Friday, November 8, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Gaya Jawatimuran Pakeliran Wayang Kulit di Jombang

Selain memiliki pertunjukan wayang kulit Gaya Surakarta, di Jombang masih lestari pakeliran wayang kulit purwa Gaya Jawa Timuran dengan spesifikasi…


Selain memiliki pertunjukan wayang kulit Gaya Surakarta, di Jombang masih lestari pakeliran wayang kulit purwa Gaya Jawa Timuran dengan spesifikasi menunjuk gaya daerah Trowulan. Bukan merupakan hal aneh jika pakeliran Jawa Timuran ala Trowulan (Majapahitan) tetap bertahan dan eksis sampai sekarang, karena dahulu kala Jombang adalah pintu gerbang Kerajaan Majapahit yang notabene dikatakan berbudaya “arek”, serta ada beberapa peninggalan dan nama tempat yang mengekor pada Majapahit.

Secara umum perbedaan pakeliran wayang kulit wayang kulit Gaya Jawa Timuran (Trowulanan) dapat diketahui dari bentuk wayang cenderung lebih kecil daripada wayang Gaya Surakarta. Sedangkan untuk pewarnaan (sunggingan/pulasan) wayang Jawa Timuran menggunakan warna cerah/muda, warna hijau sangat dominan seperti yang terdapat pada busana wayang, yaitu dodot, probo, makutha/jamang/tutup kepala. Urutan sajian pertunjukan semalam suntuk, yaitu Jejer, bodholan. Penggunaan batasan nada atau pathet, adalah pathet sepuluh, pathet wolu, pathet sanga dan pathet serang. Dalam menyajikan iringan pergelaran wayang kulit Gaya Jawa Timuran lebih dominan menggunakan nada-nada tinggi/suara melengking. Sedangkan instrumen yang paling menonjol adalah gambang, gender penerus, peking, saron dan bonang penerus, struktur gending yang digunakan, yaitu krucilan, gadhingan, ayak, gemblak dan Gendhing, Ganda Kusuma sebagai iringan adegan pertama, gamelan yang dipakai adalah gamelan selendro terkadang dalam sajian semalam suntuk didukung dengan pengrawit hanya delapan (8) orang. Secara keseluruhan bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa walaupun ada sedikit perbedaan dengan bahasa Jawa Tengahan, seperti gak (ora), koen (kowe), se/tah (ta), dan perbedaan itu dapat dilihat dari logat bicara menggunakan dialek khas yang disebut dialek Jawa Timuran (Heru Cahyono, 2004:3). Gaya pakeliran semacam ini masih bertahan sampai sekarang, walaupun gaya pribadi/individu nampak dan ditentukan oleh masyarakat pendukungnya serta kreativitas dalang itu sendiri. Seperti; contoh:, Ki Guno Rejo (almarhum), Ki Suwadi, Ki Sareh, Ki Prawito, Ki Mataji dan lain sebagairiya.

Konon pakeliran Gaya Jawa Timuran Ki Guno Rejo (almarhum) salah satu dalang tenar, banyak tanggapan dan cukup digandrungi para penggemar di masanya, di era 60 sampai 70-an serta disebut-sebut Gaya Jombangan oleh sebagian dalang di wilayah Jombang. Karena ada beberapa aspek dari unsur pakeliran yang diolahnya berbeda dengan Gaya Trowulan, seperti garap sabet (perang dan ajar kayon pada adegan setelah kondur kedhaton) dan garap iringan gendhing jejer I (Ganda Kusuma). Tetapi sebagian besar dalang bercerita bahwa pakeliran yang disajikan oleh Ki Guno Rejo tidak ada perbedaan penggarapan yang menonjol, kecuali Ajar Kayon dan masih lurus mengacu Gaya Trowulan. Termasuk Ki Wasis Asmara putra beliau yang menjadi dalang juga menuturkan bahwa “gayane bapak iku padha ae ambek mbah Pit Asmoro (dalang Gaya Trowufan yang paling terkenal)”. Jadi gaya pekeliran ala Ki Guno Rejo masih terdapat tanda tanya dan disangsikan benar atau tidaknya memiliki Gaya Jombangan, karena ada dua cerita yang berbeda di masa kejayaannya.

Berbeda halnya dengan Ki Suwadi asal Desa Grobogan. Kecamatan Mojowarno, lahir dari keturunan dalang Ki Sutomo dan berguru kepada Ki Pit Asmoro (satu-satunya dalang yang mendapat penghargaan dari RRI Nasional diberikan oleh Presiden RI ke-2 bersama dengan dalang tersohor Jawa Tengah asal Semarang yaitu Ki Narto Sabdo). Beliau nyantrik sekitar tahun 1953-1955. apapun yang didapat semenjak berguru diterapkan pada sajian pakelirannya setiap manggung. Karena ketekunannya mendalami pakeliran wayang kulit Gaya Trowulan dan selalu hidup sederhana serta sering prihatin, tirakat, akhirnya menemui masa keemasan sebagai dalang yang laku ditanggap berbagai macam hajatan pada kisaran tahun 1973-1980an. Corak pakeliran yang diusung Ki Suwadi berpedoman pada gaya tradisi Trowulan (Cek-Dong), hanya sesekali dalam adegan gara-gara menyelipkan lagu dolanan karya Ki Narto Sabdo yang berbau etnis Jawa Tengah. Ki Suwadi mempunyai prestasi di tingkat Kabupaten Jombang dan Propinsi Jawa Timur pada kisaran tahun 1990-an sebagai salah satu dalang terbaik. Selain daripada itu beliau sering diundang sebagai juri festival pedalangan tingkat propinsi maupun kabupaten dengan gaya pakeliran Jawa Timuran. Sampai sekarangpun beliau menjadi panutan/sesepuh dalang Gaya Jawa Timuran (Trowulanan) di Kabupaten Jombang, Mojokerto, Surabaya dan Sidoarjo, terkadang masih menerima undangan untuk pentas pada acara hajatan dengan pendukung ala kadarnya namun tetap berpendirian “sukma langgeng iku dalang, wayang minangka ragane kinarya tepa palupi nuntun marang gesanging manungsa marang tumindak bener, nyeleh barang kang salah”.

Sajian wayang kulit purwa Gaya Jawa Timuran (Trowulanan) Ki Sareh pada prinsipnya masih menganut tradisi yang sudah ada didapat dari gurunya sebagai murid pertama Ki Suwdi pada tahun 1973. Penggunaan struktur pakeliran dilakukan tanpa mengurangi esensi pertunjukan yang disajikan, seperti penggunaan gending, iringan, wayang, cerita, sabet, janturan, gunem dan pocapan, walaupun setiap saat sajian dapat berubah dalam skala kecil dan tetap tidak mengurangi unsur-unsur pakeliran yang telah disebutkan. Dari Tahun 1974 Ki Sareh mulai mendalang dengan cara ngamen (pentas yang berpindah-pindah tetapi bukan ditanggap), pada Tahun 1978 karir beliau di dunia pedalangan benar-benar sudah dimulai dan ditanggap atau dibutuhkan orang lain diundang untuk mendalang dengan honor Rp. 90.000,00 sampai Rp. 150.000,00. Perlu diketahui bahwa dalam struktur pakeliran Gaya Jawatimuran (Cek-Dong) tidak pernah ada adegan Limbuk-Cangik seperti yang telah lazim digunakan Gaya Surakarta, yang ada hanya adegan Gara-gara.

Tokoh wayang paten pada adegan Gara-gara adalah Semar, Bagong dan Besut, di mana pada adegan ini diawali dari gonjang-ganjing di Kayangan Suralaya (tempat tinggal Batara Guru) terjadi karena di bumi ada seseorang sedang bertapa atau meratapi nasib dan mengeluh kepada Dewanya meminta sesuatu hal yang diinginkan. Karena belum dianugerahi oleh Raja kayangan, sehingga seseorang tersebut mengalami kesedihan yang begitu mendalam. Dari peristiwa ini Ketiga tokoh yang disebut di dunia pedalangan sebagai Ponakawan/batur, sehingga Ponakawan ini menasehati juragan/bendara ketika melenceng dari kebenaran dan tanggung jawab serta menghibur tuannya dikala duka lara.

Pengertian tersebut di atas membuat interpretasi berbeda-beda setiap dalang bahkan segi kesakralan kadang esensinya terasa hilang atau dihilangkan? Karena ditekankan pada aspek hiburannya saja. Hal ini dapat dilihat dari pertunjukan para dalang di Jombang pada umumnya mendahulukan tiga tokoh ponakawan ini keluar terlebih dahulu menggunakan tembang atau gending klasik diteruskan lagu-lagu campursari juga lagu dangdut. Demikian pula yang dilakukan oleh Ki Sareh di tahun 1990-an sampai sekarang selalu memberikan warna pakeliran massa dalam adegan Gara-gara dan terkadang mengambil adegan Limbuk-Cangik pada Gaya Surakarta. Bagi masyarakat pendukungnya beliau lebih atau selalu mengawali dan memunculkan model pergelaran semacam ini sebelum dalang lainnya menyajikan serta dianggap lebih inovatif penggarapan gendingnya apalagi didukung pengrawit yang handal dengan profesionalisme penuh kedisiplinan. Lebih serunya lagi pada sajian Gara-gara, pesindhennya dalam menyajikan lagu dengan berdiri dan diiringi musik elektrik dipadukan dengan gamelan murni. Di tahun itu pula Ki Sareh menemui masa keemasannya sampai pada tahun 2000, terbukti dengan jadwal manggung beliau setiap tahunnya sekitar 170-200 tanggapan, wilayah pementasan beliau adalah Kabupaten Jombang, Pare Kabupaten Kediri, Mojokerto, Lamongan, Sidoarjo, Surabaya, Pasuruan dan Kota Batu. Baru setelah tahun 2000 sampai saat ini jadual pentas beliau berkurang menjadi 35-50 setiap tahunnya. Beliau juga menjadi parameter berkembangnya kesenian wayang kulit Gaya Jawa Timuran (Trowulanan).

Pada mulanya apa yang dilakukan oleh Ki Sareh berbuah kontoversi bagi penganut pakeliran tradisi Gaya Trowulan termasuk gurunya sendiri, namun beliau tetap pada pendiriannya, yang terpenting esensi dan unsur-unsur terkandung pada pertunjukan wayang tidak ditinggal. Karena beliau tidak ingin ditinggal penggemarnya apalagi generasi muda jaman sekarang banyak yang tidak mengetahui wayang itu seperti apa dan berpangku pada prinsip dasar orang jawa “Rahayuning Bangsa Teguh Mring Budaya”. Jadi apaun akan dilakukan demi melestarikan dan mengembangkan seni budaya di bumi nuswantara. Lama kelamaan kontroversi-pun hilang begitu saja, justru pada tahun sekitar 1998 banyak para dalang muda maupun setengah baya yang memiliki Gaya Jawatimuran (Trowulan) rata-rata berkiblat dan diilhami sajian pakeliran Ki Sareh. Seperti Ki Pitoyo asal Mojokerto, Ki Seno Aji, Ki David, Ki Warsono, termasuk Ki Heru Cahyono dan lain sebagainya.

Pria muda kelahiran Jombang, 13 Maret 1978 ini bernama Heru Cahyono telah menyelesaikan studi S-l di perguruan tinggi negeri seni yaitu Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 2004 Fakultas Seni Pertunjukan Jurusan Pedalangan. Sejak lulus dari pendidikan jenjang Strata I putra Ki Sareh dari Dusun Jeruk Kuwik

Kecamatan Bareng Kabupaten Jombang mengikuti jejak bapaknya menjadi seorang dalang di Jombang. Ketika pulang ke tanah kelahirannya hanya satu tujuan yang di emban dari almamater perguruan tinggi dan sebagai salah satu orang yang mencintai kesenian dibidang apapun terutama seni pedalangan, supaya tetap melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional sebagai salah satu wujud karya seni budaya yang memiliki kepribadian/ciri khas serta khasanah budaya bangsa. Berbekal ilmu yang didapat dari pendidikannya dan berguru kepada bapaknya sendiri, maka dimulai dari berteman dengan para seniman pedalangan, tari, ludruk, perupa, karawitan, musik, teater dan beberapa pejabat birokrat dilingkup Pemkab Jombang, Ki Heru Cahyono, S.Sn menimba ilmu baik secara teori maupun praktek untuk melengkapi sajian pakeliran Gaya Cek-Dong dan Gaya Surakarta, yang telah beberapa kali digelarkan diacara pernikahan, khitan, HUT RI, ruwatan sura, dan terkadang diundang untuk mengisi acara di Pemda Jombang. Pakeliran Gaya Surakarta yang dimilikinya didapat dari pendidikannya, Ki Manteb Sudarsono dari Karanganyar, Ki Junaidi dari Boyolali, Ki Miyanto asal Klaten, Ki Ngabei Suyatno dari PDMN Surakarta, Ki Agung Nugroho asal Sragen, Ki Yanto Sabdo Carito asal Blitar, Ki Aris Wahyudi asal Tulungagung dan Ki Ganda asal Banjarnegara. Sedangkan pakeliran Gaya Cek-Dong berguru kepada orang tuanya yaitu Ki Sareh.

Sekitar bulan Juli tahun 2006 Ki Heru mempunyai ide/gagasan memunculkan gaya pakelirannya sendiri dengan harapan suatu saat gaya yang disajikannya dapat mewarnai panggung pedalangan di Jombang sukur-sukur dapat digolongkan atau disebut gaya Jombangan. Ide dan gagasannya berawal dari rasa iri kepada beberapa seniman Jombang dan seniman dalang Gaya Jawatimuran terdahulu yang muncul diakui keberadaannya pada masyarakat luwas. Seperti Pak Bolet Amenan dengan Tari Boletnya, Ki Pit Asmoro dengan pakeliran Gaya Trowulan. Ki Suleman dengan pakeliran Gaya Porongan dan lain sebagainya. Gagasanya bermula dari proses diadakannya Festival Pedalangan Se Jawa Timur oleh Dinas P dan K Propinsi Jawa Timur tanggal 20 Desember 2006. Berkat kesabaran, keteguhan, kegigihan serta semangat yang diberikan oleh seniman-seniman senior termasuk dukungan moral dan material dari Drs. H. Suyanto, M.MA (Bupati Jombang) juga Kantor PARBUPORA Kabupaten Jombang, maka keberuntungan, barokah dan kerja keras atau apapun namanya alhamdulillah Ki Heru berhasil mendapat penghargaan menjadi salah satu dalang penyaji terbaik tingkat Propinsi, yang menampilkan gara pakeliran gayanya sendiri.

Perlu kiranya diketahui bahwa cita-cita Ki Heru sangat manusiawi, wajar atau bahkan sesuatu hal yang muluk-muluk/berlebihan sebagai seniman dalang dari desa memunculkan gaya pribadi dengan destinasi diakui atau dinyatakan publik sebagai Gaya Jombangan. Namun terlepas dari sebutan pakeliran Gaya Jombangan, gagasan ini muncul karena rasa iri tersebut di atas dan pengamatannya terhadap dua gaya pakeliran serta kebudayaan beraneka ragam/etnis termasuk ;enis kesenian Besutan  yang ada dan menjadi salah satu ikon di Jombang. Seperti yang terdapat pada tarian Remo Bolet.n ada beberapa gerakan dasar penggabungan dari kesenian Jaranan, Reog, pencak dan Ngremo itu sendiri, maka Ki Heru mencetuskan ide pakeliran Gaya Surakarta dan pakeliran Gaya Jawa Cek-Dong digabung menjadi satu pertunjukan utuh. Ki Heru Menuturkan “kula niki wong desa, napa sing saged kula banggakaken?pinter ya gak goblok mpun mesthi, perkara iki engko diakoni matumuwun dene mboten, sing penting kula berkarya”.

Berkembangnya model sajian pakeliran wayang Gaya Cek-Dong disebabkan karena pedalangan adalah termasuk jenis sastra lisan, seperti halnya karya-karya sastra lain, yang selalu menghembuskan semangat jaman dan nafas lingkungan tempat pedalangan itu tumbuh dan berkembang. Siratan semangat jaman dan nafas lingkungan berarti tanggapan terhadap apa yang berlaku secara umum dalam jaman dan lingkungan tertentu (Andre Hardjana, 1981:11). Sajian pakeliran massa Gaya Cek-Dong tidak hanya terjadi di Jombang saja, melainkan juga di daerah lain yang disajikan dalang muda maupun tua, baik yang sudah laku maupun belum laku. Hal ini menandakan adanya pengaruh timbal balik antara dalang sebagai penyaji atau pencipta karya seni dengan masyarakat sebagai penikmat maupun penanggap. Oleh karena manusia bertindak, berinteraksai dan menciptakan realitas sosial, yang pada waktu bersamaan sampai pada derajat tertentu berpengaruh terhadap masyarakat. Sebaliknya individu sesungguhnya bertindak atas nama atau dipengaruhi masyarakat (George Ritzer, 1985:171). Jadi jelas kiranya bahwa berkembangnya model sajian pakeliran seperti tersebut di atas disebabkan adanya penerimaan masyarakat pendukungnya terhadap karya seni itu sendiri, di mana sebuah karya seni sebuah sarana menyampaikan misi dan visi dalam hidup setiap insan, supaya menjadi manusia yang dapat menghargai orang lain serta memiliki kepribadian budaya dan berbangsa.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:Heru Cahyono,  Wayang Jombangan: Penelusuran Awal Wayang Kulit Gaya Jombangan. Jombang, Pemerintah Kabupaten Jombang KANTOR PARBUPORA, 2008. hlm. 11-16.

Comments


  • Untuk sekedar bernostalgia, saya sangat mengaharapkan sekedar adanya sharing rekaman video atau audio mp3 pagelaran Wayang Kulit Jawa Timur-an, dari siapa saja yang mempunyai koleksinya. Trimakasih.
    Wasalam.
    Budi Utomo

  • Saya sependapat karo Bpk budi Utomo, saya sangat dan sangat berharap banyak untuk bisa mengkoleksi mp3 atau video wayang kulit jawatimuran khususnya gaya MOJOKERTO, MALANG, SUROBOYO. mohon kepedulian bapak penulis PUSOKO JAWATIMURAN. Matur sembah nuwun
    (Ken Sentot—pencinta wayang kulit jawatimuran)

Leave a Reply