Kultus Dewi Sri
Kultus Dewi Sri: Ritual Bersih desa Di Petirtaan Dewi Sri Kabupaten Magetan Teks: Wicaksono Dwi Nugroho, M.Hum Foto: Agus Setyono…
Kultus Dewi Sri: Ritual Bersih desa Di Petirtaan Dewi Sri Kabupaten Magetan
Teks: Wicaksono Dwi Nugroho, M.Hum Foto: Agus Setyono
Menjelang Isya, Mbah Kadiman sudah duduk bersila di atas rumput, kedua tanggannya pun ditangkupkan di depan seperti posisi menyembah. Tak lama berselang, mulutnya pun berkomat-kamit mengucapkan kata-kata yang terdengar samar-samar. Dihadapannya terdapat sesaji berupa kepala kambing, empat potong kaki kambing, sebungkus rokok, sepincuk kembang beraneka jenis, yang ditata sedemikian rupa di antara sajian lainnya. Kemenyan yang tadi dibakar pun mulai mengeluarkan asap. Mengepul, membumbung cepat tertiup angin ke langit. Seakan-akan mengantarkan serentetan doa-doa yang diucapkannya sedari tadi. Saat itu, suasana berubah
Prosesi yang dilakukan Mbah Kadiman, seorang pria tua yang dipercaya masyarakat sebagai pemangku desa, merupakan bagian dari ritual bersih desa yang rutin dilakukan setiap tahun oleh Masyarakat Desa Uniknya, ritual bersih desa tersebut dilakukan di sebuah pertirtaan kuno yang terletak di desa itu. Menurut keterangan Gito, salah seorang juru pelihara tempat ini, ritual ini sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat desa. Untuk tahun ini, ritual ini dilakukan pada tanggal 8-9 Februari 2007.
Jam masih menunjukkan pukul 3 sore, ketika kami tiba di lokasi Pertirtaan Dewi Sri. pertirtaan kuno ini terletak di Desa Simbatan Wetan, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Magetan. Lokasi ini dapat ditempuh melalui dua jalur. Jalur yang pertama melalui Kota Madiun, sedangkan jalur yang kedua dapat ditempuh melalui Kota Maospati. Dari kedua jalur tersebut, jalur pertama adalah yang tercepat dan termudah bila kita menggunakan kendaraan umum. Dari terminal kota madiun, kita dapat melanjutkan perjalan dengan moda transportasi mobil Angdes (angkutan desa) atau ojek ke arah Magetan yang jumlahnya cukup banyak, sedangkan bila dari terminal Maospati, perjalanan hanya dapat ditempuh dengan ojek saja.
Perjalanan kail ini cukup melelahkan. Dibutuhkan waktu 3 jam lebih dari Trowulan untuk sampai ke lokasi. Namun begitu tiba di sana, perasaan lelah dan penat tiba-tiba hilang begitu saja. Pemandangan sawah yang asri yang dilengkapi dengan kicauan burung-burung dalam suasana perdesaan yang kental benar-benar menghibur kami. Agus Setyono dan Joko Purnomo yang menemani saya dalam tugas meliput prosesi ini pun langsung mengabadikannya ke dalam beberapa jepretan foto, seakan-akan enggan menyia-nyiakan momen yang cukup langka untuk ukuran orang kota ini. Tidak lama berselang, kami pun langsung disambut oleh Sugito dan Sumiran, mereka adalah juru pelihara yang ditugaskan oleh BP3 Jatim untuk menjaga situs ini. Kami kemudian diajak menuju rumah mereka yang berjarak tidak jauh dari lokasi. Di sana kami kemudian melepaskan penat sejenak sambil menikmati suguhan kopi hangat.
Menjelang magrib, kami kembali ke lokasi. Di sana kami ketemu Mbah Kadiman yang sedang menyiapkan segala sesuatu untuk kepentingan ritual. Saat itu, ia sedang sibuk meletakkan sesaji di sebidang tanah di sebelah Utara pertirtaan Dewi Sri. Di belakang Mbah Kadiman berdiri seorang pria separuh baya. Tak lama setelah mengatur sesaji, Mbah Kadiman pun duduk bersila di atas tanah, la kemudian terlihat sangat serius berdoa. Seorang pria separuh baya itu pun ikut duduk bersila di belakang. Kami kemudian hanya menyaksikan dari kejauhan, tidak berani mengusik prosesi Ini. Situasi ini berlangsung sekitar 20 menit. Setelah selesai berdoa, kedua pria tadi kemudian menuju ke pertirtaan Dewi Sri. Terlihat Mbah Kadiman kemudian memasukan air yang ada di pertirtaan itu ke dalam satu dirijen yang berukuran 5 liter. Setelah selesai, dirijen tadi kemudian diserahkan ke pria separuh baya tersebut.
Sepertinya prosesi tadi telah selesai. Kami pun mencoba mendekat. Setelah memperkenalkan diri, saya kemudian bertanya ritual apakah yang telah mereka lakukan tadi. Sambil tersenyum Mbah Kadiman kemudian mencoba menjelaskan kepada saya dalam Bahasa Jawa halus yang sangat kental. Ternyata Mbah Kadiman baru saja melakukan sebuah ritual penyembuhan atas permintaan pria separuh baya tadi. Pria separuh baya yang bernama Suharto tadi merupakan penduduk Desa Simbatan yang saat ini telah tinggal di Kalimantan, la meminta Mbah Kadiman untuk melakukan ritual tersebut agar ia dan keluarganya dijauhkan dari kesusahan karena penyakit dan dilapangkan rejekinya. Untuk tujuan tersebut, selain melalui ritual tadi, ia dan keluarganya juga diajurkan untuk meminum air yang berasal dari pertirtaan ini. Tak lama kemudian azan magrib mengumandang. Kami semua pun berjalan keluar dari lokasi. Mbah Kadiman pun mengatakan bahwa ia akan melakukan prosesi bersih desa di pertirtaan Dewi Sri nanti sekitar jam setengah tujuh malam. Kami pun mengangguk mengerti dan tidaksabar menunggu datangnya waktu itu.
Tepat pukul setengah tujuh malam, Mbah Kadiman datang ke lokasi pertirtaan. la membawa sebungkus kantong plastik hitam besar. Isinya ternyata beberapa sesaji untuk kepentingan ritual, di antaranya adalah potongan kepala dan kaki kambing, rokok, bunga, bedak, daun sirih, minyak wangi, ayam dan telur beserta nasi dan lauk pauk lainnya dalam satu pincuk, dan sebotol minuman. Kurang dari setengah jam, Mbah Kadiman terlihat khusuk menjalankan prosesi ini. Setelah selesai, Ia kemudian mengajak kami untuk menuju lokasi Sumur Gumuling yang berjarak kurang lebih 500 meter di sebelah Tenggara pertirtaan Dewi Sri.
Di Sumur Gumuling Mbah Kadiman pun melakukan prosesi yang sama. Menurut keterangan Mbah Kadiman, Sumur Gumuling memiliki hubungan yang erat dengan Pertirtaan Dewi Sri. Kedua lokasi ini saling berhubungan secara batin dan fisik. Menurutnya, air yang ada di Sumur Gumuling ini berasal dari Pertirtaan Dewi Sri. Oleh karena itu, tempat ini juga disakralkan. Proses prosesi yang dilakukan oleh Mbah Kadiman seorang diri itu berjalan kurang dari 30 menit. Setelah selesai, Mbah Kadiman pun kemudian beranjak pulang. Terlihat raut-raut keletihan di mukanya. Sesuk meneh! Ujarnya kepada saya. Saya pun mengangguk. Ritual hari ini telah selesai dan akan dilanjutkan besok pagi dengan melakukan pembersihan secara fisik kedua tempat, yaitu Sumur Gumuling dan Pertirtaan Dewi Sri.
Malam itu ternyata sebagian masyarakat Desa Simbatan Wetan juga melakukan upacara syukuran yang dilaksanakan di pinggir jalan raya. Kami pun segera menuju ke sana. Setelah saya lihat di peta desa, lokasi itu ternyata berada di tengah-tengah desa. Acara syukuran tersebut dipimpin oleh wakil kepala desa. Tidak terlihat Mbah Kadiman di sana. Apakah Mbah Kadiman kelelahan ataukah memang beda ritual?pertanyaan itu langsung terbesit di benak saya. Berbeda dengan ritual yang dilakukan oleh Mbah Kadiman, acara syukuran ini dilangsungkan dalam suasana keislaman. Pancatan doa-doa dalam bahasa arab diucapkan oleh tokoh agama setempat. Isinya berkisar ucapan doa pujian dan syukur kepada Allah atas karunianya dan juga doa-doa pengharapan diberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat di waktu yang akan datang. Setelah selesai memanjatkan doa, acara dilanjutkan dengan makan bersama. Makanan yang jumlahnya cukup banyak tersebut dibawa oleh masing-masing keluarga dan dikumpulkan jadi satu. Suasana keakraban dan suka cita masyarakat desa sangat terasa sekali. Selesai makan bersama, para ibu, remaja putri dan anak kecil kemudian pulang ke rumah, sedangkan para bapak dan remaja pria melanjutkan acara tersebut dengan bernyanyi bersama mengikuti lagu yang ditanyangkan melalui TV dan VCD tersebut. Acara melekan ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Simbatan saja, masyarakat desa-desa di sekitarnya juga melakukan hal yang sama.
Udara pagi yang segar dan dingin membangunkan kami. Sambil menghirup segelas kopi, kami menikmati suasana desa yang asri. Hamparan sawah dengan kicauan burung yang bermain-main di antara tanaman padi sangat menghibur kami. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama karena harus menyiapkan diri meliput upacara bersih desa yang dilakukan pagi ini.
Pagi itu, beberapa ibu sibuk menyiapkan makanan, sedangkan beberapa bapak dan pemuda sudah membawa beberapa perlengkapan kerja bakti dan berkumpul di pertirtaan Dewi Sri. Sebelum kegiatan kerja bakti itu dimulai, iring-iringan makanan berbagai jenis yang diangkat oleh para pemuda ini dibawa ke lokasi. Tidak membutuhkan waktu lama, mereka kemudian melahap habis semua hidangan tersebut.
Kegiatan bersih desa dimulai di Sumur Gumuling. Para bapak dan pemuda menguras dan membersihkan tempat ini. Kegiatan ini yang dilakukan dengan gelak canda dan tawa ini berlangsung sekitar satu jam. Setelah dianggap selesai, mereka kemudian berjalan menuju ke petirtaan tersebut dengan bernyanyi bersama mengikuti lagu yang ditanyangkan melalui TV dan VCD tersebut. Acara melekan ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Simbatan saja, masyarakat desa-desa di sekitarnya juga melakukan hal yang sama.
Udara pagi yang segar dan dingin membangunkan kami. Sambil menghirup segelas kopi, kami menikmati suasana desa yang asri. Hamparan sawah dengan kicauan burung yang bermain-main di antara tanaman padi sangat menghibur kami. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama karena harus menyiapkan diri meliput upacara bersih desa yang dilakukan pagi ini.
Pagi itu, beberapa ibu sibuk menyiapkan makanan, sedangkan beberapa bapak dan pemuda sudah membawa beberapa perlengkapan kerja bakti dan berkumpul di pertirtaan Dewi Sri. Sebelum kegiatan kerja bakti itu dimulai, iring-iringan makanan berbagai jenis yang diangkat oleh para pemuda ini dibawa ke lokasi. Tidak membutuhkan waktu lama, mereka kemudian melahap habis semua hidangan tersebut.
Kegiatan bersih desa dimulai di Sumur Gumuling. Para bapak dan pemuda menguras dan membersihkan tempat ini. Kegiatan ini yang dilakukan dengan gelak canda dan tawa ini berlangsung sekitar satu jam. Setelah dianggap selesai, mereka kemudian berjalan menuju yang dilakukan di situs pertirtaan Dewi Sri dibuka dengan tarian dan nyanyian dari para para ledek/tandak. Puncak kegiatan acara ini adalah tarian tayup yang diiringi oleh tiga penari lakHaki asal Dusun Simbatan yang menarikan ikan-ikan yang ada di Situs Petirtaan Dewi Sri. Kegiatan tersebut kemudian diakhiri dengan melakukan pelepasan kembali ikan-ikan tersebut ke dalam pertirtaan yang diiringi oleh penaburan beras kuning yang dilakukan oleh para wanita desa. Penaburan beras kuning tersebut dilakukan karena dipercaya agar masyarakat sekitar terhindar dari marabahaya. Acara yang sangat meriah ini baru berakhir pada pukul lima sore Walau acara telah berakhir, banyak para pengunjung yang masih tetap bertahan di lokasi. Menikmati pertirtaan Dewi Sri dalam suasana sunset yang ternyata memunculkan kesan romantisme. Benar-benar sangat indah.
Dalam masyarakat Desa Simbatan, Pertirtaan Dewi Sri masih dianggap keramat. Masyarakat percaya bahwa di pertirtaan ini terdapat mahluk halus yang menjaga masyarakat dan desa mereka. Mereka percaya bahwa penghuni gaib Pertirtaan Dewi Sri dapat mengabulkan segala hajat mereka asalkan dilakukan sesuai dengan persyaratan yang benar. Berbagai hajat masyarakat tersebut di antaranya terkait dengan beberapa aspek kehidupan di antaranya seperti rejeki, kesuksesan kerja, keberhasilan panen, dan kesehatan.
yang dilakukan di situs pertirtaan Dewi Sri dibuka dengan tarian dan nyanyian dari para para gledek/tandak. Puncak kegiatan acara ini adalah tarian tayup yang diiringi oleh tiga penari lakHaki asal Dusun Simbatan yang menarikan ikan-ikan yang ada di Situs Petirtaan Dewi Sri. Kegiatan tersebut kemudian diakhiri dengan melakukan pelepasan kembali ikan-ikan tersebut ke dalam pertirtaan yang diiringi oleh penaburan beras kuning yang dilakukan oleh para wanita desa. Penaburan beras kuning tersebut dilakukan karena dipercaya agar masyarakat sekitar terhindar dari marabahaya. Acara yang sangat meriah ini baru berakhir pada pukul lima sore Walau acara telah berakhir, banyak para pengunjung yang masih tetap bertahan di lokasi. Menikmati pertirtaan Dewi Sri dalam suasana sunset yang ternyata memunculkan kesan romantisme. Benar-benar sangat indah.
Manifestasi dari kepercayaan masyarakat Desa Simbatan tersebut terhadap pertirtaan Dewi Sri diwujudkan dengan kegiatan bersih desa yang dilakukan di situs ini pada hari Jumat pertama di Bulan Suro menurut kalender Jawa. Tujuan dari kegiatan tersebut menurut keterangan masyarakat adalah untuk menyenangkan hati mahluk gaib penunggu pertirtaan Dewi Sri. Bila diamati secara cermat, tradisi yang menurut masyarakat telah berlangsung cukup lama ini merupakan salah satu wujud pengkultusan masyarakat terhadap Dewi Sri. Dapat dipahami bahwa tradisi ini terus dijunjung oleh masyarakat Desa Simbatan mengingat hingga kini sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Majalah Museum Trowulan.