Gerabah Tegaldlimo Nyaris Mendunia
Perajin gerabah di Dusun Sumberdadi Desa Tegaldlimo, Kec. Tegaldlimo, Banyuwangi” nyaris mendunia, kalau saja Samsuri masih hidup. Bapak dua anak…
Perajin gerabah di Dusun Sumberdadi Desa Tegaldlimo, Kec. Tegaldlimo, Banyuwangi” nyaris mendunia, kalau saja Samsuri masih hidup. Bapak dua anak ini, memiliki talenta tinggi bidang gerabah, apalagi sejak kecil dia hidup di lingkungan masyarakat pembuat gerabah ditambah ilmu teknik pembuatan gerabah yang diperoleh selama mengikuti pendidikan dan pelatihan di Kasongan, Yogaya dan Bali.
Ilmunya ditularkan kepada tetangganya yang setiap hari hanya membuat gerabah secara tradisional. Bentuk kendi, cobek, gentong adalah produk warga desa yang dibuat sejak kakek dan nenek moyang warga Sumberdadi. Meskipun sudah terampil, namun pendapatan warga tetap tidak memenuhi kebutuhan sehari-hari, padahal di daerah lain, seperti Kasongan, justru warganya makmur karena gerabah. “Banyak warga desa yang saat ini diajari bapak, tetapi setelah suami saya meninggal sudah tidak ada lagi yang menekuni seni gerabah ini,” ujar Boinah (55) istri Samsuri.
Dalam satu desa ini, semua penduduknya adalah perajin gerabah. Setiap musim kering, rumah warga penuh dengan cobek, kendil, gentong dan produk tanah lainnya. “Ini adalah pekerjaan utama warga desa, apalagi jika musim panas tiba,” ujarnya.
Usaha untuk meningkatkan keahlian warga desa ini diawali Samsuri yang membuat motif, disain dan bentuk yang beragam sesuai dengan perkembangan seni gerabah baik di Bah, Jakarta, Surabaya maupun Yogyakarta. Gerabah di tangan Samsuri lebih cantik, indah penuh ornamen bunga, hewan maupun garis-garis yang menghiasinya.Kualitasnya juga semakin dijaga, selain lebih tebal, proses pembakarannya juga semakin bagus begitu pula dengan ukurannya sangat bervariasi.
“Seluruh warga desa di sini menggunakan tanah liat menjadi gerabah, tetapi hanya suami dan saya sendiri yang membuat gerabah dengan model dan bentuk yang dikembangkan sesuai tuntutan pasar gerabah,” ujar Boinah.
Namun sesaat Samsuri mengajari warga desa untuk meningkatkan krea-tifitasnya, jutsru dia meninggal ketika gerabah ini sudah masuk ke pasaran yang luas. Boinah mengakui, berkat ilmu yang diajarkan suaminya, dia bisa membuat gerabah dengan model, disain, ukuran yang lebih indah dan menarik.
“Saya tidak pernah belajar, tetapi suami saya dengan sabar mengajari saya sehingga gerabah yang saya buat ini jauh berbeda dengan buatan warga lain,” ujarnya.
Gerabah Boinah, bisa dipakai vas bunga, gentong kecil dan besar. Di bagian luar dindingnya juga sudah dihiasi dengan ornamen yang cukup bagus dengan bentuk yang beragam, mulai dari ornamen bunga, ular naga, tokek, katak, anjing, kambing, kelinci dan lainnya, sehingga dengan kreasi barunya itu, harga gabah produk Sumberdadi naik daun dari berharga ribuan menjadi puluhan sampai ratusan ribu.
Meski sudah dihargai tinggi, di kalangan kolektor gerabah, produk Sumberdadi ini masih lebih murah dibanding dari daerah lain yang mejadi sentral gerabah Gentong besar setinggi 1,70 meter berdiamter 1 meter hanya dijual Rp 100 ribu, begitu pula vas bunga setinggi 1 meter berornamen hewan naga hanya dijual Rp 75 ribu/buah Menurut Boinah, dalam sepuluh hari dia mampu membuat 15 gerabah ukuran besar dan dalam satu bulan dia sudah bisa mengirim satu truk gerabah ukuran kecil dan besar ke Bali. Beberapa pedagang gerabah dari kota lainnya juga sering memborong produksinya
“Tetapi pada musim penghujan ini, produksinya tidak sebanyak musim panas, karena proses, pembakarannya sulit kalau ada hujan,” ujarnya
Perempuan yang sudah menjanda 2 tahun ini mengakui, gerabahnya tidak bisa berkembang sesuai permintaan pasar, karena dia tidak memiliki ketrampilan bidang finishingiya.
Teknik pengecatan dan jenis cat yang digunakan tidak dikuasasi dengan baik, sehingga produk gerabahnya dijual setengah jadi dan para pembeli di Bali yang akan memperoleh untung besar setelah gerabah itu diberi warna yang lebih artistik.
Gerabah Tegaldlimo saat ini sudah mulai ditinggal perajinnya Anak-anak Boinah tidak satu juga yang mau mewarisi ilmu dan ketrampilan membuat gerabah, begitu pula anak-anak desa lainnya. Anak-anak muda desa ini lebih suka bekerja di sektor lain, seperti merantau, menjadi buruh tani, atau buruh di kota dibanding harus menjadi pengrajin gerabah.
“Mereka menganggap gerabah tidak lagi memberi harapan hidup yang lebih baik,” tutur Boinah. Kondisi ini didukung sikap pemerintah yang sudah menutup mata terhadap kerajinan gerabah yang tinggal menunggu waktunya untuk mati. Bantuan pelatihan tidak pernah diberikan, apalagi bantuan pinjaman yang sudah bertahun-tahun tidak pernah diluncurkan untuk menambah modal perajin gerabah.
“Kalau tidak segera diatasi, gerabah desa ini akan musnah, sebab tidak ada lagi yang mau mengerjakannya saat ini masih bisa dilihat banyak gerabah di rumah-rumah karena masih ada kaum perempuan tuanya, tetapi sebentar lagi, jika mereka sudah meninggal dapat dipastikan kerajinan gabah ini juga turut dikubur oleh zaman,” jelas Boinah.(yib)
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: SUARA DESA, Edisi 03, 15 April-15 Mei 2012 15
Comments
perlunya kesadaran dari masyarakat secara luas, bahwa hal yang bersifat tradisional mempunyai nilai, sehingga akan ada upaya untuk mempertahankann nilai-nilai tradisionalnya dari gerabah dan perlunya upaya untuk melestarikannya dengan muatan budaya sekitar.
begitulah yang kita inginkan, semoga yang berkewenangan segera berupaya membina pengembangannya (gerabah).