adiknya sendiri, Jathasura.
Tetapi dalam pertunjukan Reog Kedhiri 1926 peran Jaka Lodra tidak jelas. Melihat topengnya, Jaka Bluwo? Kalau benar ia Jaka Bluwo , maka pastilah ia Panji Asmarabangun, sebab dalam kisah Panji versi lain lagi, jaka Bluwo adalah metamorfosa (perubahan rupa) Panji Asmarabangun yang hilang itu. Ini masuk akal, sebab Pigeaud pun memperkirakan jaka Lodra tampil pada adegan·terakhir untuk berperang melawan barongan Cepaplok. Adegan perang terakhir ini dalam pertunjukan wayiUlg disebut “perang brubuh” atau ” brubuhan” , yang tampil pasti tokoh-tokoh utamanya dalam lakon. Karena lawan Panji yang sudah klasik adalah Kelana Sewandana, maka Cepaplok adalah metamorfosa Kelana Sewandana.
Tetapi Cepaplok yang menggambarkan seekor ular Naga itu, adalah Puthut lenggalalana sebelum ia mengubah dirinya menjadi seekor celeng. Di sini mungkin sekali peranan tertukar, hal yang lajim terjadi dalam kisah tutur. Ular Naga Cepaplok adalah metamorfosa Patih Tamengdita dari Bandarangin, patihnya Kelana Sewandana. Kalau demikian halnya, maka adegan perang terakhir (brubuhan) seperti yang diperkirakan Pigeaud itu, jalannya sebagai berikut: Jaka Lodra (= Jaka Bluwo) berperang melawan Naga Cepaplok. Naga Cepaplok mati, berubah kembali pada wujud aslinya: Patih Tamengdita. Kelana Sewandana, rajanya, marah, lalu menyerang Jaka Lodra. Karena. kesaktian sang Kelana, Jaka Lodra settelah dihajar habis-habisan, pulih kembali pada wujud asal menjadi Panji Asmarabangun. Sang Panji marah sekali dan melawan lagi.
Akhirnya Kelana Sewandana tertumpas. Begitulah akhir pertunjukan Reog Kedhiri 1926 itu kira-kira. Tetapi ini lalu menjadi versi lain karena matinya, Patih Tamengdita bukan oleh Panji Asmarabangun, melainkan oleh Kleting Kuning alias Candrakirana dengan pusaka “sada lanang”-nya itu. Tampilnya Gunungsari dengan kedua panakawannya Regol dan Patrajaya sudah jelas, untuk mencari kakaknya Panji Asmarabangun. Tetapi penampilannya tentu dalam adegan mendahului adegan brubuhan.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Reog di Jawa Timur. Jakarta: Proyek Sassana Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979. hlm. 115-124