Tuesday, October 15, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Reog Panaraga: Versi Jathasura – Kilisuci – Bujanggalelana dan Kelana – Candrakirana

Buta Locaya, seorang bujangga sakti, pencikal-bakal Daha dan se­kitarnya, mempunyai dua orang anak laki-laki, yang sulung bernama Jakalodra, adiknya Singalodra….

By Pusaka Jawatimuran , in Kesenian Legenda Seni Budaya Th. 1978 , at 23/08/2012 Tag: , , , , , , ,

Buta Locaya, seorang bujangga sakti, pencikal-bakal Daha dan se­kitarnya, mempunyai dua orang anak laki-laki, yang sulung bernama Jakalodra, adiknya Singalodra. Pada suatu hari sang bujangga memanggil kedua anaknya menghadap. Jakalodra mengenakan ikat kepala yang bukan mestinya. Sebagai seorang satria seharusnya mengenakan ikat kepala jilidan menurut adat setempat, tetapi waktu itu Jakalodra menggunakan ikat kepala yang bagian sisi kanan dan kirinya mencuat keluar seperti tanduk kerbau layaknya. Melihat hal demikian sang ayah menjadi gusar, katanya:

“Ikat kepala macam apa yang kaukenakan itu? Lihat tampangmu, tak ubahnya seperti kepala kerbau saja!”

Mendengar ujar ayahnya demikian, Singalodra, si bungsu, ketawa terbahak-bahak.

“Kau pun demikian juga!” tegur sang bujangga, “Seperti tak tahu adat. Cekakakan seperti mulut macan layaknya!”

Mungkin karena kesaktian sang bujangga, mungkin pula karena kehendak Dewata, sekonyong-konyong kedua kakak-beradik itu seperti kena kutuk dan menjadi salah ujud. Jakalodra menjadi seorang manusia berkepala kerbau, sedang adiknya, Singalodra, berkepala macan (hari­mau). Keduanya menangis menyesal dan minta ampun agar dikembalikan kepada ujudnya yang semula.

“Aduh, ayah, hamba akan menjadi apa, dengan ujud hamba yang begini? Hamba seorang satria, mestikah hamba menanggung malu dengan muka dan kepala binatang begini? Bagaimana mungkin hamba menjadi satria, kalau hamba tak berani lagi muncul di depan umum? Hamba mohon ampun, ayah.”

“Anakku, Jakalodra dan Singalodra. Ayah pun menyesal karena ke­buru hati mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya tak patut kuucapkan. Tetapi apa hendak dikata. Nasi telah menjadi bubur, suratan takdir tidak dapat diubah. Ini sudah kehendak Dewata. Ayah hanya dapat berdoa, agar kalian, apa pun ujudmu, tetap menjadi satria dan yang sakti pula. Ini, terimalah, anak-anakku, pusaka ayah berupa “aji-aji pamungkas”, jadikan perisai keselamatanmu bersama. Hendaknya kalian rukun selalu. Tetaplah bersatu dalam menghadapi segala keadaan apa pun, itulah ke­kuatan “aji-aji” ini, yang akan menjadikan kalian satria yang sakti.”

“Aduh, ayah, karena ujud hamba yang sudah begini, tidak ada lagi keinginan hamba kecuali kesaktian. Berikan “aji-aji pamungkas” itu, ayah, hamba akan mematuhi segala petunjuk dan nasehat ayah.”

“Sukurlah, anakku. Nah, sebelah barat ini terdapat daerah hutan belantara yang luas. Carilah tempat yang terdapat “sarang angin”-nya, bukalah hutan di sekitar itu dan dirikan perkampungan sebagai tempat tinggal kalian. Namakan perkampungan baru itu Bandarangin.”

Kedua kakak-beradik itu pun bersembah dan menerima “aji-aji pamungkas,” setelah itu bermohon diri untuk membuka hutan yang ditunjukkan oleh ayahnya itu.

Syahdan, Jakalodra dan Singalodra telah berhasil membuka hutan di sebelah barat Daha, sebagaimana ditunjukkan oleh ayah mereka sang bujangga Buta Locaya. Perkampungan telah berdiri, mula-mula kecil, lambat laun menjadi besar, karena makin banyaknya pendatang yang ikut tinggal dan membangun perkampungan tersebut. Bahkan akhirnya kedua saudara itu pun berhasil mendirikan istana bagi dirinya masing-masing. Jakalodra kemudian mengangkat dirinya sebagai raja penguasa daerah itu dengan gelar Prabu Anom Lembusura (atau Maesasura?), sedang adiknya dijadikan patihnya, bernama Jathasura. Adapun kerajaan mereka dina­makan Bandarangin, karena merupakan sebuah kota yang banyak berangin. Letak Bandarangin itu di desa Bandaran di Kedhiri sekarang, berada di seberang Brantas sebelah barat. Tetapi pada waktu itu sungai Brantas belum ada.

Berbatasan dengan Bandarangin adalah kerajaan besar Kedhirilaya, yang dirajai oleh seorang puteri cantik bernama Ratu Kilisuci. Prabu Anom Lembusura ingin mempersunting Ratu Kilisuci. Maka dipanggilnya Patih Jathasura, adiknya, dan disampaikan niatnya itu.

“Kalau aku berhasil memperisteri Ratu Kilisuci, maka aku akan menjadi raja Kedhirilaya. Dan kau akan kujadikan Raja Muda di Banda­rangin ini. Sekarang berangkatlah kau ke Kedhirilaya, menyampaikan pinanganku kepada Ratu Kilisuci.”

“Baiklah, kakang Prabu, tetapi kalau lamaran itu ditolak, bagai­mana? Betapapun juga, kita harus menyadari, bahwa ujud kita ini tidak sempurna lagi. Apakah kira-kira mau Ratu Kilisuci menerima kakang Prabu menjadi suaminya?”

“Kuberi kau purba wasesa untuk memutuskan segala sesuatunya. Andaikata Kilisuci minta tebusan, apa pun tebusan itu, turutilah barang kehendaknya. Tetapi kalau ia menolak, jadikanlah kerajaan Kedhirilaya karang-abang. Gunakanlah “aji-aji pamungkas” warisan ayahanda.”

Patih Jathasura berangkat ke Kedhirilaya dengan membawa bebe­rapa satuan pasukan bersenjata lengkap, dengan Kelana Sewandana sebagai panglima.

Sesampainya di ibukota kerajaan Kedirilaya, Patih Jathasura meng­hadap Ratu Kilisuci, diantar oleh Patih Kedhirilaya Sang Bujanggaleng. Syahdan, ketika Patih Jathasura untuk pertama kali melihat kecantikan Ratu Kilisuci, timbul niatnya yang tidak baik. Ia merasa sayang kalau wanita secantik itu harus diserahkan kepada kakaknya. Ia ingin memperisterinya sendiri. Dan dinyatakannya isi hatinya itu terus terang kepada baginda Ratu, yang mendengarnya dengan sabar dan penuh perhatian. Setelah Jathasura habis bicara, maka bersabdalah Ratu Kilisuci:

“Sudahkah kaupikirkan masak-masak keinginanmu itu, Jathasura? Kau adalah utusan kakakmu, yang juga menjadi rajamu, yang segala titahnya sepatutnya kau junjung tinggi. Kalau kau sendiri sekarang mengi­nginkan aku, ini berarti, bahwa kau akan mengkhianati rajamu. Apakah kau bertanggung jawab, kalau timbul murka rajamu?”

“Hamba bertanggung jawab. Hamba akan menghadapinya, kalau ia akan menuntut dan memerangi Kedhirilaya. Hamba cukup kuat mengha­dapinya, karena hamba mempunyai “aji-aji pamungkas,” yang akan me­ngalahkan dia.”

“Baiklah, tetapi tak urung rakyatku jua yang akan menderita, kalau rajamu Prabu Lembusura datang menyerang kemari. Ini tidak adil, sebab dalam perkara ini aku dan lebih-lebih rakyatku tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Perkara ini semata-mata urusanmu dan urusan raja­mu.”

“Tetapi kalau lamaran ini ditolak, dia pasti akan memerangi Kedhi­rilaya juga. Itu sudah pasti. Dan kalau lamarannya tuanku terima dan ber­hasil ia memperisteri tuanku, hamba pasti tidak rela.”

“Sebaliknya pun demikian juga. Andaikata kuturuti kehendakmu, dia pun tidak akan rela. Karena itu begini sajalah. Aku bersedia menjadi isterimu, kalau kau berhasil membunuh rajamu lebih dulu. Kalau dia sudah mati, maka perkawinan kita tidak lagi akan terganggu. Tetapi kalau kau gagal, jangan harapkan aku. Nasibmu sudah pasti, kau akan mati oleh rajamu sendiri, dan aku menjadi isterinya. Dengan demikian rakyatku akan terhindar dari malapetaka peperangan. Ini sudah adil. Bagaimana, Jathasura, sanggupkah kau memenuhi permintaanku?”

“Permintaan tuanku puteri akan hamba penuhi. Sekarang hamba minta diri.”

Syahdan, pertarungan sengit yang timbul antara kedua kakak-beradik, setelah Jathasura kembali di Bandarangin, akhirnya berakhir dengan kematian Prabu Lembusura. Tetapi belum lagi Jathasura menikmati ke­menangannya, tiba-tiba muncul di hadapannya bujangga Buta Locaya.

“Heh, Jathasura, tak kusangka setega itu kau mengkhianati saudara tua, yang rajamu pula, hanya karena nafsu memperebutkan perempuan, yang bukan hakmu pula, karena kau hanyalah sebagai utusan. Tetapi hendaknya kau ingat, Jathasura, bahwa tiap perbuatan manusia itu tidak akan luput dari pembalasan yang disuratkan oleh karmamu sendiri. Kau tak menyadari, bahwa permintaan Ratu Kilisuci sebenarnya hanyalah tipu muslihat belaka. Oleh tipu muslihat itu kau telah menjadi alat penyebab kematian saudaramu. Maka kematianmu kelak pun akan disebabkan oleh tipu muslihat.” Setelah bersabda demikian, maka gaiblah Sang Bujangga Buta Locaya.

Tertegun Jathasura sesaat, seakan-akan menyesal ia atas tindakan­nya telah membunuh saudaranya sendiri. Tetapi kemudian datang bersembah panglima Kelana Sewandana.

“Gusti, tibalah saatnya kini tuanku menagih janji Prabu Puteri Ki­lisuci. Hamba menanti titah tuanku, apa yang harus hamba lakukan.”

Mendengar nama Kilisuci, tiba-tiba semangat Jathasura timbul kembali. Sabda Sang Buta Locaya seakan-akan telah hapus begitu saja oleh kenyataan, bahwa kini ia telah menjadi penguasa tunggal di kerajaan Bandarangin, dengan harapan akan mempersunting Puteri Kilisuci, pengua­sa kerajaan besar Kedhirilaya.

“Sewandana”, demikian katanya, “perintahkan membuat pancaka untuk membakar layon kakang Prabu Lembusura. Adakan upacara besar-besaran untuk mengantar sukma Baginda ke nirwana. Nyatakan hari-hari berkabung selama sepekan bagi seluruh kawula kerajaan Bandarangin. Setelah itu persiapkan angkatan perang yang akan mengantar perjalanan­ku ke Kedhiralaya untuk menagih janji Kilisuci.”

Peristiwa kematian Prabu Lembusura sudah terdengar beritanya sampai di istana Kedhirilaya. Itulah sebabnya Kedhirilaya diam-diam mem­persiapkan angkatan perangnya menghadapi Jathasura, sebab, bagaimana pun juga, Dewi Kilisuci bertekad untuk tidak mau menyerah kepada ke­inginan Jathasura.

Tiba saatnya menagih janji, Jathasura, yang kini sudah menjadi raja Bandarangin menggantikan kedudukan kakaknya, datang dengan mem­bawa pasukannya di ibukota Kedhirilaya.

“Prabu Jathasura”, sabda Ratu Kilisuci ketika menerima kedatangan Jathasura di stinggil. “Jangan kau kecewa, kalau kunyatakan kepadamu, bahwa sebenarnya sejak semula aku tidak ingin menjadi isteri siapa pun. Juga isterimu tidak. Lebih-lebih kau karena ujudmu itu, manusia berkepala macan. Itu adalah suatu pertanda, bahwa kau adalah penjelmaan binatang. Ini dapat dibuktikan pula dengan ulahmu yang mudah tega membunuh saudara sendiri karena dorongan nafsumu. Nafsu kebinatangan yang mengijinkan perbuatan jahat guna memenuhi keinginan angkaramu. Demi ke­hormatan negaraku, kawulaku, dan diriku sendiri, lamaranmu kutolak.”

Bagaikan disebit telinga Jathasura mendengar hinaan Kilisuci yang ditujukan kepada dirinya. Matanya berapi-api, dagunya gemetar, tangan­nya mengepal karena menahan marah.

“Heh, perempuan jahanam, tidak pantas rupanya kau disebut ratu, karena kau mengingkari janji-janjimu sendiri. Tidak akan tenteram hatiku sebelum aku berhasil membuat kau tunduk kepada kemauanku. Bersiap-siaplah kau untuk menerima upah kesombonganmu!”. Dan dengan an­caman demikian, Jathasura meninggalkan sitinggil.

Peperangan tidak dapat dihindarkan. Tetapi segalanya sudah diper­siapkan dan diperhitungkan. Namun demikian terdesak juga pasukan Kedhirilaya menghadapi amukan Jathasura yang dibantu dengan serangan-serangan gencar oleh pasukan istimewanya. Jathasura memang sakti. Segala macam senjata tidak mempan terhadapnya. Banyak sudah prajurit Kedhirilaya yang gugur atau tertawan. Mereka yang tertawan dijadikan sandera, dikumpulkan di dua tempat yang terpisah. Para perwira dan pejabat-pejabat tinggi ditawan dalam sebuah gedung besar berpagarkan tembok. (Tempat ini sampai sekarang terkenal dengan sebutan Setana Gedhong). Sedang prajurit bawahan dikumpulkan dalam sebuah per­kampungan yang dipagari bambu, (yang kini menjadi kampung Setana Bethek. Bethek = bambu).

Patih Bujanggaleng seorang cendekia, bijaksana, arif, penuh akal dan muslihat. Ia melihat Jathasura sebagai orang sakti, tetapi yang hanya mengandalkan kekuasaan dan kekuatan jasmani, mudah dipengaruhi oleh perasaannya yang terburu nafsu, mengabaikan kecerdasan akal dan budi yang baik. Kesaktiannya untuk memburu keangkaraannya, dan kesaktian demikian tidak akan dapat menyelamatkannya. Tetapi melawan Jathasura dengan kekuatan perang, pasti akan membawa korban besar kepada pra­jurit Kedhirilaya. Maka disarankannya Ratu Kilisuci untuk berpura-pura menyerah damai dan bersedia kawin dengan Jathasura, namun dengan persyaratan:

satu: agar dibuatkan sebuah sumur ban dung di puncak gunung Kelut, lengkap dengan sebuah tamansari dan pesanggrahannya, yang kelak akan menjadi tempat pengantin dipertemukan.

dua: tebusan pengantin perempuan berupa sasrahan ayam tukung sebesar gubug penceng (= gayor gong), kepalanya sebesar buah jambe (= tabuh gong), dan matanya sebesar terbang sesisi (= gong).

tiga: gulungan dedak jagung (= iker-iker, pinggiran topi), dibungkus daun asam (= sinom, yang juga nama tembang), sedang bitingnya alu beng­kong (= kepala orang yang dijobloskan dalam lingkaran iker-iker; beng­kong = dengan maksud terselubung). Pengarak pengantin terdiri atas pra­jurit yang menari-nari sambil menabuh sendiri, sedang niyaganya dewa berwatak sembilan. (Dewa = penguasa, pejabat pemerintah; berwatak sembilan = sembilan jenis kelompok). Pelaksanaan perarakan pengantin kelak akan diatur oleh Patih Bujanggaleng.

Karena mabuk kemenangan, maka tanpa pikir panjang, Jathasura menerima usul perdamaian dan persyaratan yang diminta oleh Ratu Kilisuci. Segera diperintahkannya mempersiapkan segala peralatan penga­rak pengantin. Para tawanan dipekerjakan di sebuah perkampungan yang disebut Setana Pandhe, karena di situ didirikan beberapa besalen untuk pembuatan gong, kenong, dan juga peralatan gamelan lainnya.

Jathasura sendiri memimpin pasukannya mempersiapkan pem­buatan sumur bandung dengan pesanggrahan dan tamansarinya di puncak gunung Kelut. Karena kesaktiannya, semua ini pun berhasil disiapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Maka disampaikannya berita ke Kedhirilaya, bahwa segala persiapan untuk menerima mempelai puteri di gunung Kelut sudah selesai.

Pada suatu hari berangkatlah perarakan pengantin yang amat panjang dan megah dari ibukota menuju ke selatan, sepanjang jalan disambut gemuruh oleh rakyat Kedhirilaya. Sang Puteri ditempatkan dalam sebuah jempana berhiaskan lambang kerajaan dan ragam hiasan lain bertatahkan ratna mutu manikam. Paling depan pasukan pembawa panji-panji dan umbul-umbul tanda kebesaran kerajaan, diapit oleh pasukan perintis yang bersenjatakan tombak dan keris. Kemudian barisan penari dan penabuhnya, lalu beberapa jempana yang membawa Sang Puteri dan para inang pengasuh. Di belakanganya menyusul barisan penari dan pena­buh lagi, kemudian ditutup oleh barisan prajurit bersenjata.

Semakin jauh perjalanan semakin sukar, apalagi jalannya menanjak dan rumpil. Sebentar-sebentar beristirahat sambil makan atau minum. Tetapi semangatnya tetap tinggi. Akhirnya sampai juga perjalanan mereka ke tempat tujuan, yaitu puncak gunung Kelut. Jathasura datang menyam­but perarakan itu dengan wajah gembira dan bangga. Utusan Ratu Kilisuci menyampaikan berita kepada Jathasura, bahwa Sang Puteri akan mela­kukan pemeriksaan setempat untuk meyakinkan diri, apakah semua sudah memenuhi persyaratannya. Kemudian barisan memberikan jalan kepada usungan jempana yang ditumpangi Sang Puteri dan para inang.Usungan mendekati tepi sumur yang bentuknya seperti kawah, terjal dan dalam, diiring oleh para pembesar kerajaan dan prajurit yang bertugas menjaga keselamatan Sang Puteri.

Syahdan, ketika usungan berada di tempat tepi sumur yang dalam itu, entah apa sebabnya, tiba-tiba jempana menjadi oleng, dan sebelum orang-orang menyadari apa yang terjadi, jerit dan pekik para inang dan prajurit lainnya melengking memenuhi udara: “Sang Puteri, jatuh ke su­mur! Tolong! sang Puteri! Tolong!” Sekilas tampak Ratu Kilisuci cepat terluncur ke bawah.

Jathasura sangat terkejut dan segera bertindak. Ia meloncat melun­cur ke dalam sumur dengan maksud menolong Sang Puteri calon per­maisurinya, diikuti oleh pandangan penuh arti orang-orang yang berada di sekitar sumur. Dalam pada itu di belakang terjadi kekalutan. Pasukan Jathasura yang lengah tak tahu datangnya bahaya, tiba-tiba diserang oleh pasukan prajurit Kedhirilaya. Banyak yang mati, tak terhitung jumlahnya, dan ada pula yang lari tunggang lenggang dihujani berpuluh-puluh tombak. Pada saat itu pula para prajurit pengiring Ratu Kilisuci beramai-ramai melemparkan batu besar-besar ke dalam sumur.

Tersebutlah yang berada di dalam sumur, Jathasura tidak dapat berbuat apa-apa. Ia menyadari kutukan ayahnya berlaku atas dirinya, sebagai pembalasan atas kematian kakaknya. Namun demikian masih sem­pat juga ia melontarkan sumpahnya:

“Heh, orang-orang Kedhirilaya, janganlah kalian girang-girang ketawa, tunggulah pembalasanku. Akan kuletuskan gunung Kelut ini, dan kubanjiri wilayah Kedhirilaya dengan laharnya yang panas yang meng­hanguskan segala!”

Para prajurit Kedhirilaya tidak berhenti bekerja, sebelum sumur bandhung tersebut penuh ditimbuni batu dan tanah, sehingga seluruhnya terurug sama sekali. Kemudian kembalilah mereka membawa kemenangan.

Tiba kembali di ibukota, Patih Bujanggaleng segera menghadap Baginda Ratu Kilisuci, melaporkan hasil gemilang tipu muslihatnya. Jatha­sura telah mati terkubur di kawah gunung Kelut.

“Terima kasih, Pamanda Patih”, sabda Ratu Kilisuci dengan lembut, “akal pikiran Pamanda untuk mencipta boneka gambarku, ternyata telah menolong kehormatan pribadiku dan kehormatan kerajaan Kedhirilaya.”

“Tetapi sayang, boneka itu bagus benar,” sembah Sang Patih. “Hidup seperti kembaran Tuanku Puteri.”

“Aku rela dan iklas melepaskan dia berkubur bersama Jathasura dalam kawah gunung Kelut itu.”

Oleh Patih Bujanggaleng dilaporkan pula tentang sumpah Jathasura, yang akan meletuskan gunung Kelut dan membanjiri daerah Kedhirilaya dengan laharnya. Ratu Kilisuci lalu melepaskan selendangnya, dan ber­sabda:

“Baiklah kubuatkan jalan untuk mengalirkan banjir lahar itu,” dan dengan selendangnya itu diciptakannya sebuah sungai besar yang menga­lir lewat Kedhirilaya, yang kini terkenal dengan Kali Brantas. Dan ketika pada suatu hari betul-betul gunung Kelut meletus dan meluapkan lahar panas yang melanda daerah sekitar, maka Dewi Kilisuci pun mencegahnya jangan sampai masuk kota Kedhirilaya. Baginda meletakkan kain panjang di atas tanah di luar kota, maka terbendunglah lumpur panas itu. Lumpur­nya mengendap, airnya menguap, dan lambat laun membukit, akhirnya menjadi gunung Pegat yang sekarang ini (daerah Srengat, Blitar)…

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾

Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Reog di Jawa Timur. Jakarta: Proyek Sasana Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979. hlm. 62-69.