Saturday, December 7, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Tanah Perdikan Pacalan

Cerita Bahasa Jawa Daerah Magetan Terceritalah pada akhir abad 18 Saka, atau pada awal abad 19 Masehi, di kaki gunung…

By Pusaka Jawatimuran , in Magetan Sejarah , at 01/08/2012 Tag: , , , , ,

Cerita Bahasa Jawa Daerah Magetan

Terceritalah pada akhir abad 18 Saka, atau pada awal abad 19 Masehi, di kaki gunung Lawu sebelah Timur, yakni di desa Pacalan ada seorang kyai yang sangat pandai dan menguasai benar-benar seluk-beluk agama Islam. Budi bahasanya, tutur sapanya, sangatlah baiknya, sifatnya selalu menaruh belas kasih terhadap sesama umat manusia, selalu berse­dia untuk menolong siapa pun yang sedang menderita. Ibaratnya suka memberi payung orang yang kepanasan, suka memberi tongkat kepada orang yang berjalan di tempat yang licin, suka memberi makan kepada orang yang kelaparan, suka memberi air kepada orang yang kehausan, suka memberi obor kepada orang yang kegelapan.

Orang-orang yang datang menuntut ilmu kepada beliau di pon­doknya sangat banyak, mereka tidak hanya orang-orang sekitar desa Pacalan saja tetapi juga banyak yang datang dari daerah lain. Murid-muridnya dan masyarakat, semua segan dan bakti pada sang kyai, dan mereka itu selalu taat, setia dan menjalankan semua perin­tah beliau. Sang kyai tadi bernama Kyai Ageng Nala Dipa. Beliau mem­punyai tiga orang sahabat yang sangat baik, Kyai Ambar Sari, Kyai Nagawangsa, Kyai Sari Wangsa.

Konon kabarnya, Kyai Nala Dipa mempunyai satu kelebihan, yakni semua tanaman yang ditanam oleh Kyai Nala Dipa, dapat tumbuh dengan subur. Sebentar saja sudah berbunga dan kemudian berbuah dengan lebatnya. Ibaratnya, pagi ditanam sore sudah berbuah. Itulah sebabnya maka beliau disebut orang pula sebagai Kyai Ageng Kembang Sore. Karena kekuatan dan perbawa Kyai Ageng Kembang Sore ini segala macam tanaman di desa Pacalan menjadi subur, orang-orang hidup tentram, tenang dan damai.

Waktu itu yang menjadi raja di Kerajaan Yogyakarta Adiningrat adalah Sultan Hamengkubuwana II (Sultan Sepuh), yang juga bergelar Sinuwun Sultan Bangun Tapa. Sultan Sepuh menjadi raja tiga kali yakni 1792-1810, tahun 1811-1812, dan terakhir tahun 1826-1828

Nama besar Kyai Ageng Kembang Sore termasyhur sampai ke mana-mana, menjadi bunga pembicaraan dan perbincangan para alim ulama, para santri di sekitar gunung Lawu. Demikianlah nama harumnya tersebar lewat para bakul yang bertembang, bahwa dari desa Pacalan ada seorang kyai yang sangat bijaksana, baik budi dan sangat mendalam ilmu agama­nya. Berita ini pun akhirnya masuk daerah Yogyakarta. Pada hal Sultan Sepuh adalah seorang raja yang sangat memperhatikan agama Islam. Agama Islam benar-benar berkembang dengan baik dibawah pemerin­tahan Sultan Sepuh. Mendengar bahwa Kyai Ageng Kembang Sore sangat mendalam pengetahuan tentang agama Islam, Sultan Sepuh lalu menjadi muridnya.

Pada waktu itu di Magetan ada seorang bangsawan yang mula­nya adalah Bupati di Kertasana. Namanya Kanjeng Raden Adipati Purwadiningrat, cicit dari Panembahan Cakraningrat II dari Sampang Madu­ra, salah seorang senapati yang suaranya sudah termashur dan menjadi tangan kanan Kerajaan Mataram pada jaman Sunan Amangkurat II. Kanjeng Raden Adipati Purwadiningrat suka akan olah Kebatinan sembahyangnya sangat teguh, menjalankan rukun Islam dengan sungguh-sungguh. Lalu beliau pun datang kembali juga sebagai murid Kyai Ageng Kembang Sore di Pacalan. Bahkan setelah tidak menjabat bupati di Ker­tasana, ia lalu berdiam di Magetan, mendekati sang guru.

Terceritalah KRA Purwadiningrat mempunyai seorang putri yang cantik. Kulitnya kuning bersih, hidung mancung, matanya bersinar cerah, rambut ikal panjang, tingkahnya menawan hati, bernama Raden Ajeng Gambariah. Umurnya baru saja menginjak dewasa.

Suatu hari Sang Raja Sultan Sepuh berkunjung ke Pacalan, berkunjung kepada Kyai Ageng Kembang Sore dengan diiringi oleh kerabat dan prajurit yang jumlahnya terbatas. Kebetulan pada waktu itu KRA Purwadiningrat menghadap Kyai Ageng di Pacalan dengan disertai oleh putrinya Raden Ajeng Gambariah. Sang jelita lalu disuruh menghi­dangkan minuman ke hadapan Sang Raja Sinuwun Sultan Sepuh. Ketika Sinuwun Raja Sultan Sepuh menyaksikan kecantikan sang jelita maka timbullah panah asmaranya. Demikianlah, singkat cerita, RA Gambariah dijadikan istri Sultan Sepuh, lalu diboyong ke kerajaan Yogyakarta, dilantik sebagai permaisuri dengan gelar Kanjeng Raden Ageng atau Kanjeng Ratu Kedaton.

KRA Purwadiningrat meninggal dunia pada lanun 1806 M. Jasadnya kemudian dimakamkan di bukit Pacalan sebelah selatan di sebelah kiri halaman mesjid dalam gedung cungkup no. 3, menjadi satu dengan Kyai Ageng Kembang Sore dengan para sahabatnya. Adapun jawad istrinya, Raden Ayu Purwaningrat dimakamkan di desa perdikan Pakuncen di sebelah utara Kertasana.

Pada waktu itu yang menjadi bupati Magetan adalah Raden Tu­menggung Sastra Dipura, Putra Kanjeng Raden Adipati Suryaningrat yang beristri putri dari kerajaan Yogyakarta, Putra Sinuwun Sultan Sepuh dari Selir yang bernama mas Ajeng Surtikanti. Mas Ajeng Surtikanti adalah putri Raden Tumenggung Surya Dipura. Mas Ajeng Surti­kanti dikawinkan dengan Ki Cakra pemimpin pondok pesantren pening­galan Kyai Ageng Kembang Sore tahun 1814 M.

Ki Cakra Dirana mendapat perintah dari kerajaan Yogyakarta dengan surat dari Kanjeng Ratu Ageng, yang tertanggal Senin, 20 Sawal tahun Jawa atau tahun Masehi 1814. Ki Cakra Dirana ditetapkan dan diangkat menjadi pemimpin Perdikan Punggawa dengan sebutan Raden. Ki Cakra di sana diperkenankan mengenakan pakaian kebesaran desa perdikan, dan dianugerahi tanah beserta segala izin desa seperti termaktup surat sang Raja.

Tugas pokok Ki Cakra Dirana ialah menjaga dan membersihkan makam ayahanda sang Ratu, Kanjeng Kyai Adipati Purwadiningrat, jangan sampai rusak. Jika sampai terdapat kerusakan Ki Cakra Dirana akan mendapat hukuman dari kerajaan Yogyakarta. Hukuman yang cukup berat, apabila dilanggar ketentuan sang Ratu.

Selanjutnya Ki Cakra Dirana diperintahkan menghidupkan, mengadakan sembahyang Jum’at, serta mengembangkan dan mengajar­kan Agama Islam. Ki Cakra Dirana juga mendapat gelar Kyai. Pada saat pertemuan sidang kerajaan, yakni pada perayaan Maulud Nabi dan Pera­yaan Puasa, setiap tahun Ki Cakra Dirana diperintah membawa persembahan ke Kerajaan Yogyakarta berupa kain lurik, bawang merah, bawang putih, trasi, sebanyak tiga pikul.

Pada tahun 1972 Jawa Tengah “sengkalan” netra papat suara tunggal atau tahun Masehi 1840, adalah hari kelahiran desa Pacalan kepala desa pertama Kyai Ageng Cakra Dirana.
Setelah Kyai Ageng Cakra Dirana wafat, yang menggantikan beliau sebagai kepala desa Perdikan Pacalan adalah istrinya Nyai Raden Ayu Cakra Dirana. Kemudian terjadilah perubahan-perubahan dalam sejarah desa Pacalan. Nyai Raden Ayu Cakra Dirana menghadap Kan­jeng Ratu Ageng, mohon agar supaya Raden Ayu Mertawangsa dianugerahi tanah sebagai bekal hidupnya. Raden Ayu Mertawangsa adalah adik Kanjeng Ratu Ageng, juga adik dari Raden Tumenggung Sasra Di­pura ayahanda Raden Ayu Cakra Dirana. Jadi masih bibinya.

Mulai saat ini desa Perdikan Pacalan dibagi menjadi dua yakni desa Pacalan Selatan dan Desa Pacalan Utara.
Yang memegang pemerintah di desa Pacalan Selatan Nyai Raden Ayu Cakra Dirana, dan di desa Pacalan Utara Nyai Raden Ayu Mertawangsa.

Dengan surat keputusan Kanjeng Ratu Ageng itulah desa Pacalan menjadi desa yang merdeka. Hak kewajibannya berbeda dengan desa-desa yang lain. Antara lain ialah bahwa di desa Perdikan yang berkuasa adalah Kyai yang membawahi pamong desa seperti carik, kamituwa dan sebagainya.

Untuk selanjutnya kepala desa tidak dipilih, tetapi turun-temu­run dari Kyai. Demikian juga pamong desa yang lain, Kyai lah yang me­nentukan dan memilihnya. Pada jaman Belanda desa Pacalan Selatan dan Utara tidak mempunyai kewajiban membayar pajak. Peratura-peraturan Balanda tidak berlaku bagi desa Pacalan. Hanya kadang-kadang kepala desa Pacalan juga ikut berkumpul, rapat dan di kecamatan seperti kepala-kepala desa yang lain.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:  
Drs. Leo Indra Ardiana. Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur. Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, (1982-1983), 1984, hlm.30-33

Comments


  • Assalamu’alaikum wr.wb. Salam kenal. Saya tertarik dengan cerita Tanah Perdikan Pacalan ini. Bagaimana cara mendapatkan bukunya Pak Leo Indra? Mohon informasinya. Trim’s. Wassalam

    • Mohon Maaf, kemungkinan buku tersebut sudah tidak cetak dan mungkin langka. Tapi kalau sangat memerlukan fisiknya, dapat datang di kami, karena koleksi tsb merupakan koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, Jl. Menur Pumpungan 32 Surabaya. silakan…

      • Terima kasih atas tawarannya. Kalau mau klarifikasi atau mohon penjelasan atas isi buku tsb. kepada siapa kiranya saya bisa menghubunginya? Atas informasinya saya sampaikan terima kasih.

        • Kalau mengenai penjelasan isi dari buku tsb kami tidak bisa menjelaskan. Kalau hanya datang dan membaca buku secara fisiknya bisa datang langsung ke kami. Kami hanya meng-alihmedia-kan dan meng-info-kan koleksi yang ada pada kami. Sekali lagi sumbernya dari: Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur. Tim penelitinya: Drs. Leo Indra Ardiana, Drs. Hariadi, Radjiati, BA; editor: Drs. H. Bambang Suwondo. Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, (1982-1983), 1984, hlm.30-33.

  • saya mendengar berita kondisi desa pacalan kidul saat ini memprehatinkan sejak ditinggal wafat Kyai Suryo Haryono, saya pernah sowan kebeliau dan menyaksikan terjemah al-quran dalam bentuk tembang jawa karya beliau….bagaimana ini??????

  • pda wktu krja bakti di pemakaman,sya mnemukan nisan yang brtuliskan huruf arab dn brthun 1428. . . . Mnkin kah pda thun itu msyarakat pacalan sudah bragama islam. . . Pdahal stahu sya islam msuk jawa itu pda akhir abad 15. . Dan msyarakat d sini pun kbanyakan msih menganut ajaran hndt majapahit. . Yang brakhir skitar abad 15 jg. . . . Mngkin kah lluhur pacalan sudah beragama islam sejak zaman majapahit. . . . Atau mngkin cma saudagar yg kbtulan meninggal dn dkubur d kwasan desa pacalan?. .
    M0h0n jwabnya

    • Bukan hanya Pacalan,seluruh jawatimur masih dikuasai kerajaan-kerajaan hindu, Mngkin nisan tersebut adalah makam-makam para utusan tilik sandi, penjajagan Syiar ISLAM, pada abad tersebut sudah dimungkinkan untuk itu.

  • 0w gtu. . . Sya kra tilik sandi itu cma d wilayah psisir saja. . . Sperti lam0ngan ,gresik dn surabya. . . . S0alnya desa saya letaknya rmayan d pedalaman. . . Makasih inf0rmasinya

  • Menurut saya, angka tahun itu perlu diteliti secara mendalam apakah memang penulisannya sudah lama atau baru, kemudian apakah jelas angka arabnya atau mungkin bukan huruf arab, bahannya dibuat dari jenis batu apa, apakah ada penunjuk lain yang bisa digunakan sebagai pembanding, apakah ada kaitan dengan sejarah tokoh yg ada disitu, dan seterusnya. Yang jelas perlu diteliti secara seksama untuk menentukan suatu angka atau tulisan dalam nisan agar informasinya tidak menyesatkan….semoga bermanfaat…..!

  • pacalan berhubungan erat dengan kraton yogyakarta, hubungi saja pak imam hidayat, jurukunci makam Pacalan

  • Mohon pencerahan nya, saya cicit dari eyang wiryosumo dari pacalan kidul menurut informasi dulu Merupakan demang di pacalan kidul

Leave a Reply