Chandra Kirana
DI HUTAN lebat tidak tertembus oleh cahaya matahari sore yang tengah condong ke barat, tampak dua orang berkuda dengan santai….
DI HUTAN lebat tidak tertembus oleh cahaya matahari sore yang tengah condong ke barat, tampak dua orang berkuda dengan santai. Tetapi bentuk mereka berbeda satu dengan yang lainnya. Yang seorang tampan berpakaian serba gemerlapan, yang seorang lagi sudah setengah baya berpakaian sederhana. Pemuda tampan itu Raden Putera bersama punakawannya Jodeg Santa. Raden Putera adalah putera mahkota kerajaan Jenggala, saat ini sedang melacak buruannya di dalam hutan, karena berburu merupakan salah satu kegemarannya.
Mereka berdua akhirnya beristirahat di bawah sebatang pohon rindang. Raden Putera tampak jengkel. “Hari ini kita agak sial, paman. Seekor kelinci pun tidak kita peroleh!” kata Raden Putera.
“Kita belum pernah berburu sampai ke rimba ini, Raden. Mungkin saja tempat ini memang sial buat berburu”
“Betul, paman. Aku hanya coba-coba saja. Rasanya hari ini kita akan pulang tanpa hasil. Tapi . . . coba dengar, paman … suara apa itu?”
Jodeg Santa memperhatikan. Benar, ia mendengar dendang seorang gadis.
“Aneh Raden, di tengah rimba ini ada dendang seorang gadis. Atau mungkin itu suara Kuntilanak. Raden, mari cepat kita menyingkir dari sini!” gemetar suara Jodeg Santa.
Raden Putera menggeleng. ‘Tidak paman, kita cari dulu sumber suara itu!” katanya.
Tubuh Jodeg Santa agak menggigil. “Mencari sumber suara itu, Raden? Dan … saya hanya sendirian?” tanyanya.
Raden Putera mengangguk. “Jika paman takut, mari kutemani!” Dan Raden Putera diiringi panakawannya memasuki rimba itu menuju sumber suara dendang yang mereka dengar. Dendang itu suara gadis yang teramat merdu. Akhirnya mereka melihat sebuah rumah sederhana di tengah-tengah rimba. Raden Putera terus mendekati rumah itu. Dia semakin terpesona mendengar dendang merdu seorang gadis yang datang dari dalam rumah itu. Pintu rumah itu diketuknya.
Bersamaan dengan ketukan pada pintu, suara dendang itu lenyap. Raden Putera menanti sesaat, lalu mendorong pintu itu. Bersamaan dengan terbukanya pintu, terdengar jerit kecil ketakutan. Raden Putera mencari-cari dan ternyata seorang gadis tengah duduk di sudut ruang itu dalam keadaan ketakutan. “Si . . siapa kalian?” gemetar suara si gadis jelita.
Raden Putera tertegun. Luar. biasa cantik gadis itu. Segera ia memberitahukan siapa dirinya. “Dan, siapakah kau?”
“Aku Timun Emas,” jawab gadis itu menunduk.
“Akh? Timun Emas? Nama yang luar biasa. Dengan siapa kau tinggal di sini?”
Gadis itu ragu-ragu sejenak, namun akhirnya menjawab: “Aku … aku di sini hanya seorang diri.”
‘Tanpa kawan? Kasihan! Gadis secantikmu tidak layak tinggal di rumah seperti ini. Timun Emas, aku bermaksud’ membawamu ke kota Jenggala!”
‘Tapi . . aku . . .,” gadis itu ragu-ragu.
“Gadis secantikmu sudah sepantasnya tinggal di sebuah istana. Nanti kau akan kutempatkan di sebuah puri yang indah!” jawab Raden Putera.
Semula Timun Emas menolak, tapi setelah dipaksa oleh Raden Putera dengan bujukannya, gadis itu menurut. Tiba di istana Jenggala, Raden Putera memperkenalkan Timun Emas pada ayahandanya. Beberapa bulan kemudian Raden Putera menikah dengan Timun Emas. Karena kecantikannya yang luar biasa, maka ia diberi gelar Chandra Kira-na. Pasangan pengantin ini saling mencintai.
DI HUTAN lebat tempat Raden Putera menemukan Timun Emas, tampak seekor tikus tengah memasuki rumah di tengah hutan itu sambil memanggil-manggil: ‘Timun Emas . . . Timun Emas … di mana kau, anakku?”
Tikus itu menyebut Timun Emas sebagai anaknya dan memang benar ia adalah ibu Timun Emas. Tikus ini bukan tikus sembarangan, karena sebenarnya ia penjelmaan seorang bidadari dari Swargaloka. Karena melakukan kesalahan, telah dihukum para Dewa untuk hidup di alam manusia sebagai tikus dalam waktu tertentu. Waktu Raden Putera datang dan membawa puterinya, tikus ini tidak berada di rumah. Ketika pulang tidak melihat anaknya, tikus ini jadi sedih. Berhari-hari tikus itu mencari anaknya, setiap binatang rimba yang dijumpainya tentu ditanya. Sampai akhirnya ada seekor Rusa yang memberitahukan bahwa, puteri tikus itu telah diboyong oleh seorang pemuda tampan berpakaian mewah gemerlapan. Tikus itu jadi semakin sedih. Tetapi karena tikus ini penjelmaan Bidadari, seketika ia sudah bisa menduga bahwa puterinya diboyong oleh seorang putera raja. Maka tiba di Jenggala. Berbulan-bulan lamanya ia melakukan perjalanan, barulah sampai di istana Jenggala. Dengan tidak sulit ia masuk ke dalam istana, mencari-cari anaknya. Akhirnya ia berhasil menemukan puterinya itu di sebuah ruang yang mewah.
“Timun Emas, anakku!” panggilnya.
Chandra Kirana terkejut, menoleh. “Ohhh, ibu . . .!” serunya kaget bercampur girang.
“Mengapa kau meninggalkan rumah tanpa memberitahu padaku? Berbulan-bulan lamanya aku mencarimu,” tegur induk tikus itu.
“Maaf, bu … waktu itu semuanya terlalu mendadak, setiap hari aku selalu memikirkan ibu. Kini aku adalah isteri Putera Mahkota Jenggala. Aku belum memberitahu jika ibuku adalah seekor tikus. Nanti akan kuberitahukan. Nah, itu dia datang …”
Raden Putera waktu itu sedang melangkah tenang memasuki ruang. Dia sangat terkejut melihat seekor tikus berada di kamar isterinya. “Oooh, seekor tikus? Mengapa binatang menjijikkan ini bisa berada di kamarmu, Rayi?” Kakinya segera menendang tikus itu. Tubuh tikus terpental membentur dinding cukup keras dan mati seketika.
Chandra Kirana kaget dan berteriak kalap: ‘Ibu . ..?!” segera ia berlari untuk melihat keadaan ibunya, seraya menangis sedih sekali.
‘Tbu? Oooh, apakah … apakah?” Raden Putera tidak bisa. meneruskan ucapannya.
“Kakang, kau sangat kejam, telah membunuh ibuku! Aku tidak akan memaafkan perbuatanmu . . .,” Chandra Kirana menatap penuh benci.
Tiba-tiba ruangan itu jadi terang dan harum. Raden Putera dan Timun Emas terkejut. Di ruang itu berdiri seorang wanita dengan tubuh bercahaya.
“Jangan bersedih, anakku. Aku tidak bisa menemanimu lebih lama lagi, karena hukumanku sudah berakhir dan aku harus kembali ke Swargaloka. Kudoakan semoga kau selalu bahagia, anakku!” Setelah berkata demikian, bidadari itu sirna. Timun Emas meratapi kepergian ibunya,Raden Putera berusaha membujuk isterinya. Tetapi tidak berhasil. Bahkan keesokan harinya Timun Emas diam-diam meninggalkan istana, sehingga membingungkan Raden Putera. Hari itu juga dikerahkan beberapa punggawa untuk mencarinya, tetapi selama dua hari mereka tidak berhasil menemukan jejak Timun Emas. Raden Putera berduka ditinggal isterinya, setiap hari bermuram durja. Jodeg Santa berusaha menghiburnya dengan melucu, untuk memulihkan kegembiraan tuannya, tapi acapkali gagal.
Timun Emas atau Chandra Kirana ternyata telah kembali ke rumah kecil di tengah rimba itu. Ia sedang hamil. Setelah beberapa bulan berlalu, Timun Emas melahirkan seorang bayi laki-laki yang montok dan berwajah manis. Anak itu diberinya nama Cindelaras. Anak itu tumbuh sehat. Anehnya, dalam usia 3 tahun saja tinggi tubuh Cindelaras sudah seperti anak-anak berusia 10 tahun. Pertumbuhan tubuhnya memang cepat. Kawan bermainnya adalah binatang rimba, yang akrab dengannya adalah seekor harimau loreng. Bahkan kemana-mana selalu harimau loreng itu yang jadi tunggangan Cindelaras.
Pada suatu hari Cindelaras minta ijin dari ibunya, untuk main-main dengan temannya di luar rumah. “Jangan terlalu jauh, juga cepatlah pulang!” pesan Timun Emas.
“Baik bu!” mengangguk Cindelaras.
Sedang bermain, Cindelaras melihat seekor elang membawa sebutir telur. Telur itu diminta oleh anak ini dan Elang mengabulkannya. Cindelaras segera mengambil telur itu. Ia bermaksud menetaskan telur itu. Waktu berhasil ditetaskan, ternyata itu telur ayam. Seekor anak ayam yang sehat telah lahir dengan keadaannya yang cepat menjadi besar, suaranya nyaring keras dan perkasa.
Adanya ayam jago itu, bertambah lagi kawan bermain Cindelaras. Kemana saja pergi tentu dibawanya. Sampai suatu hari Cindelaras bersama sahabatnya bermain sampai ke tepi hutan. Dari kejauhan mereka melihat sebuah kampung dan tampaknya di sana sangat ramai. Cindelaras jadi tertarik. “Ah, tempat itu sungguh ramai! Mari kita ke sana untuk melihat-lihat!”
Tetapi harimau belang tidak mau. Harimau memberitahukan bahwa, penduduk desa itu pasti akan ketakutan melihatnya. Maka terpaksa Cindelaras pergi tanpa didampingi harimau, temannya. Dengan membawa ayam jantannya, Cindelaras menuju dusun itu. Lalu ia menyaksikan orang-orang yang tengah berkerumun. Ada seseorang yang menyapanya: “Anak kecil yang manis, kau bermaksud mengadu ayam juga? Kulihat ayammu bagus sekali!”
“Ada apa di sini, paman?” tanya Cindelaras.
“Raden Putera dari kerajaan Jenggala sedang mengadu ayamnya.Sudahtiga ekor ayam jago yang mati kena taji ayam Putera Mahkota itu. Kalau ayammu menang, kau bisa memperoleh hadiah yang banyak darinya.”
“Baiklah, aku ingin ikut mengadu ayamku. Kalau memperoleh hadiah, ibuku tentu gembira.”
Segera Cindelaras dibawa menghadap Raden Putera. Keinginan Cindelaras dikabulkan, untuk mengadu ayamnya dengan ayam Raden Putera. Ayam Raden Putera dilepas dan demikian juga ayam Cindelaras. Kedua ekor ayam saling berhadapan dan bertarung. Tetapi dalam suatu kesempatan, ayam Cindelaras dapat menyerang dahsyat lawannya dengan» tajinya, bahkan sampai mematikan. Segera ayam Cindelaras berkokok penuh kemenangan.
Raden Putera kagum dan memanggil -Cindelaras menghadap: “Anak manis, ayammu telah memenangkan pertarungan ini. Dengan sendirinya kau berhak atas hadiah yang dijanjikan. Hari ini juga kau kami angkat sebagai anggota keluar ga istana, kedua orang tuamu akan kami t jemput .”
“Aku hanya tinggal bersama ibu di tengah hutan .. ..”jawab Cindelaras. Raden Putera mengantar Cindelaras c pulang ke rumahnya. Tetapi ketika me lihat ibu Cindelaras, tidak kepalang kaget campur gembira hati Raden Putera, karena ibu Cindelaras tidak lain dari Timun Emas atau Chandra Kirana, isteri yang dicintainya.
“Ah Rayi, rupanya kau ibu anak itu. Kau tentu sangat menderita selama ini”, kata Raden Putera terharu.
“Cindelaras adalah . . adalah puteramu, Kakang . . .,” kata Chandra Kirana sambil menunduk.
Hari itu juga Chandra Kirana dan Cindelaras diboyong ke istana Jenggala. Sejak saat itulah mereka hidup bahagia tanpa pernah berpisah lagi. Bahkan setelah Raden Putera naik tahta menggantikan ayahandanya, Cindelaras diangkat sebagai Putera Mahkota. □
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Aneka Ria 376, Juni 1983, hlm. 43-44