Abdul Hadi WM, Penulis
Abdul Hadi WM lahir di Sumenep, Ayahnya, saudagar dan guru bahasa Jerman bernama K. Abu Muthar dan Ibu keturunan putri keraton Solo bernama…
Abdul Hadi WM lahir di Sumenep, Ayahnya, saudagar dan guru bahasa Jerman bernama K. Abu Muthar dan Ibu keturunan putri keraton Solo bernama RA. Martiya. Abdul Hadi WM adalah anak sulung dari empat bersaudara (semua laki-laki).
Pendidikan dasar dan sekolah menengah pertamanya diselesaikan di kota Sumenep, Ketika memasuki sekolah menengah atas di Surabaya, kemudian menempuh pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta hingga tingkat sarjana muda, lalu pindah ke studi Filsafat Barat di universitas yang sama hingga tingkat doktoral, namun tidak diselesaikannya. Ia beralih ke Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung dan mengambil program studi Antropologi.
tahun 1973-1974, Selama setahun Hadi bermukim di Iowa, Amerika Serikat untuk mengikuti International Writing Program di University of Iowa, lalu di Hamburg, Jerman selama beberapa tahun untuk mendalami sastra dan filsafat.
tahun 1978, ia menikah dengan wartawati dan pelukis Tedjawati Koentjoro, dan dikarunia tiga orang putri Gayatri Wedotami, Dian Kuswandini dan Ayusha Ayutthaya.
tahun 1990, Bersama temannya Zawawi Imron dan Ahmad Fudholi Zaini, Hadi mendirikan pesantren “Pesantren An-Naba” di Sumenep. yang terdiri dari masjid, asrama, dan sanggar seni tempat para santri diajari sastra, seni rupa (berikut memahat dan mematung), desain, kaligrafi, mengukir, keramik, musik, seni suara, dan drama.
tahun 1992, Hadi mendapatkan kesempatan studi dan mengambil gelar master dan doktor Filsafat dari Universiti Sains Malaysia di Penang, Malaysia, di mana pada saat yang bersamaan ia menjadi dosen di universitas tersebut. Sekembalinya ke Indonesia, Hadi menerima tawaran dari teman lamanya Nurcholis Madjid untuk mengajar di Universitas Paramadina, Jakarta.
tahun 1967-1968, Menjadi redaktur Gema Mahasiswa, inilah awal Keterlibatannya dalam dunia jurnalistik, sejak menjadi mahasiswa,
tahun 1970-an, Para pengamat menilainya Hadi sebagai pencipta puisi sufis. Karya-karyanya kian kuat diwarnai oleh tasawuf Islam. Orang sering membandingkannya dengan karibnya Taufik Ismail, yang juga berpuisi religius. Namun ia membantah. “Dengan tulisan, saya mengajak orang lain untuk mengalami pengalaman religius yang saya rasakan. Sedang Taufik menekankan sisi moralistisnya.”[
Saat itu sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat dalam sastra Indonesia kontemporeran, puitika sufistik yang dikembangkan Abdul Hadi menjadi mainstream cukup dominan dan cukup banyak pengaruh dan pengikutnya.[27] Tampak ia ikut menafasi kebudayaan dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami,ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual yang dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat hedonis dan sekuler.[28]}
tahun 1969-1974, Redaktur Mahasiswa Indonesia.
tahun 1977-1978, Redaktur Pelaksana majalah Budaya Jaya,
tahun 2008, Dikukuhkan sebagai Guru Besar Falsafah dan Agama oleh Universitas Universitas Paramadina, Jakarta.
1979-1981, Redaktur majalahKamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).
tahun 1981-1983, Redaktur Balai Pustaka dan redaktur jurnal kebudayaan Ulumul Qur’an.
tahun 1979, sampai awal 1990-an, ia menjabat sebagai redaktur kebudayaan harian Berita Buana.[16]
tahun 1982, ia dilantik menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta
tahun 2000, Dilantik menjadi anggota Lembaga Sensor Film,
Menjabat Ketua Dewan Kurator Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal,
Ketua Majlis Kebudayaan Muhammadiyah,
Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
Anggota Dewan Penasihat PARMUSI (Persaudaraan Muslimin Indonesia).
(Sh1W0 n BanT0)
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Sumber: dari berbagai koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur