Saturday, December 7, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Ki Jaka Sura

Api dupa telah berkobar-kobar, asapnya kemelun berikal-ikal seperti ram but raksasa, kemerah-merahan menembus atap sanggar itu naik meninggi-meninggi ke alam…

By Pusaka Jawatimuran , in Sejarah , at 07/08/2012 Tag: , , , ,

Api dupa telah berkobar-kobar, asapnya kemelun berikal-ikal seperti ram but raksasa, kemerah-merahan menembus atap sanggar itu naik meninggi-meninggi ke alam dewa-dewa. Api dupa itu menerangi wajah yang pucat, tapi kini berwarna kuning tembaga karena tertimpa sinarnya. Wajahnya yang pucat itu menjadi semakin mengerikan, sinarnya bergerak-gerak karena api dupa.

Prabu Brawijaya yang sedang berduka, sedang bersemadi, bertanya kepada dewa, kerja yang patut diperbuat untuk menghindarkan bencana yang mengancam negaranya. Seorang utusan dewa tampak duduk di atas kobaran api dupa, berkata: “Wahai Prabu  Brawijaya. Ketahuilah, bahwa kamu itu raja Budha yang terakhir. Sesudah kamu, maka akan mulai raja Islam berkuasa. Pulung kerajaan sekarang telah pindah, tetapi yang menggantikan kamu masih anakmu sendiri. Kalau kamu menghendaki supaya negaramu tidak rusak, carilah syarat ini.

Carilah seorang empu muda. Sekarang baru berumur 7 tahun tetapi sudah besar seperti seorang jejaka, bernama Ki Jaka Sura. Kalau berpande tidak mempergunakan api, besinya berasal dari kekuatan ciptanya. Raja yang memiliki besi seperti itu akan ditakuti oleh raja sesamanya dan disayangi rakyat. Kalau Jaka Sura tidak terdapat, niscaya rusak kerajaanmu.”

Dewa duta itu hilang, naik bersama asap dupa yang kemelun. Keesokan harinya prabu Brawijaya memanggil seluruh empu di kerajaan, misalnya Ki Supadriya, Supagati, Jigja, Supa, Kinom, Lobang, Kuwung, Danas, Paneti, Salaheta, Singkir, Jati, Majad, Mehi dan sebagainya.

Sri Baginda bertanya, apakah mereka mengenal seorang empu muda yang bernama Ki Jaka Sura karena hendak baginda ambil sebagai putera. Tetapi tak seorang pun tahu. Bahkan Ki Supa sendiri lupa, bahwa ia pernah berpesan kepada isterinya yang masih tertinggal di Sendang Sedayu, bahwa bila puteranya lahir hendaklah dinamai Ki Jaka Sura. Baginda menitahkan para empu itu mencari si empu muda Jaka Sura. Bubarlah mereka ke segala pelosok negeri.

Tersebutlah cerita tentang kadipaten Sendang. Retna Sugiyah telah melahirkan anak laki-Iaki dan sesuai dengan pesan suaminya dinamai Ki Jaka Sura. Jaka Sura tumbuh dengan cepat, ketika ia berumur 7 tahun, badannya sudah besar dan tampak seperti seorang jejaka belasan tahun.

Pada suatu hari Ki Jaka baru pulang dari bertandang ke rumah temannya. la hendak berganti pakaian, karena diajak menonton temanten. Dibukanya peti pakaian, segala rupa kain dibeberkannya.

Tak ada yang sesuai dengan seleranya. Tangannya mencari-cari lagi ke dalam peti dan diangkatnya keluar sebuah bungkusan yang berisi besi calon keris. Ia pergi kepada ibunya dan bertanya: “Ibu, besi apa ini, maka disembunyikan di dalam peti pakaian?”

Ibunya menjawab: “0, itu besi calon keris, anakku. Besi itu dulu ditinggalkan oleh ayahmu.”

Ki Jaka Sura: “Ibu, ceriterakan tentang ayah. Ingin saya mengetahuinya. ”

Retna Sugiyah: “Baiklah anakku. Ayahmu itu seorang pande keris yang sakti bernama Ki Supa. Tetapi pada waktu kawin dengan ibu, ia bernama Ki Pitrang. Karena jasanya terhadap nenekmu, raja Siung-lautan, maka ia diangkat menjadi Pangeran Senuang Sedayu ini. Ia mempunyai isteri lain, lebih tua dari ibu. Isteri yang pertama itu puteri Adipati Tuban. Sekarang ayahmu baru ada di Tuban.”

Ki Jaka: “Saya ingin bertemu dengan ayah, ibu. Baiklah saya menyusul ke Tuban.”

Reina Sugiyah: “Jangan, anakku. Itu pantangan, karena dapat menggoncangkan rumah tangga isteri ayahmu yang pertama. Lagi pula ayahmu belum pernah melihatmu. Kalau kamu tak diakui, hanya akan membuat malu saja. Lebih baik kamu belajar menjadi pande keris yang baik. Itu dapat menjadi tanda, bahwa kamu anak empu yang sakti.”

Ki Jaka berpikir. la dapat menerima nasehat ibunya itu, katanya: “Baiklah ibu, saya akan belajar dulu menjadi empu yang baik.” Tetapi pikiran itu lebih mudah dikatakan dari pada dikerjakan. Ketika ia datang pada seorang pande besi terpandai di Sendang, ia mendapat jawaban sebagai berikut: “0, Tuanku. Mana bisa hamba mengajar Tuanku berpande keris. Hamba tak tahu sama sekali, yang saya tahu hanyalah membuat cangkul dan arit. Sepatutnyalah hamba berguru kepada Tuanku, karena Tuanku keturunan pandai keris sakti.” Jawaban itu bagaikan sebilah pedang yang memotong hati pemuda tanggung itu berkeping-keping. la pergi, pergi menghindari manusia. Ia sadar, bahwa keturunannya membawa tanggung jawab. la keturunan seorang empu sakti, ia mempunyai tanggung jawab menjunjung nama baik keluarganya. la harus menjadi seorang empu sakti pula. Hal itu diharapkan oleh ibunya, oleh bapanya, bahkan oleh rakyatnya.

Tetapi bagaimana? Pemuda tanggung berumur 7 tahun itu belum tahu jalan yang harus ditempuhnya. la hanya berjalan, berjalan kaki, masuk hutan, menghindar dari manusia. Sehari.-harian ia berjalan, tanpa berhenti, tanpa makan. Dan di dalam kegelapan malam, ia duduk melepaskan lelah di bawah pohon yang besar.  Kebetulan lewatlah di situ Empu Anjani, empu siluman sakti yang pernah menjadi guru Kinom juga. la melihat Ki Jaka Sura tidur di bawah pohon. Ia tahu siapa Ki Jaka Sura. Dibangunkannya Jaka Sura lalu ditanyainya:  “Hai Jaka Sura, bangunlah.” Jaka Sura terkejut, bangun, mengusap-usap mata dengan tangannya. Matanya yang baru saja terbuka belum biasa dengan kegelapan di sekitarnya. Lama-lama ia dapat melihat seorang laki-laki tua, tinggi besar, berjanggut putih panjang.

Jaka Sura menyembah lalu berLanya: “Siapakah Tuanku ini? Dewa atau hantukah? Apakah Tuanku hendak mencabut jiwa hamba yang hina tak berguna ini?”

Empu Anjani: “Namaku Empu  Anjani,  seorang pandai keris siluman. Aku kasihan melihat kamu tidur di sini. Apakah kehendakmu, maka kamu lari dari kota?”

Jaka Sura: “Tuanku telah mengetahui nama hamba tanpa diberi tahu. Hamba kira tiada gunanya memberi tahu apa maksud hamba datang kemari. Tuanku telah lebih tahu dari pada hamba sendiri, karena hamba masih bingung.”

Empu Anjani: “Baiklah. Kamu ingin menjadi empu yang sakti. Baiklah, kuterirria kau sebagai muridku. Kamu ingin tahu ayahmu dan bertemu dengan dia. Akulah nanti yang memberi tahu. Janganlah khawatir. Marilah ikut padaku.” Ki Jaka Sura berguru kepada Empu Anjani tentang ilmu berpande keris dari besi asal kekuatan cipta. Segala ilmu empu Anjani dipelajarinya dengan tekun sekali. Tidak lama kemudian ia telah tamat. Empu Anjani memanggilnya, lalu berkata: “Cucuku Jaka Sura. Ayahmu itu bernama Ki Supa, empu sakti yang sekarang mengabdi kepada prabu Brawijaya di Majapahit.

Kalau kamu ingin berjumpa dengan ayahmu, pergilah ke Majapahit. Berangkatlah sekarang juga. Tapi mintalah doa restu ibumu lebih dahulu.”

Bukan kepalang gembiranya hati Jaka Sura. Ia bersujud di kaki gurunya, lalu mohon diri. Dengan kesaktian yang didapatnya dari Empu Anjani, dalam sekejap ia telah datang di kota Sendang dan menghadap ibunya untuk minta diri. Retna Sugiyah: “Anakku Jaka Sura kamu telah pergi untuk beberapa lama. Ke manakah kau selama ini nak?”

Ki Jaka Sura: “Hamba belajar ilmu pande keris pada Empu Anjani  bu. Beliau juga menyuruh hamba untuk pergi ke Majapahit sekarang juga, bila ingin berjumpa dengan ayah. Oleh karena itu, hamba datang untuk mohon diri.”

Retna Sugiyah: “Baiklah anakku. Bawalah besi calon keris yang ditinggal ayahmu untuk bukti, bahwa kau sungguh-sungguh anaknya.” Bila kau bertemu dengan ayahmu, ngger, mintakan bagi Ibu bekas ikat pinggangnya, hendak kupakai untuk kemben.” Jaka Sura: “Baiklah, Ibu. Minta doa restu Ibu.” Ia menerima besi calon keris, lalu berangkat ke Majapahit mencari ayahnya yang belum pernah dilihatnya. Dua orang pelayan menemaninya, tetapi masih kanak-kanak juga. Sepanjang jalan mereka bertanya-tanya jalan yang menuju ke Majapahit, kadang-kadang terpaksa memberi upah besi calon keris, sehingga besi calon keris 12 banyaknya tinggal sebuah saja. Lalu Jaka Sura membuat keris, besi diambilnya dengan kekuatan ciptanya, warnanya putih seperti kapuk. Diceriterakan bahwa ia telah mencipta 8 bilah keris, ketika sampai di kota Majapahit.

Ki Jaka Sura ingin langsung menghadap raja, lalu berdiri di antara kedua beringin berpagar. Sementara itu Prabu Brawijaya sedang dihadap oleh segala adipati, hulu balang, empu dan rakyat/tentara. Arya Simping dan Arya Puspa ada di depan sekali bersama-sama dengan Arya Babon. Arya Tiron dan Mentahun. Menyusul para adipati, ngabehi, demang dan sebagainya. Lalu para empu, Pangeran Sendang dan semua rekannya. Setelah Patih Wahan meninggal, Sri Baginda belum berkenan mengangkat Patih yang baru, karena hati Baginda belum tenang benar. Hanya Arya Terung yang biasa diminta nasehatnya dalam segala hal. Kemudian prabu Brawijaya bertanya tentang adipati Bintara. Arya Simping menjawab, bahwa adipati N atapraja sekarang telah baik kedudukannya, karena kadipatennya maju, jema’ahnya juga makin besar.

Baginda memutuskan untuk mengirim seorang tentara memanggil adipati N atap raj a ke Majapahit. Kemudian sampai pembicaraan kepada empu muda yang bernama Ki Jaka Sura. Semua empu melaporkan, bahwa mereka tak berhasil. Baru sekian, Baginda melihat ada seorang pemuda berdiri di antara pohon beringin kurung. Baginda menyuruh seorang “tentara membawa pemuda itu menghadap.

Setelah datang Baginda berkata: “Wah, siapakah engkau dan apa maksudmu menghadap kepadaku?” Ki Jaka Sura inenyembah lalu menjawab: “Daulat Tuanku. Hamba ini bemama Jaka Sura dari kadipaten Sendang-Sedayu, putera empu Supa atau Pangeran Sendang Sedayu.” Pangeran Sendang mengangkat muka, tetapi Baginda memberi isyarat untuk tak berkata apa-apa. “Hamba datang ini hendak mengabdikan diri kepada Sri Baginda, sambil meneari ayah hamba, karen a hamba belum pernah berjumpa. Pada waktu ayah hamba pergi, hamba masih dalam kandungan 7 bulan. Itulah eeritera yang hamba dengalr dari ibu hamba.” Ki Jaka Sura meneruskan.

Sri Baginda berkata kepada Pangeran Sendang: “Hai Ki Sendang. Apakah benar kata anak itu.”

Pangeran Sendang menjawab sambil menyembah: “Hamba tak pasti benar Tuanku. Memang eeriteranya itu benar. Tetapi andaikata anak yang dikandung oleh Retna Sugiyah itu benar-benar lahir laki-laki, tentulah masih keeil, baru berumur 7 tahun. Tapi ijinkanlah hamba memeriksa lebih lanjut.”

Baginda: “Baiklah.”

Pangeran Sendang: “Wahai ariak muda. Apakah engkau membawa bukti yang khusus?”

Ki Jaka Sura: “Ya, Kyai. Ibu memberi hamba 12 buah besi calon, tetapi kini tinggal sebuah, karena terpaksa kami berikan kepada orang-orang yang menunjukkan jalan ke Majapahit. Inilah besi calon itu.” Pangeran Sendang menerima besi calon itu lalu diperiksanya dengan teliti sekali. Ia dapat mengenali besi calon itu. Oleh karena itu ia menyembah lalu berkata: “Tuanku. Benarlah anak yang, datang ini anak hamba yang ada dalam kandungan itu. Sekarang baru berumur 7 tahun, tepat seperti yang Tuanku kehendaki.”

Sri Baginda berkata: “Ki Jaka Sura, aku masih akan mengujimu. Kalau benar-benar kamu anak pande keris sakti, buatkanlah aku sebilah, dengan dapur mangkurat.”

Ki Jaka Sura: “Daulat Tuanku. Titah Tuanku patik junjung.” Belum sampai Sri Baginda memberi calon besi kepadanya, Jaka Sura telah mencipta besi yang keluar dari hatinya, warnanya putih, lalu dibuat keris. Dalam sekejap keris sudah jadi. Baginda terpesona melihatnya, demikian pula semua yang hadir.

Selagi Baginda terlongong-longong itu, Jaka Sura telah selesai dengan pekerjaannya dan menghaturkan keris kepada Baginda. Alangkah sukanya hati Baginda, karena apa yang terdengar oleh Baginda didalam semadi, t ernyata betul semua. Baginda berkata: “Terima kasih atas persembahanmu, Jaka Sura. Kusebut keris ini Kyai Mangkurat dan kujadikan pusaka, imbangan dari Kyai Segara Wedang buatan Ki Supa Anom. Hanya-aku membuat larangan, jangan lagi engkau membuat keris yang lain. Biarlah hanya ada satu saja, yaitu “Kyai Mangkurat”. Bila sudah ada yang terlanjur , hancurkanlah itu. Katakanlah yang telah kau beri, agar dapat ditarik kembali.”

“Tuanku, dalam perjalanan kami terpaksa membuat untuk upah penunjuk jalan. Ada sebilah.” Sri Baginda memberi perintah kepada seorang hulubalang untuk mencari keris-keris itu, untuk diserahkan kepada Ki Jaka Sura agar supaya dihancurkan kembali. Sri Baginda berkata lagi: “Ki Jaka Sura, kamu kuberi anugerah negeri Jenu dan  kukawinkan dengan anakku yang bemama Retna Sekar.”

Penghadapan bubar untuk membuat persiapan perkawinan Jaka Sura-Retna Sekar. Jaka Sura dibawa. pulang oleh Pangeran Sendang dan dip’erkenalkan kepada ibunya yang lain, dewi Rasawulan. Juga Ki Supa-Anom sangat sayang kepada adiknya yang sakti itu. Perkawinan dirayakan dengan meriah sekali. Setelah selesai pergilah mempelai  ketempatnya yang baru, negeri Jenu, yang sangat bagus pemandangannya, subur dan  enak hawanya seperti di surga dewa Kama.

Sunan Ngudung (Kudus), utusan yang dikirim Prabu Brawijaya ke Bintara untuk memanggil adipati Natapraja kembali dengan tangan hampa, karena sang adipati tak mau menghadap ke Majapahit selama Prabu Brawijaya belum beragama Islam.  Prabu  Brawijaya sangat murka. Dipanggilnya adipati Terung untuk dikirim ke Bintara  memadamkan pemberontakan adipati Natapraja itu. ‘Untuk itu ia diberi keris  Segarawedang dan 8000 tentara.

Pada waktu adipati Terung meninggalkan batas kota Majapahit, terlihatlah alamat yang kurang baik bagi kota Majapahit, yaitu kota Majapahit kelihatan seperti hutan. Banyak binatang hutan berkeliaran di alun-alun, serigala menyalak-nyalak, angangkasa kelihatan merah bagaikan darah. Setelah sampai di daerah Demak, adipati Terung berkampung menanti keluarnya musuh.

Sementara itu adipati Natapraja telah bersiap-siap untuk melawan. Dalam  permusyawaratan dengan para wali, ditetapkan bahwa yang akan menjadi panglima ialah Sunan Ngudung. Yang memimpin ten tara Bintara ialah Ki Ageng Sela dan Iman Sumantri dan patih Wanasalam. Sunan Ngudung meminjam baju Antakusuma dari Sunan Kali.  Setelah memakai baju Antakusuma itu, Sunan Ngudung tampak takabur. Tentara Bintara berjumlah 3000 orang ditambah orang Sela 1000 dan dari Kudus 1000. Setelah dekat dengan perkampungan ten tara Majapahit, tentara Bintarapun berkampung, tetapi adipati Terung tak mau menunggu sampai musuhnya mendapat kesempatan beristirahat.

Segera diperintahkannya menyerang dengan gelar “Garuda nglayang”. Sunan Ngudung mengimbangi dengan gelar “garuda nglayang” juga. Terjadilah pertempuran yang sangat hebat. Tentara Bintara dilanda musuh yang lebih banyak jumlahnya, pecah perangnya. Sunan Ngudung sangat marah, maju ke muka dan bertemu dengan adipati Terung. Dalam pertempuran yang terjadi, Sunan Ngudung mati.

Iman Sumantri menyerbu untuk merebut mayat Sunan Ngudung. Ki Ageng Sela  membantu. Dalam sekejap mayat dapat direbut dan dibawa kabur. Iman , Sumantri berhadapan dengan adipati Terung. Dengan kerisnya, Iman Sumantri dapat memukul pingsan adipati Terung. Tetapi segera siuman kembali dan Iman SumjIDui tertiup oleh angin yang keluar dari tubuh adipati T€rung. Ki Ageng Sela menyerbu, tetapi malam datang. Pertempuran berhenti.

Ki Ageng Sela memerintahkan beberapa orang membawa mayat Sun an Ngudung pulang ke Kudus. Ia juga mengirim utusan ke Bintara mohon bantuan, karena musuhnya jauh  lebih banyak.  Hatta, Sunan Kali sedang bersembahyang di masjid terkejut melihat Kyai Antakusuma kembali berlumur darah. Sunan Kali berpikir, Sunan Ngudung tentu telah mati, lalu ia menemui isterinya dan berkata: “Ayunda, Kyai Antakusuma pulang dengan berlumuran darah, saya kira suami yunda telah gugur.”

Sedang ia berkata demikian, Iman Sumantri melayang kearahnya. Disambutnya tubuh. Iman Sumantri. Setelah diobati, Iman Sumantri dapat berceritera ten tang jalannya pertempuran. Mendengar cerita Iman Sumantri, isteri Sunan Ngudung sangat sedih, menangis sangat memilukan. Sunan Kali datang menghiburnya: “Sudahlah yunda. Kanda telah mati sabil. Orang yang sabil tentu naik ke sorga mulia. Janganlah ditangisi. Baiklah yunda sekarang pulang ke Kudus, karena mayat kanda langsung dibawa ke sana.” Dengan Iman Sumantri Sunan Kali pergi menghadap para wali untuk merundingkan pengangkatan pengganti Sunan Ngudung. ***

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: BABAD TANAH JAWI; Galuh Mataram