Prabu Klanasewandana
Berita mengenai pembatalan perkawinan antara putra mahkota Jenggala dengan putri Kediri telah tersebar luas. Kemudian banyak para raja yang datang…
Berita mengenai pembatalan perkawinan antara putra mahkota Jenggala dengan putri Kediri telah tersebar luas. Kemudian banyak para raja yang datang untuk melamar. Akan tetapi semua hanya diterima secara basa basi, belum ada yang diterima secara pasti.
Tersebutlah pada saat itu datang seorang maharaja dari tanah Hindu yang bernama Prabu Klanasewandana. Sang Maharaja tersebut datang ke Kediri untuk melamar Dewi Sekartaji dengan membawa prajurit sebanyak seratus kapal.
Sesampainya di Kediri, sang Prabu Klanasewandana tersebut segera menghadap kepada raja Kediri, bahwa kedatangannya untuk melamar sang putri Dewi Sekartaji. Titah sang Raja Kediri, Prabu Klanasewandana diperkenankan mendirikan peristirahatan di sebelah timur sungai, di sebelah utara tempat tinggal Raden Gunungsari.
Namun para prajuritnya tidak diperkenankan menyeberang ke sebelah barat sungai, sebab wujudnya menakutkan, warna kulitnya hitam kebiru-biruan, serta giginya putih. Sehingga orang Kediri akan ketakutan bila melihatnya. Apabila ada yang melanggar akan dihukum. Orang-orang Hindu tersebut di Kediri dinamakan bangsa jong, maka tempat peristirahatannya dinamakan pesanggrahan Jongbiru, sebab merupakan tempat peristirahatan bangsa Jong berkulit biru. Selanjutnya bekas tempat peristirahatan tersebut menjadi desa yang dinamakan Desa Jongbiru.
Begitu Sang Prabu Raja Kediri menerima lamaran dari Prabu Klanasewandana, hatinya menjadi sangat risau. Kalau lamaran tersebut diterima, kasihan sang putri, sebab wujudnya sangat tidak seimbang, bagaikan bumi dengan langit. Tetapi apabila tidak diterima, sang raja takut, karena telah diancam negaranya akan dihancur-leburkan. Oleh karena itu beliau segera masuk ke tempat bertapa untuk mengheningkan cipta memohon petunjuk kepada Sang Dewata. Sementara itu sang Prabu Kalanasewandana dipersilahkan beristirahat dahulu di pasanggrahan, dengan alasan lamarannya akan dibicarakan dahulu dengan keluarga istana.
Selama menunggu keputusan mengenai hasil lamarannya, Prabu Klana membuat sebuah gua untuk tempat bertapa, tepatnya di Gunung Klotok. Adapun cara membuatnya adalah sebuah batu besar dibuat berlobang, kemudian diukir-ukir diberi arca untuk pemujaan.
Gua tersebut menghadap ke timur, merunduk ke jalan yang datang dari depok Kandairen. Setelah jadi lalu dinamakan Gua Selamanglung ( sela=batu/manglung=merunduk) atau Gua Selamangleng.
Dalam pertapaannya, Sang Raja Kediri mendapat petunjuk dari Dewata, yaitu disuruh membuat persyaratan yang berupa kerucut yang panjang, lalu dipancung separuh bagian.
Kerucut terpancung (kerucut yang telah berlobang) tersebut disuruh menggantungkan di tengah sungai, bagian bawahnya dimasukkan ke dalam air.
Kemudian dibuatlah sayembara, yaitu barang siapa dapat mengisi sampai penuh kerucut tersebut dengan harta benda, dialah yang akan dikawinkan dengan Sang Dewi Sekartaji. Sayembara tersebut disuruh mengumumkan keseluruh pelosok negeri. Siapapun boleh mengikutinya, tidak memandang derajat, pangkat, maupun kekayaan.
Banyak sekali orang yang datang untuk melihat sayembara Raja. Namun tidak ada satupun yang berani mengikutinya, sebab sayembara tersebut dirasanya sangat berat.
Lain halnya dengan Prabu Klanasewandana. Oleh karena beliau sudah ingin sekali untuk memangku sang Dewi, dan lagi beliau juga merasa mempunyai harta benda yang tidak sedikit, yang telah dibawanya dari negaranya untuk dipersembahkan kepada sang putri, maka dengan tanpa ragu-ragu beliau ingin mengikuti sayembara. Beliau segera memerintahkan kepada prajuritnya untuk mengusung semua harta bendanya yang dibawa dari tanah Hindu. Harta benda tersebut segera diisikan ke dalam kerucut. Namun betapapun banyaknya harta benda yang diisikan, kerucut tersebut tetap tidak dapat penuh, sebab harta benda yang diisikan terus jatuh ke dasar sungai dan hanyut dibawa arus. Maka sampai sekarang sering ada orang yang menemukan perhiasan emas maupun permata di sepanjang Sungai Kediri, karena memang harta kekayaan Prabu Klanasewandana semuanya diturunkan di sana. Serta kalau ada buaya yang sampai di Sungai Kediri, dia tidak akan menyelam melainkan mengapung sebab takut pada harta benda yang ada di dasar sungai.
Setelah seluruh harta kekayaannya habis dicurahkan dalam kerucut namun tetap tidak dapat penuh, akhirnya Prabu Klana merasa kalau dirinya hanya diperdaya, serta ditolak lamarannya. Sehingga beliau menjadi murka, lalu bersiaga untuk menghancurkan Kediri, serta ingin merebut sang putri.
Begitu mendengar berita bahwa Prabu Klanasewandana telah bersiap siaga untuk menyerang Kediri dan ingin merebut Dewi Sekartaji, Sang Prabu bingung. Beliau segera mengirimkan berita kepada tiga saudaranya untuk meminta bantuan, serta memerintahkan kepada Patih Dipawacana untuk mepersiapkan prajurit. Dalam menghadapi pasukan Hindu tersebut Sang Prabu Kediri merasa sangat cemas, sebab jumlah prajurit Hindu lebih dari seratus ribu, sedangkan prajurit Kediri seluruhnya hanya ada lima ribu. Oleh karena itu beliau lalu masuk ke sanggar pertapaan, untuk memohon petunjuk kepada Sang Dewata.
Tidak lama kemudian Sang Hyang Narada datang menghampirinya, serta memberi petunjuk bahwa dalam menghadapi pasukan Hindu tersebut Sang Prabu tidak usah cemas, sebab masih ada jalan agar menang dalam berperang, tetapi harus dengan syarat khusus. Adapun persyaratan tersebut adalah, bahwasannya selama menunggu datangnya bala bantuan dari Jenggala, Ngurawan, dan Panaraga, prajurit Kediri biarlah bertempur, dan Sang Prabu hendaklah mencari sarana agar Para prajuritnya terbebas dari kecelakaan perang, yaitu Sang Prabu hendaklah memerintahkan mencari sebuah batu besar di hutan Baladewa di sebelah barat Gunung Kelut. Batu tersebut lalu dibikin lumpang kentheng (tempat menumbuk). Setelah jadi lalu mengambil tanah di Gunung Punjul dan tanah di desa Semen, serta mencari daun gamet di Desa Sugihwaras dan babak (kulit) kayu lakoswa yang berasal dari Alas Kurung (hutan lindung). Kesemuanya tadi ditumbuk dijadikan satu di dalam lumpang tersebut dan diberi air dari sumber urip. Adonan tersebut dijadikan sarana sebagai pengobat luka bagi Para prajurit yang terluka oleh senjata di dalam peperangan, niscaya akan sembuh dengan seketika, dan selanjutnya dapat diajukan lagi dalam pertempuran. Prajurit Kediri hendaknya diberi nama prajurit Nirbaya.
Setelah memberi putunjuk demikian Sang Hyang Narada lalu menghilang. Sepeninggal Sang Hyang Narada, Sang Prabu Kediri segera keluar dari pemujaan, lalu melaksanakan apa yang ditunjukkan oleh Sang Hyang Narada. Beliau segera memerintahkan untuk mencari persyaratan seperti yang diperintahkan oleh Sang Hyang Narada dalam pertapaan. Tidak lama kemudian semuanya sudah diperoleh dan dibuat sebagaimana yang diperintahkan. Semua prajurit yang menderita luka segera diobati dengan adonan tersebut, dan seketika dapat sembuh seperti sedia kala. Sehingga prajurit hatinya menjadi ciut sebab melihat prajurit Kediri yang bagaikan tidak mempan oleh senjata, terbukti setiap terluka dapat sembuh dengan seketika, bahkan kekuatannya semakin dahsyat. Peperangan sudah berjalan selama satu bulan, namun belum ada yang terkalahkan.
Pada saat berkecamuknya pertempuran tersebut datanglah bala bantuan dari Jenggala, Ngurawan, dan Panaraga, yang ingin segera menyerbu dalam barisan. Lama kelamaan prajurit Hindu terdesak. Prabu Klana berhadapan dengan panglima perang dari Ngurawan, yaitu Raden Panji Kudarawisrengga. Sang Prabu Klana kalah kemudian melarikan diri bersama prajuritnya yang masih tersisa, dan segera naik ke kapal akan menyelamatkan diri. Namun terus dikejar oleh prajurit Kediri.
Begitu sampai di sungai, perahunya belum dapat berjalan sudah diserang dari daratan oleh prajurit Kediri, dilempari dengan batu sampai kapalnya tenggelam, sehingga Prabu Klana juga mati tenggelam beserta seluruh pasukannya. Setelah itu prajurit Kediri beserta seluruh prajurit bantuan segera kembali ke Kediri. Setelah situasi kembali aman, para prajurit bantuan minta diri untuk pulang ke negerinya masing-masing. Sang Prabu Kediri mengizinkan dengan mengucapkan banyak terima kasih.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Suyami, Tinjauan Historis dalam Babad Kadhiri. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Jakarta, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999. hlm. 144-148.
Comments
br kali ini sy bc prabu klanasewandana versi yg lain. versi di Ponorogo kan Raja bantarangin yg melamar putri songgolangit, ya admin blog ini mgkn sdh paham sekali ttg legenda reyog versi bantarangin. Di festival reyog nasional tiap thn temanya jg ttg prabu klanasewandana.
Sesungguhnya asal mula reog Ponorogo menurut terbitan Proyek Sasana Budaya Ditjenkebud, Depdikbud Th. 1978/1979 malahan memiliki 4 versi legenda panji, diantaranya versi: Kelana-Sanggalangit, Wijaya-Kilisuci, Asmarabangun-Rahwanaraja dan Jathasura-Kilisuci-Bajanggalelana-kelana-Candra Kirana. Dan mungkin masih ada versi2 lainnya. kalau bahannya sudah siap ke4 versi tadi akan kami coba mem-postkan. dengan banyaknya versi2, dapat diartikan juga bahwa bangsa kita memiliki rasa berkesenian tinggi. semoga demikian.
benar sekali byk sekali karya2 agung peninggalan leluhur tg mana py nilai filosofi yg tinggi dr karya tersebut. trima ksh smkn menambah wawasan kami. oo ya versi yg satu versi surukubeng ttg sejarah reyog karya ki ageng kutu atau suryongalam. sperangkat reyog mrpkan sindiran bg majapahit. Singo Barong menggambarkan Prabu Brawijaya V yang sedang berkuasa. Burung Merak menggambarkan putrid Cina permaisuri Prabu Brawijaya V. Oleh sebab itu Singo Barong yang sedang memanggul burung Merak dimaksudkan Prabu Brawijaya V sedang kasmaran kepada sang permaisurinya. Adapun Bujangganong merupakan pengejawantahan dari sang Bujangga (dalam ini Suryangalam yang melarikan diri dari istana). Penampilan Bujangganong yang pendek dan kecil menggambarkan rakyat kecil yang tidak mempuyai kekuasaan , sepasang mata yang melotot menggambarkan mampu melihat kenyataan, hidung panjang, kumis panjang, dan rambut panjang menggambarkan tokoh ini mampu berfikir panjang. Gerak tari Bujangganong yang kadang seperti mendekat kadang menjauh dengan Singo Barong, menggambarkan bahwa ia ingin mengatakan dengan jujur dan terus terang dan menggambarkan bahwa Suryangalam tidak ingin memberontak kepada Prabu Brawijaya V. Sepasang penari Jathilan yang ditarikan laki-laki mengenakan baju prajurit namun bertingkah laku seperti perempuan menggambarkan prajurit Majapahit telah kehilangan keberaniannya. Kadang Jathilan duduk di atas kepala Singo Barong menggambarkan kedisiplinan prajurit telah luntur dan raja tidak bisa berbuat apa-apa.
Trimakasih tambahan infonya. Akan memberi tambahan yang berharga thd wawasan kita semua dengan tingginya cipta karsa dan karya bangsa ini. Hal tsb akan dijadikan patokan dan merupakan warisan yg sangat berharga. jangan sampai kecolongan dan diaku-aku lagi oleh tetangga, inilah perjalanan sejarah yang pasti dari negeri ini.