Jaka Bereg
Diambil dari ceritera rakyat Bahasa daerah Surabaya Pada waktu itu kerajaan Kartasura diperintah oleh Raja Pakubuwana yang bergelar Mangkurat Mas….
Diambil dari ceritera rakyat Bahasa daerah Surabaya
Pada waktu itu kerajaan Kartasura diperintah oleh Raja Pakubuwana yang bergelar Mangkurat Mas. Pada suatu hari Raja Pakubuwana menerima utusan Kompeni Belanda dari Betawi, Van Den Gang namanya. Utusan Kompeni Belanda itu bermaksud mohon ijin Sang Raja Pakubuwana agar diperkenankan mendirikan kantor perdagangan rempah-rempah di kota Surabaya.
Sang Raja Pakubuwana merasa sangat bingung dalam hatinya. Jika ia menolak permohonan Belanda, berarti ia mengingkari perjanjian yang telah dibuat oleh almarhum kakeknya, pada jaman Mentaram, ketika terjadi pemberontakan Trunajaya.
Jika Sang Raja menginjinkan permohonan Kompeni Belanda, berarti hasil kekayaan bumi tanah Jawa akan dikeruk habis oleh Kompeni untuk dijual ke Eropa. Semarang, sudah diduduki Kompeni Belanda. Dan sekarang lagi Belanda akan meminta kota Surabaya sebagai tempat kantor dagang mereka. Tidakkah ini berarti pelan-pelan tanah Jawa akan dijajah oleh Belanda?
Akhirnya Sang Raja mencari akal untuk menolak permohonan Kompeni itu tanpa menimbulkan kekecewaan pada pihak Belanda. Sang Raja mengadakan sayembara. Permohonan Belanda mendirikan kantor perdagangan di kota Surabaya terpaksa ditolak, dan sebagai gantinya Kompeni Belanda diperkenankan mengikuti Sayembara “sodoran” yang diadakan di Magelang.
Pihak Belanda dapat menerima dan menyetujui. Maka Sang Raja Pakubuwana kemudian memerintahkan Rekyana Patih agar segera menyebarkan surat pemberitahuan kepada para tumenggung di seluruh wilayah kerajaan Kartasura.
Konon terceriteralah pada waktu itu di pedukuhan Bedah daerah sebelah barat Wonokromo, wilayah kota Surabaya, berdiamlah seorang Demang yang bernama Demang Wisaya. Sang Demang sudah mengundurkan diri dari punggawa kerajaan. Demang Wisaya mempunyai seorang putri bernama Dewi Susah.
Pada suatu hari Dewi Susah menghadap ayahandanya, Demang Wisaya. Dewi Susah memberitahukan kepada ayahandanya bahwa cucunya yang bernama Jaka Bereg, selalu mendesak kepadanya minta keterangan, siapakah gerangan ayahandanya yang sebenarnya. Jika ayahandanya itu memang masih hidup Jaka Bereg akan mencari di mana tempat tinggalnya, dan jika memang sudah mati di mana kuburnya. Dewi Susah tidak bisa memberikan jawaban kepada putranya. Akhirnya Ki Demang bermufakat dengan puterinya bahwa sekarang memang sudah waktunya bagi Jaka Bereg untuk mengetahui siapakah sebenarnya ayahnya.
Jaka Bereg kemudian dipanggil oleh Demang Wisaya, diberi tahukan nama orang tuanya. Sesungguhnya Jaka Bereg adalah putera Tumenggung Surabaya, Pangeran Jayengrana. Pada suatu waktu Tumenggung Jayengrana bercengkerama dan berenang-renang di Rawa Wiyung. Beliau sangat terpikat akan kecantikan Dewi Susah yang kemudian dipersuntingnya. Perkawinan itu menurunkan seorang putera yang diberi nama Jaka Bereg. Nama ini sesuai dengan pesan Sang Tumenggung Jayengrana kepada isterinya Dewi Susah, agar kelak bila anaknya lahir laki-laki supaya diberi nama Jaka Bereg, sebagai tanda ketika Tumenggung Jayengrana berenang di Rawa Wiyung, banyak ikan yang mati karena perbawa kesaktian sang Tumenggung Jayengrana. Demikianlah kisah Sang Demang Wisaya kepada cucunya Jaka Bereg. Kelak bila Jaka Bereg berhasil menemui orang tuanya supaya menceriterakan segala kisah kakeknya.
Jaka Bereg sangat terharu mendengar kisah Kakeknya yang sangat menyentuh hatinya. Maka ia pun segera pamit untuk mencari bapaknya yang sebenarnya, yang tidak lain ialah seorang tumenggung yang sangat terkenal perkasa, Tumenggung Jayengrana, di Surabaya. Sebelum ia diperkenankan berangkat ia dibekali sebuah sapu tangan. Sapu tangan ini adalah sebuah kenang-kenangan dari Tumenggung Jayengrana kepada isterinya.
Dewi Susah, ketika masih berdiam di Bedah. Sapu tangan kenangan ini mempunyai citra-citra, pada sebuah sudutnya terukir dengan indah, nama Tumenggung Jayengrana. Sapu tangan inilah merupakan bukti bahwa Jaka Bereg memang putera Dewi Susah, keturunan Tumenggung Jayengrana.
Setelah segala sesuatunya cukup jelas, maka dengan diiringi doa dan air mata ibunya Jaka Bereg mencari orang tuanya. Segera ia menyusuri hutan yang lebat untuk menuju ke kota Surabaya. Sampailah Jaka Bereg di daerah Wonokromo. Jaka Bereg bertemu dengan dua orang pemuda yang tampan rupawan, yang berpakaian serba indah dan gemerlapan. Mereka tidak lain ialah putera Tumenggung Jayeng-rana, yang bernama Raden Sawungrana dan Raden Sawungsari. Jaka Bereg tidak diijinkan masuk ke katumenggungan Surabaya oleh dua orang ksatria tadi, hingga terjadilah pertengkaran mulut antara mereka. Pertengkaran itu makin lama makin sengit. Jaka Bereg bersikeras untuk masuk ke katumenggungan Surabaya. Namun Raden Sawungrana dan Raden Sawungsari tetap berkeras menolaknya. Akhirnya kedua belah pihak sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi. Terjadilah pertempuran antara Raden Sawungrana yang dibantu oleh Raden Sawungsari melawan Jaka Bereg. Mereka bertiga adalah putera Tumenggung Jayengrana yang berkasa. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila pertempuran antara ketiganya berjalan dengan sengit dan seru. Nampaknya pada awal pertempuran mereka mempunyai kekuatan yang seimbang. Namun Jaka Bereg pemuda yang dibesarkan dilingkungan desa yang keras ternyata mempunyai kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh Raden Sawungrana dan Raden Sawungsari yang dibesarkan dalam gemilang kemewahan dan kenikmatan. Jaka Bereg ternyata lebih kuat dan perkasa serta lebih keras dan kuat tekatnya. Pelan tetapi pasti Sawungrana dan Sawungsari mulai terdesak. Unggul dalam gempuran-gempuran, Jaka Bereg lebih memperhebat dobrakan-dobrakannya. Akhirnya Raden Sawungrana dan Raden Sawungsari tidak dapat membendung Jaka Bereg. Yakin bahwa tidak dapat memenangkan pertempuran, Raden Sawungrana dan Sawungsari mengambil keputusan serentak untuk mengundurkan diri. Pada saat yang tepat mereka berdua meloncat mundur dan mengambil langkah seribu. Jaka Bereg tidak tinggal diam. Ia segera mengejar Sawungrana dan Sawungsari.
Pada saat itu di Katumenggungan Surabaya sedang diadakan sidang paripurna merembukkan sayembara Raja Pakubuwana. Tumenggung Jayengrana dihadap oleh para demang di wilayahnya. Tiba-tiba datanglah Sawungrana dan Sawungsari yang segera menghadap dengan nafas memburu. Mereka berdua menceriterakan pertempurannya dengan Jaka Bereg yang mengaku-aku sebagai putera Tumenggung Jayengrana. Sawungsari dan Sawungrana mengatakan bahwa ada kemungkinan Jaka Bereg itu adalah orang tidak waras, karena berani mengaku sebagai putera Tumenggung Surabaya. Jayengrana yang perkasa.
Jaka Bereg yang mengejar Raden Sawungrana dan Sawungsari akhirnya dapat menyusul dan masuk kekatumenggungan. Tumenggung Jayengrana segera menanyakan kepada Jaka Bereg tentang asal usulnya. Jaka Bereg menceriterakan apa adanya, bahwa ia adalah putera Dewi Susah dari Bedhah, keturunan Tumenggung Jayengrana di Surabaya.
Ketika Jayengrana menanyakan tanda-tanda bukti bahwa ia memang putera Tumenggung Jayengrana. Jaka Bereg segera menceriterakan kisah kakeknya dan menunjukkan sapu tangan pemberian ibunya. Berdasarkan bukti-bukti yang memang dapat dipercaya itu maka Tumenggung Jayengrana mengakui bahwa Jaka Bereg memang putranya, hasil perkawinannya dengan Dewi Susah dari Bedah. Demikianlah akhirnya Jaka Bereg diterima menjadi anggota katumenggungan Surabaya.
Sidang lengkap pada hari itu dilanjutkan dengan membicarakan masalah sayembara “sodoran” yang diadakan oleh Sang Raja Pakubu-wana di Kartasura. Sang Tumenggung Jayengrono bermaksud menghadiri sayembara itu. Karena Jaka Bereg itu berwajah buruk, maka agar tidak memalukan Jaka Bereg, terpaksa ditinggalkan tidak diajak ikut serta menghadiri sayembara”sodoran” di Kartasura itu. Setelah rombongan Tumenggung Jayengrana beserta putranya Sawungrana dan Sawungsari berangkat ke Kartasura, Jaka Bereg seakan-akan mendapatkan ilham, dan dapat merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Akhirnya diketahuinya bahwa sebenarnya ayahandanya beserta kedua saudaranya telah berangkat kealun-alun Kartasura mengikuti sayembara “sodoran” yang diadakan oleh Sang Prabu Pakubuwana.
Dengan bekal kesaktian yang dianugerahkan Yang Mahakuasa kepadanya, Jaka Bereg kemudian menghentakkan kakinya ke tanah tiga kali, dan menyusul ayahandanya. Jaka Bereg berhasil menyusul ayahanda beserta rombongan ketika masih dalam perjalanan menuju ke Kartasura. Tumenggung Jayengrana tidak dapat mengelak lagi. Jaka Bereg diperkenankan mengikuti rombongan ke Kartasura dengan syarat hanya diakui sebagai “gamel”, yakni orang yang bertugas memelihara kuda, dan bukan sebagai anak Tumenggung Jayengrana. Dengan berat hati Jaka Bereg terpaksa menyetujui usul Tumenggung Jayengrana. Rombongan segera menuju kealun-alun Kartasura tempat sayembara “sodoran” diadakan.
Di alun-alun Kartasura para peserta sayembara telah hadir. Demikian juga rombongan Tumenggung Jayengrana pun sudah datang. Sayembara “sodoran” segera dimulai. Demikianlah, konon tidak ada Bupati dari Madura serta daerah-daerah lain, Sawungsari, Sawungrana, bahkan Tumenggung Jayengrana pribadi tidak dapat melakukannya. Semua gagal. Akhirnya Jaka Bereg tampil di medan sayembara. Dengan memusatkan seluruh perhatian serta mengerahkan kesaktiannya, maka Jaka Bereg berhasil melakukannya, bahkan meruntuhkan bunga yang dipasang sebagai sasarannya. Alun-alun Kartasura gegap gempita oleh gemuruh sorak sorai para penonton yang memberikan sambutan kepada Jaka Bereg.
Kompeni Belanda yang kalah merasa sangat terhina, karena dikalahkan oleh seorang pribumi yang jelek dan buruk rupa. Akhirnya mereka beramai-ramai menyerang Jaka Bereg.
Jaka Bereg tidak tinggal diam. Ia mengerahkan segala kekuatan dan kesaktiannya untuk menandingi kemarahan para Kompeni Belanda. Banyak Kompeni Belanda yang menjadi korban, mati di tengah-tengah medan laga.
Sang Prabu Mangkurat Mas, atau Sang Prabu Pakubuwana menyaksikan peristiwa tersebut, runtuhlah hatinya. Ia merasa kasihan kepada Jaka Bereg yang dikeroyok oleh Kompeni Belanda. Ia segera turun dari panggung kehormatan dan memberikan pertolongan kepada Jaka Bereg. Sang Prabu segera mengerahkan kesaktiannya, hingga tidak ada seorang pun yang dapat melihatnya. Dengan kesaktiannya ini ia menolong Jaka Bereg, dipondongnya dan dilarikan ke kerajaan Kartasura.
Di kerajaan Kartasura, Jaka Bereg ditanyai oleh Sang Prabu Pakubuwono. Jaka Bereg mengaku bahwa ia adalah putera Tumenggung Jayengrana dari Dewi Susah di desa Bedah.
Namun ketika datang ke alun-alun Kartasura ia sama sekali tidak diakui sebagai anak, hanya sebagai pemelihara kuda. Sang Prabu Mangkurat sangat marah mendengar kisah Jaka Bereg. Maka Tumenggung Jayengrana segera dipanggil menghadap. Ternyata kisah Jaka Bereg bukan karangan belaka. Semuanya benar dan cocok dengan jawaban Jayengrana. Dengan marah Sang Prabu menjatuhkan pidana kepada Tumenggung Jayengrana untuk turun dari jabatan Katumenggungan dan digantikan oleh puteranya Sawungrana. Buat sementara ini Jaka Bereg ditetapkan untuk tinggal di Kartasura. Dia dicadangkan untuk pengganti Sawungrana, bila Sawungrana mengundurkan diri nantinya.
Di samping itu Jaka Bereg diberi anugerah nama baru yang setimpal dengan jabatan yang akan dipangkunya kelak, yakni Sawunggaling. Sekaligus Jaka Bereg dianugerahkan puteri raja dari selir, yang bernama Kusumaning Ayu Dewi Nawangsih. Setelah Tumenggung Sawungrana lengser, maka Sawunggaling, segera menjabat Tumenggung Surabaya yang bergelar Pangeran Sosronegara.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982, hlm. 92-97.
Comments
kok gak ada amanat nya sekalian?? hehe…