Sunday, November 3, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Babad Madiyun

Sultan Trenggana mempunyai anak enam orang, yakni Pangeran Mukmin yang dinobatkan menjadi wali oleh Sunan Giri bergelar Sunan Prawata. Putra…

By Pusaka Jawatimuran , in Madiun Madiun [Kota] Sejarah , at 28/07/2012 Tag: , , , ,

Sultan Trenggana mempunyai anak enam orang, yakni Pangeran Mukmin yang dinobatkan menjadi wali oleh Sunan Giri bergelar Sunan Prawata. Putra yang kedua adalah seorang putri yang dipersunting oleh Pangeran Langgar, putra Kyai Gede Sampang di Madura. Putri ketiga per­maisuri Pangeran Hadiri, bupati Kalinyamat. Putri berikutnya diperistri Panembahan Pasarean di Cirebon. Putra keenam, disebut Pangeran Ti­mur, lalu diangkat menjadi Adipati di Madiun dan selanjutnya bergelar Panembahan Mediyun.

Pada waktu itu Madiun masih disebut sebagai Kota Miring. Pa­ngeran Timur yang diangkat sebagai bupati di Kota Miring, apa bila menghadap ke Pajang, diperkenankan duduk bersanding dengan Gusti Sultan Pajang, berbeda dengan bupati yang lain, oleh karena itu cara menghadap Pangeran Timur-Lazim disebut Madi yang ayun.

“Ngayun “ berarti cara menghadap Pangeran Timur lebih maju dari pada bupati yang lain. ” Madya “ berarti kedudukan Pangeran Timur sudah setengah raja. Maka dari itu lama kelamaan Kota Miring disebut sebagai Madiyun. Selanjutnya yang memerintah Madiyun lalu diberi gelar Panem­bahan Senapati Madiyun.

Panembahan Madiyun mempunyai dua putra. Yang sulung bernama A-jeng Retna Dumilah . Seorang wanita yang cantik jelita. Yang muda ber­nama Raden Lontang. Sesudah menginjak dewasa, Raden Ajeng Retna Dumilah semakin nampak kecantikannya, terkenal sampai ke luar Kadi­paten Madiyun.

Jaman telah berubah. Demak mulai suram dan Pajang timbul. Pajang Goncang. Arya Penangsang memberontak, dan berhasil dibunuh oleh Sutawijaya. Pajang semakin suram, dan wahyu kerajaan sudah ber­geser dari Pajang ke Mataram, Sutawijaya yang bergelar Ngabei Loring Pasar, memerintah Mataram. Semua bupati telah takluk kepada Mataram.

Tetapi pada waktu itu, Kabupaten Madiyun tidak takluk kepa­da Mataram, karena masih membela kematian Arya Penangsang. Adipati Jipang masih berkerabat dengan Panembahan Madiyun yang telah bergelar Panembahan Rangga Jumena.

Adipati Pati, Wasis Jayakusuma atau Ki Penjawi, juga telah menjadi bawahan Mataram, yang makin Jama makin tumbuh dengan subur. Atas kehendak Mataram, Adipati Wasis Jayakusuma menyuruh seorang utusan diterima oleh Bupati Rangga Keniten di Maospati. Inti pembica­raan akhirnya tidak ada kesepakatan pembicaraan antara utusan Mata­ram dan Rangga Keniten. Akhirnya terjadilah perang yang sangat ramai antara para utusan dan punggawa di Maospati, sampai-sampai melibat­kan prajurit-prajurit dari Kadipaten Madiun.

Peristiwa inilah yang nanti akan membawa peperangan antara Madiun dengan Mataram. Wasis Jayakusuma Bupati Pati merasa sangat malu karena Madiun tidak mau menghadap ke Mataram. Demikian juga Danang Sutawijaya merasa diremehkan oleh Panembahan Rangga Jume-na di Madiun. Oleh sebab itu Gusti Sultan mengerahkan bala tentaranya untuk memukul Kadipaten Madiun.

Terceriteralah, menyaksikan peperangan antara Madiun dengan Mataram, Sunan Giri berkenan turun ke lapangan, demi menjaga jangan sampai peperangan tersebut berkepanjangan. Sebab jika terjadi demiki­an, siapakah yang akan menjadi korban, tidak lain ialah para rakyat kecil yang tidak berdosa. Kemudian dipertemukanlah Madiun dengan Mata­ram. Sunan Giri lalu membuat teka – teki yang harus dipilih oleh Ma­diun. Teka – teki tersebut berupa sebuah kalimat sebagai berikut, ” Dunia ini dua macam isinya. Yakni wadah ( bentuk ) dan isi. Karena Madiun menurut urutan darah lebih tua. maka diperkenankan memilih terlebih dahulu. Panembahan Madiun ternyata lalu memilih isi, dengan pertim­bangan bahwa isi itu lebih utama dan penting. Karena Madiun sudah me­milih isi. tentu saja Mataram tinggal hanya mendapatkan tempat atau bentuknya.

Sesudah teka-teki selesai, maka peperangan dihentikan. Perda­maian antara Madiun dengan Mataram telah terwujud. Utusan Mataram lalu pulang- kembali ke Mataram, melaporkan hasil perdamaian tersebut.

Pada waktu itu di Kerajaan Mataram, Panembahan Senapati se­dang mengadakan permusyawaratan. Lengkaplah sudah yang menghadap. Demikian juga Ki Juru Martani yang menjadi penasehat di Mataram. Ketika persidangan sedang berlangsung, tiba – tiba datanglah utusan yang mengadakan perdamaian dari Madiun. Utusan segera melaporkan jalan­nya perundingan yang dipimpin oleh Sunan Giri.Mendengar laporan para utusan, Sang Raja sangat murka, “Mengapa harus diadakan perdamaian ? Lebih baik peperangan diteruskan, supaya Madiyun benar – benar menja­di daerah taklukan. “

Menyaksikan murkanya Sang Raja yang sedemikian hebat, Ki Juru Martani berkata, ” Ananda Panembahan junjungan para hamba ke-rajaan, janganlah tergesa – gesa murka. Hendaklah ananda bersikap de­ngan tenang, kepala dingin, dan menalar dengan bening”. Mendengarkan ucapan Sang Bapa penasehat yang sudah penuh kasih. Panembahan bagai­kan mendapatkan air segar dan menyejukkan.

Lalu Ki Juru Martani sege­ra melanjutkan ujarnya, ” Sudah menjadi kodrat Yang Maha Kuasa apa­bila Madiyun memilih isi dan Mataram memilih tempat”. Hal ini tidak berarti bahwa Mataram lalu lebih rendah dari Madiyun. Coba anda gagas baik – baik dengan lebih bening dan tenang. Bukan tidak mungkin bahwa Sunan Giri sudah mengerti akhir dari kisah ini.Madiyun memilih isi, apa­kah artinya, lambang apakah ini? Kalau Madiyun memilih isi berarti bah­wa  Madiyun loba, tamak, sombong, mengagul – agulkan dirinya.

Te­tapi isi saja tanpa wadah adalah tidak bertempat. Isi tersebut lalu tidak ada manfaatnya. Kalau Mataram memilih wadah ini tidak keliru sama sekali. Ini sudah benar. Kalau Mataram memilih isi ini merupakan per­lambang kalau wahyu tetap di Kerajaan Mataram. Oleh sebab itu jangan sampai Mataram bertindak loba, tamak, dan sombong. Harus menunjukkan budi dan sikap yang baik, berbuat baik kepada siapapun, memberi pertolongan kepada siapa pun yang membutuhkannya.”

Mendengarkan saran – saran Sang Bapa penasehat yang sangat bi­jaksana itu, maka tenteramlah hati Sang Panembahan Senapati. Dalam hati beliau mengucap beribu syukur pada Bapa penasehat, apalagi pada Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan petunjuk – petunjuk yang terang.

Ki Juru Martani menyarankan agar Mataram berhati – hati, se­bab pada waktu itu Madiyun mempunyai keris yang sakti, yang amat am­puh, yakni keris Tundung Mediyun. Adapun syarat untuk mengatasinya harus menggunakan daya upaya yang amat rumit, dan amat halus supaya tidak terlalu jelas kelihatan.

Oleh karena itu Mataram lalu mengirimkan Nyai Ria Adisara yakni bibi putri Pembayun, dari Ki Ageng Mangir Wanabaya.Nyai Riya Adisara diutus mempersembahkan bunga setaman, sebagai upaya untuk mencuci kaki Panembahan Madiyun. Hal ini hanya merupakan alat saja, supaya dapat menang melawan Madiun yang telah mempunyai senjata pusaka andalan yang ampuh, Tundung Mediyun. Mengalah terlebih dulu dengan tujuan akhir untuk mendapatkan kemenangan .

Panembahan Senapati setelah mendengar kata – kata Ki Juru Martani tadi, dapat memahami. Akhirnya Nyai Riya Adisara yang sudah termashur kecantikannya itu dipanggil sang Raja. Nyai Riya Adisara lalu disuruh ke Madiyun. Semua persiapan segera dipersiapkan . Di samping daya upaya ini, petugas – petugas sandi segera di kerahkan dan disebar­kan. Petugas – petugas sandi pilihan semua telah siap secara tersembunyi, mengepung Kadipaten Madiyun dalam bentuk tapal kuda. Prajurit -prajurit sandi ini masih ditopang oleh para prajurit lain yang siap – siap di luar kota Kadipaten Madiyun, Nyai Riya Adisara dengan dikawal oleh prajurit yang jumlahnya amat sedikit, menghadap Panembahan Madi­yun. Di sebelah barat sungai para prajurit pengiring dan sang putri terma­ngu mangu. Hatinya kurang enak dan khawatir kalau – kalau ada peristi­wa yang tidak menyenangkan hatinya . Oleh sebab itu daerah tempat sang putri dan para prajurit pengiring termangu – mangu sampai sekarang ini disebut desa Manguharja. Karena di desa itulah para prajurit dan sang putri termangu – mangu.

Sebaliknya , para prajurit Madiyun mendengar berita bahwa Mataram mengirim utusan tanda takluk pada Madiyun, tidak begitu per­caya kalau Mataram akan takluk pada Madiyun. Oleh karena itu dalam hati para prajurit timbul keragu – raguan. Mereka menjenguk dari kejauh­an ( bahasa Jawa : ngongak ) apa benar – benar hal itu akan terjadi. Tem­pat tersebut lalu disebut Pangongakan. Dan seterusnya sampai sekarang desa itu menjadi sebuah daerah yang disebut desa Pangongakan.

Setelah yakin bahwa Mataram benar – benar mengirim utusan seorang putri yang cantik jelita sebagai tanda takluk, maka lalu mereka disambut dengan upacara meriah, dan dihadapkan pada Adipati Rangga Jumena, yang lazim juga disebut sebagai Panembahan Madiyun. Ketika rombongan dari Mataram sampai di Madiyun, mulanya Panembahan Ra­ngga Jumena agak curiga dan tidak percaya akan utusan Mataram terse­but. Tetapi setelah menyaksikan sang cantik jelita Riya Adisara yang membawa segala macam persembahan dan bunga setaman, lalu timbul­lah kepercayaan beliau pada utusan Mataram tersebut. Dengan kata – ka­ta manis dan merdu Raden Ayu Riya Adisara berdatang sembah pada Panembahan Madiyun yang menyatakan bahwa dia utusan dari Mata­ram . Bokor kencana yang berisi kembang setaman untuk mencuci kaki sang Panembahan dipersembahkannya, dan ia pribadillah yang mencuci kaki sang Panembahan. Setelah upacara selesai Raden Ayu Riya Adisara lalu mohon pamit kembali ke Mataram , dan membawa sisa – sisa air pa­da bokor kencana, yakni yang berisi kembang setaman bekas untuk men­cuci kaki sang Panembahan. Air tersebut dikatakan Raden Ayu Riya Adi­sara, akan dipakai untuk mencuci rambut Panembahan Senapati di Mata­ram. Dengan tanpa curiga dan perasaan apapun Panembahan Madiyun melepaskan kepergian utusan Mataram tersebut. Sang Raden Ayu Riya Adisara yang hanya dikawal oleh beberapa prajurit saja, pulang ke Mata­ram.

*

Setelah Riya Adisara meninggalkan Kadipaten Madiyun, praju­rit Mataram yang sudah mengepung kota Madiyun, maju dengan serentak dari segala penjuru, memukul Madiun yang pada saat itu sama sekali ti­dak siap untuk berperang. Serangan yang sangat tiba – tiba itu menyebab­kan Madiun menjadi kacau balau. Prajurit – prajurit terpaksa bertempur tanpa adanya persiapan. Meskipun demikian Madiun masih memberikan perlawanan dengan gigih. Mataram maju bagaikan air bah yang tak dapat dibendung lagi. Akhirnya pertahanan Madiun jebol.

Betapa terkejutnya Panembahan Rangga Jumena, mendengar laporan para prajurit bahwa Mataram dengan tiba – tiba menyerang kota. Beliau sangat kecewa dan malu. Batinnya sangat menderita mengapa Ma­diun dapat kebobolan. Panembahan merasa sangat dikhianati oleh Mata­ram dan mengapa ia terpikat oleh Adisara, wanita yang cantik jelita.

Pada waktu itu juga Panembahan memanggil putrinya Raden Ayu Retna Dumilah. Pusaka keris Tundung Mediyun segera diserahkan pada putrinya dengan pesan, supaya membasmi dan menumpas siapa saja yang berani menembus Kadipaten Madiyun.

Setelah menyerahkan keris pusaka dan memberikan wejangan -wejangan terakhir, Panembahan Madiyun keluar dari dalam Kadipaten melewati pintu belakang. Rupanya sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa, pada saat itu juga Panembahan Rangga Jumena jadi gaib, lenyap tanpa bekas sama sekali.

Terceriteralah Dewi Retna Dumilah yang sudah disertai keris pusaka yang sakti Tundung Mediyun dan pesan bapanda yang demikian penting, lalu mengumpulkan para wanita di Madiun. Mereka dilantik jadi prajurit – prajurit wanita yang akan menjadi benteng terakhir pertahanan Kadipaten Madiyun.

Prajurit Mataram yang dipimpin oleh Penembahan Senapati pribadi segera maju menyerbu ke dalam kadipaten. Menyaksikan adanya laskar wanita yang dipimpin Raden Ayu Retna Dumilah tersebut sang Pa­nembahan Senapati merasa sangat terhina. Tetapi Ki Juru Martani lalu mengingatkan apa yang pernah dikatakan di Mataram sudilah sang Pa­nembahan merayu Dyah Ayu Retna Dumilah. Sang Panembahan Senapa­ti menyetujui usul tersebut, lalu mulailah ia merayu Retna Dumilah. Ter­kena rayuan itu Retna Dumilah tubuhnya lemas tak berdaya, keris Tun­dung Mediyun tanpa disadari terlepas dari tangannya. Secepat kilat sang Panembahan merebut keris pusaka tersebut.

Selanjutnya sang Dyah Ayu Retna Dumilah lalu diboyong ke dan menjadi istri Panembahan Senapati. Sejak itu Madiyun menjadi bagian kerajaan Mataram.

Dari ceritera bahasa Jawa, Daerah Madiun.
 
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:
Cerita Rakyat Jawatimur, DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 

Comments


Leave a Reply