Friday, June 9, 2023
Semua Tentang Jawa Timur


Laskar Tikus dan Lebah

Dalam permusyawaratan para wali diputuskan, bahwa putera mendiang Sunan Ngudung diangkat menjadi Sunan Kudus dan bergelar Sunan Ngudung (II) dan…


Dalam permusyawaratan para wali diputuskan, bahwa putera mendiang Sunan Ngudung diangkat menjadi Sunan Kudus dan bergelar Sunan Ngudung (II) dan mengganti pula menjadi panglima perang Bintara. Patih Wanasalam, Ki Ageng dan Iman Sumantri menjadi pembantu utama.

Sunan Ngampel berkata: “Rai, anakku Sunan Kalijaga. Bantulah keponakanmu dengan daya dan siasat.”

Sunan Kalijaga menyanggupi, lalu berkata kepada adipati Natapraja: “Bawalah kemari peti Jepun dari adipati Palembang dan baju putih dari Pangeran Modang.”

Adipati Natapraja dengan segera mengambil kedua benda itu dan diserahkan kepada Sunan Kali.

Sunan Kali: “Anakku Sunan Ngudung. Pada waktu malam sebelum bertempur, kebutkanlah baju putih ini tiga kali sambil menahan nafas. Pada waktu bertempur, bukalah peti ini di hutan.

Sunan Ngudung: “Daulat Tuanku semoga hamba mendapat restu Tuanku.”

Segenap balatentara segera dipersiapkan, berangkat dengan segala kesiap-siagaan. Tidak lama kemudian telah sampai di perkampungan Ki Ageng Sela. Setelah bertukar salam, Ki Ageng Sela berkata: “Apakah Tuanku membawa barang sesuatu untuk mengganggu musuh?”

Sunan Ngudung (II): “Ya Kyai. Jeng Sunan Kali memberi kami dua buah benda, sebuah peti Jepun dan sehelai baju putih.”

Ki Ageng Sela: “Apa isinya peti itu?”

Sunan Ngudung: “Kami belum tahu. Pesan Jeng Sunan Kali: Pada malam sebelum bertempur, baju putih itu hendaknya dikebutkan tiga kali sambil menahan nafas. Peti Jepun itu harus dibuka pada waktu bertempur.”

Ki Ageng Sela: “Dapatkah isinya kita lihat sedikit.” Sunan Ngudung: “Paman Wanasalam. Paman yang membawa kunci peti itu. Cobalah paman buka sedikit.”

Patih Wanasalam membuka sedikit tutup peti, keluarlah lebah yang kemudian masuk lagi. Baju putih itu dicoba pula. Pada waktu dilambaikan dengan lambat sekali, keluarlah sepasang tikus. Mereka terkejut bukan main.

Menjelang tengah malam Sunan Ngudung bersama Patih Wanasalam mendekati perkampungan tentara Majapahit. Sunan Ngudung membaca mantra, tentara Majapahit tidur lelap. Kemudian Patih Wanasalam mengebutkan baju putih tiga kali sambil menahan nafas, keluarlah beribu-ribu tikus yang langsung menyerang perbekalan dan perlengkapan tentara Majapahit. Hancurlah segala-galanya, bahkan habis digerigiti tikus-tikus itu. Pakaian kudapun tak ada yang utuh. Apalagi yang berujut makanan, dari rempah-rempah sampai beras dan nasi kering, ludas dimakan tikus. Tentara Majapahit mulai berkurang kepercayaannya akan kekuatan sendiri. Bagaimana orang dapat berperang tanpa senjata, tanpa makanan?

Pagi hari Sunan Ngudung telah siap hendak menyerbu musuh, dengan gelar “madibya” berujut gedung tertutup. Sunan Kudus (Ngudung) gedungnya, Patih Wanasalam daun pintu, Iman Sumantri dan Ki Ageng Sela yang di kiri dan kanan. Mendengar barisan Demak telah siap, orang Majapahit lekas-lekas bersiap dalam gelar yang sama. Perlengkapannya serba kurang, tetapi jumlahnya lebih besar. Pertempuran pun terjadi. Pihak Bintara ingin membalas kekalahan, pihak Majapahit telah nekat karena rusaknya perlengkapan mereka. Mereka ingin merebut perlengkapan musuh. Sunan Kudus melihat, bahwa pertempuran akan terlalu lama berlangsung bila tak terjadi apa-apa. Oleh karena itu bersama Patih Wanasalam dibawanya peti Jepun dari Palembang dan dibuka di hutan. Berjuta-juta lebah keluar dari peti itu menyerbu barisan Majapahit. Gemparlah prajurit Majapahit mendapat serangan itu. Banyak yang tak dapat bertahan lagi, larilah mereka tanpa menoleh lagi. Lari pulang.

Adipati Terung sedih melihat tentaranya bercerai-berai, karena laskar lebah. Ia tahu, pula bahwa laskar lebah itu tentu dari Palembang asalnya. Ingatlah adipati Terung, bahwa ia seakan-akan bertempur dengan ayahnya sendiri, ingatlah ia bahwa pada hakekatnya Ia bertempur melawan kakaknya sendiri, kakak seibu, kakak yang menjadi kawan seiring ke mana pergi, yang kerap kali melindungi terhadap bahaya yang mengancam. Perasaan dosa menggerogoti hatinya dari dalam seperti tikus-tikus yang menggerigiti perlengkapan dan perbekalan tentara yang dipimpinnya. Tetapi anak buahnya kini bercerai-berai dikejar dan dikerumuni oleh lebah. Karena kasihan akan mereka itu, ia mengucapkan mantra. ia memekik dan lebah lenyap terbuang oleh angin yang keluar dari tubuhnya. Iman Sumantri yang hendak menyerbunya, juga dibuangnya sampai di luar pertempuran dengan angin itu. Ki Ageng Sela hendak mengamuk dengan tombak Kyai Plered, tetapi malam datang melerai fihak-fihak yang bertempur, tapi dalam hati tak bermusuhan . … . . .

Pada malam itu Adipati Terung diganggu oleh perasaan yang tidak nyaman. Ia tak takut mati, tapi apakah ia harus mati ditangan kakaknya yang dibantu oleh ayahnya? Ia ingat akan kata-kata ayahnya yang menitipkannya kep’ada kakaknya, pada waktu berangkat ke Majapahit. Ia ingat akan R. Patah yang kemudian pergi ke Ngampel untuk membuka jalan baginya, jalan yang menuju ke arah kebahagiaan dan martabat. Kini kakaknya itu sedang memilih jalannya ke arah kebahagiaan dan martabatnya. Haruskah ia menghalang-halanginya? Haruskah?

Di dalam perkampungan tentara Bintara pun terdapat perasaan yang kurang tentram. Memang, dapat dikatakan pertempuran hari itu kemenangan ada pada pihak mereka. Tentara Majapahit telah kocar-kacir, tetapi Arya Terung dengan mudah dapat melenyapkan laskar lebah . Dengan mudah ia dapat menyingkirkan Iman Sumantri.

Sunan Kudus bercakap-cakap dengan Patih Wanasalam dan Ki Ageng Sela. Sunan Kudus berkata:

“Sebenarnya yang menjadi penghalang utama ialah Arya Terung. Bagaimanakah caranya menghilangkan rintangan itu paman, ia sangat sakti.”

Patih Wanasalam : “Saya pikir, pertempuran melawan angger Arya Terung ini, tidak sepenuhnya mendapat restu Adipati Natapraja sendiri. Angger Adipati tidak gentar menghadapi Sri Baginda raja Brawijaya, walaupun Baginda ayahnya sendiri. Karena belum pernah ia bergaul seperti layaknya anak yang diasuh oleh ayahnya. Tetapi menghadapi Arya Terung, yang kelihatan adalah adiknya yang dikasihinya sejak kecil. Saya tahu ngger, apa yang menjadi pendorong terakhir bagi R. Patah untuk pergi ke Ngampel, dan tidak terus ke Majapahit menghadap ayahnya.”

Sunan Kudus: “Apakah itu paman, ceriterakanlah.”

Patih Wanasalam: “Waktu itu aku baru beberapa hari saja menghamba pada R. Patah. Mereka, kakak beradik, itu hendak menghadap ke Majapahit untuk magang bupati Palembang. Sebelum berangkat Adipati Palembang memberi tahu R. Patah, bahwa sebenarnya ia putra prabu Brawijaya. Jadi putera Adipati Palembang ialah R. Timbal, begitulah nama Arya Terung waktu itu. Tapi resminya R. Patah yang menjadi anak sulung dipati Palembang dan dialah yang berhak atas kadipaten Palembang. Dititipkannya nasib R. Timbal kepada R. Patah. R. Patah merasa bahwa sebenarnya yang berhak atas kadipaten Palembang ialah R. Timbal dan dia, orang yang bukan keturunan adipati Palembang, yang telah dididik dengan penuh kasih sayang oleh adipati Palembang, akan merebut hak itu dari R. Timbal. Ia merasa seharusnya ia membalas budi, tidak merenggut hak adiknya itu, Lalu apakah gunanya ia menjadi pelindung adiknya, kalau hanya mau merebut hak-hak adiknya? Oleh karena itu ia mengalah. Tidak jadi pergi menghadap ke Majapahit dengan harapan, bahwa Prabu Brawijaya akan menerima ‘magang’ R. Timbal untuk menggantikan ayahnya. Ia mengalah, karena hendak melindungi adiknya: Kurasa kali ini pun ia akan mengalah terhadap adiknya itu, kalau segalanya tergantung dari padanya. Kurasa tidak sepenuhnya ia merelakan adiknya kalah dan mati dalam pertempuran ini. Adiknya yang begitu disayanginya, yang ingin senantiasa dilindunginya.”

Ketiga orang itu terdiam, tak mampu berkata-kata. Kebenaran kata-kata Patih Wanasalam menghujam di dalam hati mereka. Mereka merasa, bahwa’ seandainya mereka dapat membunuh Arya Terung, mereka tidak akan mendapat ucapan terima kasih dari Adipati Natapraja, orang yang terpenting dalam usaha penggulingan Prabu Brawijaya, karena dialah calon raja Islam yang pertama. Bahkan mungkin umpat caci yang akan menimpa mereka.

Sunan Kudus: “Paman Patih Wanasalam. Menurut penilikan paman, apakah perasaan kasih sayang paman Adipati terhadap paman Arya Terung yang sedalam itu berbalas juga?”

Patih Wanasalam : “Ya, rupa-rupanya berbalas juga. Kasih sayang mereka timbal balik. Ini dapat saya lihat, ketika saya mengikuti angger R. Patah pertama kali menghadap ke Majapahit. Yang datang kemari dulu, juga R. Timbal, dia masih magang. Bintara barulah merupakan pesantren yang belum besar.  Waktu itu R. Timbal mengatakan kepada kakaknya begini: “Lebih baik Bintara kakak minta saja. Bukankah kakak putera baginda? Tetapi bila baginda murka, sayalah yang akan menjadi benteng kakak. Apa yang dikatakannya itu dibuktikannya. Ketika R. Patah ada di Majapahit dialah yang menjaganya, agar orang Majapahit yang masih ‘Budha’ itu tidak mengganggunya. Ya, ngger. Saya rasa, kasih sayang mereka timbal balik.”

Sunan Kudus: “Kalau begitu, baiklah paman Patih kirim surat kepada paman Arya Terung, minta agar dia bergabung kepada kakaknya yang dikasihinya itu. Katakan, tak perlu kakak beradik yang saling berkasih-kasihan bersilang pedang, lebih baik bergandeng tangan menuju puncak kebahagiaan bersama. Saya akan menjamin keselamatannya bersama seluruh anak buahnya bila ia mau bergabung dengan kita.”

Ki Ageng Sela yang sejak tadi hanya diam saja kini berbicara: “itu pikiran yang sangat baik, Saya setuju sekali dengan rencana ini. Dan barangkali inilah pemecahan yang paling berbahagia.”

Patih Wanasalam segera membuat surat yang direneanakan bersama itu, agar supaya besuk pagi dapat diantarkan kepada Arya Terung secepat-cepatnya. Ternyata surat itu mendapat sambutan yang amat baik dari Arya Terung. Perundingan selanjutnya menghasilkan putusan. Arya Terung secepat-cepatnya akan datang menghadap Adipati Natapraja untuk menggabungkan diri dengan seluruh tentaranya.

Tidak diceriterakan perjalanan tentara Majapahit dan Bintara yang telah bergabung itu. Kakak beradik telah bertemu. Sambutan Adipati Natapraja kepada adiknya, bagaikan bapa menyambut anak hilang. Kedatangan Arya Terung bagaikan elang pulang kesarangnya.

Adipati Natapraja berkata:

“Terima kasih adi Arya Terung atas kedatanganmu. Bantulah kakak merebut warisan. Seluruh daerah ‘Bang wetan’ saya serahkan kepada adi, tundukkan mereka, bawalah mereka bergabung dengan kanda, dan jagalah mereka jangan sampai membantu Majapahit.”

Arya Terung menjawab: “Baiklah, kanda. Janganlah kanda khawatir. Bang wetan hambalah yang mengerjakan.” Keesokan harinya, Arya Terung telah berangkat dari Bintara. Sekarang tidak memakai panji-panji Majapahit, tetapi panji-panji Bintara Islam.***

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: BABAD TANAH JAWI; Galuh Mataram hlm. 149–154

Comments


Leave a Reply

%d blogger menyukai ini: