Madura Pasca Suramadu
A. Latief Wiyata Doktor/Antropolog Budaya Madura Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Trunojoyo, Bangkalan Pada 20 Agustus 2003 lalu…
Pada 20 Agustus 2003 lalu Presiden RI Megawati meresmikan pemancangan tiang pertama pembangunan Suramadu, sebagai pertanda dimulainya proyek jembatan yang akan menghubungkan Surabaya dengan Madura.
Tentu momentum ini menambah optimism semupa pihak (khususnya masyarakat Madura) tentang “impian industrialisasi” yang sudah lebih dari satu dasa warsa dikumandangkan, namun selalu tertunda berbagai kendala. Tulisan ini mencoba meprediksikan bagaimana kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat Madura, atau dampak yang menyertai setelah jembatan itu membentang di Selat Madura.
Pertama saya mencoba menafsirkan kata “Suramadu” yang dipilih sebagai nama jembatan. Nama ini sudah tentu akronim dari kata Surabaya dan Madura. Akronim ini tidak cukup hanya dipahami sebagai perbedaan nama tempat secara geografis. Namun penting memahaminya lebih mendalam tentang maknamakna lain yang ada di balik kata Suramadu.
Dari prespektif ketatabahasaan, kata “Suramadu” jelas mengandung makna relasional antara subyek dan obyek. Sura (baya) sebagai subyek, sedangkan Madu(ra) sebagai objek.
Relasi yang terbentuk itu tentu mengandung makna ketergantungan antara yang satu dengan lainnya. Dalam prespektif teori dependensia, relasi tersebut mau tidak mau merujuk pacla suatu posisi ketergantungan struktural. Artinya, Surabaya sebagai “subyek” disadari atau tidak harus ditempatkan sebagai wilayah pusat (center area) sedangkan Madura pada posisi sebagai wilayah pinggiran (peripheral area). Realitas empirik yang selama ini terjadi, Madura baik sebagai suatu unit kesatuan politik, ekonomi, sosial bahkan kebudayaan sangat tergantung pada (paling tidak terpengaruh oleh) Surabaya.
Meskipun telah ada Undang-undang NO.22/1999 tentang Otonomi Daerah, tapi dalam realitas politik yang berlaku Madura tetap berada dalam “kekuasaan” Surabaya sebagai pusat pemerintahan Jawa Timur. Pun secara ekonomi, ketegantungan Madura terhadap Surabaya tidak dapat dipungkiri. Hampir semua kebutuhan hidup keseharian masih dipasok dari Surabaya. Secara sosial-budaya juga sulit membedakan antara “gaya hidup” orang Madura dengan orang Surabaya. Padahal secara kultural masih banyak penanda identitas etnik orang Madura yang dapat menjadi faktor pembeda dengan etnik lain. Namun semua penanda etnik itu kini sudah sedikit yang menggunakan.
Apa yang dipaparkan tadi menjadi jelas bahwa Madura selama ini selalu berada pada posisi subordinasi, sedangkan Surabaya di posisi superordinasi. Berbagai kajian terhadap pengalaman di berbagai negara, hubungan relasional dalam prespektif dependensia selalu menguntungkan pihak pusat (center area). Sebaliknya wilayah pinggiran (peripheral area) selalu menjadi objek sehingga sulit mengalami “kemajuan”.
Dengan diresmikannya pengerjaan Suramadu, harapan akan terwujudnya suatu “era industrialisasi” di Madura kini muncul lagi. Bukan hanya di Madura, tapi di hampir setiap pertemuan baik ilmiah atau tidak, selalu saja ada orang memperbincangkannya. Bahkan ketika saya selama dua minggu lalu berada Manila dan Tokyo untuk suatu lokakarya, di sela-sela pembicaraan di kampus-kampus Tokyo selalu terselip pertanyaan tentang kelanjutan proyek Suramadu.
Secara garis besar saya dapat menangkap ada sementara yang pesimistik, sedangkan yang lain sangat optimis jembatan tersebut dapat terealisasi.
Tali penghubung
Jembatan Suramadu jika kelak terwujud tentu akan menjadi “tali penghubung” antara Madura dan Surabaya (atau sebaliknya). Tentu saja “jarak gerografis” menjadi kian dekat dibandingkan jalur penyeberangan ferry. Sehingga mobilitas penduduk Madura kian intens, pun mobilitas perekonomian.
Namun penting dipertanyakan, apakah kedekatan jarak geografis tadi memang merupakan kebutuhan mayoritas orang Madura? Kalau kita cermati arus migrasi orang Madura setiap hari di penyeberangan Ujung-Kamal memang hampir tidak pernah berhenti selama 24 jam.
Dengan jembatan Suramadu apakah intensitas migrasi orang Madura akan kian meningkat secara drastis? Jawabannya bisa ya atau tidak. Ya, jika para migran Madura memang membutuhkan jembatan itu sehingga keberadaan jembatan lebih memudahkan mereka ke Jawa.
Namun, apakah semua orang Madura bisa memanfaatkan jembatan itu? Tentu saja tidak. Karena dalam operasinya nanti Jembatan Suramadu hanya boleh digunakan oleh kendaraan roda empat dengan membayar sejumlah uang (tol).
Dalam konteks ini, berarti hanya orang-orang yang mampu secara ekonomi yang dapat memanfaatkan jembatan. Sedangkan kebanyakan orang Madura yang selama ini melakukan migrasi melalui Ujung-Kamal adalah golongan bawah, yang kemungkinan besar tidak akan memanfaatkan jembatan.
Dalam konteks perekonomian apakah keberadaan Jembatan Suramadu bisa serta merta mampu meningkatkan taraf kehidupan orang Madura? Pertanyaan ini harus dipikirkan sejak awal.
Memang, lalu lintas ekonomi yang ke-luar-masuk Madura akan semakin intens. Namun, apakah intensitas ini tidak justru menguatkan ketergantungan Madura terhadap Surabaya (ketergantungan pheriperal area terhadap center area)?
Sebab, dalam realitasnya perekonomian Madura secara umum bertumpu pada kegiatan-kegiatan yang bersifat tradisional, sehingga kemampuan daya saing dalam pasaran (baik tingkat regional, nasional, apalagi internasional masih rendah. Artinya masih banyak persyaratan untuk dapat berkompetisi dengan produk-produk perekonomian daerah lain.
Salah satu kendala yang perlu diperhatikan adalah sumberdaya manusia (SDM) Madura. SDM ini perlu segera dibenahi dan diberdayakan. Mampukah semua pihak berpacu dalam waktu tentang masalah ini, sedangkan pembangunan jembatan sudah I dapat diperhitungkan kapan mulai selesai dan dioperasikan.
Pembenahan dan pemberdayaan SDM Madura memerlukan semangat, ketulusan, keikhlasan, ketekunan, keuletan, dan kesungguhan dari para pengambil kebijakan (politik) serta semua komponen masyarakat di Madura memerlukan waktu panjang.
Kita bisa bayangkan apa yang bakal terjadi jika proyek jembatan yang ditargetkan dalam tempo 3-5 tahun itu tidak dapat “dikejar” percepatannya oleh pembangunan SDM Madura. Maka itu tidaklah berlebihan jika banyak pihak yang beranggapan keberadaan jembatan hanya akan dimanfaatkan para pemilik modal yang secara ekonomi sudah siap beroperasi di Madura.
Jika demikian kapan orapg Madura dapat menikmati “buah” pembangunan jembatan Suramadu? Jawabannya terpulang kepada para pengambil kebijakan dan pihak-pihak yang peduli terhadap Madura, apakah kebijakan yang sedang dan akan ditempuh betul-betul visioner demi kepentingan orang Madura.
Jika tidak, kegelisahan, kecemasan, atau kerisauan klasik akan terus muncul bahwa orang Madura hanya akan menjadi “penonton”.
Secara sosial-budaya, mobilitas penduduk yang intens akan menyebabkan “jarak sosial” antara orang Madura dengan orang “luar” semakin dekat pula.
Bahkan secara kultural pun akan terjadi intesitas pergesekan yang dapat berdampak positif maupun negatif.
Positif dalam arti nilai-nilai kultural baru dapat memperkokoh nilai-nilai tradisional yang ada. Misalnya etos kerja yang menuntut profesionalisme dan kedisiplinan tinggi dapat dengan mudah diserap oleh orang Madura yang selama ini dikenal sebagai pekerja ulet dan semangat tinggi.
Dampak negatif tentu saja juga ada. Misalnya, apresiasi orang Madura terhadap bahasa Madura sebagai lingua franca akibat intensitas itu akan semakin berkurang. Sekarang saja para keluarga muda Madura sudah cenderung menggunakan bahasa Indonesia meski dari segi ketatabahasaan relatif kurang baik.
Dalam jangka panjang -akibat intensitas itu- sangat memungkinkan bahasa Madura akan ditinggalkan. Jika itu terjadi, sungguh mengindikasikan telah terjadi bencana kultural. Orang Madura tidak dapat lagi mengekspresikan pikiran-pikirannya secara baik dan benar sesuai konteks nilai budaya Madura jika mereka harus menggunakan bahasa lain. Sebab, bahasa merupakan perwujudan (teks) dari semua pikiran-pikiran orang dalam suatu kebudayaan tertentu.
Sebagai akhir dari tulisan ini, tentu saja diharapkan hal-hal negatif yang dikemukan di atas cukup digunakan sebagai bahan refleksi, sekaligus sebagai warning bagi semua pihak agar keberadaan Jembatan Suramadu kelak benar-benar bermanfaat bagi orang Madura, bukan sebaliknya (*)
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: BISNIS INDONESIA REGIONAL TIMUR, hlm.15.