Garap “PAKELIRAN” Wayang Jombangan
Dalam analisa penulisan buku ini tidak bermaksud untuk membandingkan ataupun mengevaluasi para dalang tersebut diatas, tetapi hanya ingin menelaah lebih…
Dalam analisa penulisan buku ini tidak bermaksud untuk membandingkan ataupun mengevaluasi para dalang tersebut diatas, tetapi hanya ingin menelaah lebih jauh, mengapa di dalam satu daerah terdapat corak pedalangan yang berbeda-beda, apa yang melatar belakangi hal tersebut dan bagaimana perkembangan wayang Jombangan selanjutnya. Yang jelas masing-masing wilayah mempunyai mazab-mazab yang berbeda-beda, sampai sekarang dipertahankan karena dianggap sebagai konvensi turun-temurun. Walaupun dalam perkembangannya mereka akan menunjukkan sedikit atau banyak perbedaan yang diperoleh dari guru mereka, belum lagi dalam mengembangkan kreativitasnya masing-masing dalang mempunyai prinsip serta cara yang disesuaikan dengan kemampuan individu dan masyarakat pendukungnya. Sehingga yang terjadi pada dalang satu dengan yang lain mempunyai gaya seni pakeliran yang bersifat pribadi atau kelompok.
Gaya pribadi adalah suatu bentuk gaya pertunjukan yang memunculkan ide pribadi si penyaji, tentu saja dengan kapasitas yang dimiliki, sedangkan gaya kelompok adalah suatu gaya pertunjukan yang memunculkan ide kedaerahan, seperti Gaya Jawa Timuran (Cek-Dong), Gaya Surakarta (Kraton), Gaya Yogyakarta (Mataraman) dan Gaya Pesisiran. Gaya juga merupakan suatu terminologi dalam dunia seni yang memberikan keterangan tentang adanya suatu ragam atau corak tertentu seperti gaya Ki Soewito, Ki Suwadi, Ki Sareh, Ki Guno Rejo (almarhum). Ki Asri Budiman (almarhum), Ki Heru dan lain sebagainya (Heru Cahyono, 2004:15). Tetapi pada dasarnya para dalang masih tetap konsisten pada tradisi yang diwarisinya.
Munculnya gaya atau warna pakeliran yang bersifat pribadi disebabkan oleh kekurangan dan kelebihan dalang memahami konsep atau garap pakeliran. Dalam menggarap bentuk pakeliran, seorang dalang dituntut kreatif dalam memahami konsep garap yang disebut sanggit. Sanggit berasal dari kata Jarwa Dhosok “bisa nganggit” yang artinya dapat mengarang atau menggubah, sedangkan arti sanggit adalah segala cara untuk mengkait dan mengkolaborasikan beberapa sarana menjadi satu tujuan (Sarwanto, 1985/1986:19). Disisi yang lain Udreka berpendapat bahwa pada dasarnya setiap dalang bebas menentukan sanggit sendiri-sendiri, sesuai dengan kemampuan kreativitasnya. Ki Timbul Hadi Prayitno tokoh seniman dari Yogyakarta menyatakan bahwa dalang berhak untuk membuat sanggit sendiri, asalkan tidak merubah isi cerita (Udreka, 1994:1).
Beberapa uraian di atas menguatkan posisi dalang sebagai seniman egosentris pada sebuah karya seni pakeliran baik gaya pribadi maupun gaya kelompok/gaya kedaerahan. Jadi terlepas dari persoalan benar atau salah dalang merupakan seniman pencipta/penggubah penyajian wayang kulit dan tetap konsisten terhadap nilai-nilai pakem/tradisi. Garap lakon.
Runutan cerita pakeliran wayang kulit purwa di Jombang mengambil tiga karya sastra popular yaitu Arjuna Sasrabahu, Ramayana dan Mahabarata, hanya saja yang lebih menonjol pakeliran Cek-Dong. Karena secara tutur-tinular pakem lakon masih menjadi perhatian pokok di antara dalang-dalang maupun masyarakat penggemarnya, di sisi lain kecenderungan pengambilan cerita menggunakan cerita/lakon carangan atau carang kadhapur daripada lakon baku (cerita awal hingga akhir peristiwa, penggubahannya sangat sedikit).
Lakon carangan lebih banyak digemari oleh para dalang sebagai sosok yang menganut idealisme, karena cerita semacam ini merupakan pengembangan cerita yang disesuaikan dengan isi maupun prilaku budaya lokal dan tidak mengekor pada cerita baku. Seperti lakon Dewaruci, Bima Suci, lakon Kilat Buwana, Gendring orang-aring, Cekel Endralaya, Bagong Dadi Ratu dan sejenisnya. Jadi para dalang lebih leluasa dalam mengolah apa saja ke dalam sajian pakelirannya.
Berbeda halnya dengan lakon carang kadhapur, cerita seperti ini ada kaitannya dan sangat erat dengan lakon baku, di mana keberadaan transformasi cerita yang satu dengan cerita yang lain saling mewarnai. Namun tidak menutup kemungkinan penambahan atau gubahan urutan peristiwa menyisipkan nilai budaya yang berlaku pada jamannya, walau gubahan tidak terlalu banyak. Seperti lakon Gatotkaca Lahir, Abimanyu Lahir, Angkawijaya Krama, Pandhawa Lahir, Pandhawa Krama dan sejenisnya.
Di lain pihak, dalang dan masyarakat pendukungnya masih mempunyai kepercayaan bahwa lakon-lakon yang dikatakan lakon baku atau lakon jejer merupakan lakon yang mengacu pada tiga epos besar tersebut di atas yang sudah menjadi karya sastra. Lakon baku juga merupakan lakon pokok yang tidak boleh dirubah, karena dalam hal ini merupakan suatu pembelajaran bagaimana menghargai karya orang lain sebagai seniman pencipta karya seni tradisi secara oral. Yang dimaksud dengan lakon pakem atau lakon jejer adalah lakon yang merupakan bagian dari suatu kesatuan cerita, bisa dihubungkan dengan lakon sebelum dan sesudahnya yang maasih berkelanjutan (Suyanto, 2002:111). Seperti Lakon Bratayuda, Anoman Obong, Ruwat Kala, Sri Sadhana dan sejenisnya.
Pada dasarnya sebagian besar seniman dalang Jombang masih mempertahankan lakon yang sudah dikemas oleh dalang-dalang pendahulunya, sehingga bagi dalang yang nyantrik akan menampilkan garap lakon yang sama. Disatu sisi keuntungannya mampuh melestarikan perbendaharaan lakon secara oral, serta mengenalkan lakon-lakon tersebut kepada generasi berikutnya. Di lain pihak kurang menguntungkan, karena sajian lakon terasa statis dan semakin lama akan kehilangan relevansinya terhadap perkembangan budaya masyarakat pendukungnya.
Dengan semakin majunya pendidikan masyarakat desa dan perkembangan teknologi modern, terutama bagi generasi muda baik dari pendidikan formal maupun non formal mereka akan semakin tahu mengenai situasi perkembangan kehidupan dalam era modern baik dalam segi pendidikan, politik maupun sosial budaya. Dengan demikian pertunjukan yang dikemas pada tempo beberapa abad yang telah silam, dengan sendirinya pasti ada beberapa hal yang mengalami perubahan, walaupun pada hakikatnya nilai-nilai dasar yang ada itu harus dipertahankan dan wujud ungkapan seyogyanya diselaraskan dengan situasi jamannya sehingga masih relevan dalam kehidupan masyarakat yang dihadapi seiring berjalannya waktu.
Sebagai konsekwensi seorang dalang yang menjadi figur sentral dalam pagelaran wayang, di manapun dalang dianggap sebagai seorang yang mempunyai kelebihan. Maka dari itu. selama dalang itu masih mampu menunjukkan kelebihannya terhadap masyarakat pendukungnya, niscaya masyarakat akan selalu memperhatikan dan menghargainya. Sebaliknya, jika dalang sudah tidak mampu menunjukan kelebihannya, mungkin masyarakat akan meninggalkannya. Oleh karena itu dalang diwajibkan mampu menafsirkan (nyanggit) suatu cerita, baik lakon baku maupun lakon carangan.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Heru Cahyono, Wayang Jombangan: Penelusuran Awal Wayang Kulit Gaya Jombangan. Jombang, Pemerintah Kabupaten Jombang KANTOR PARBUPORA, 2008. hlm. 17-21.