Candi Panataran
Candi Panataran terletak di sebelah utara Blitar adalah satu-satunya komplek percandian terluas di kawasan Jawa Timur, sebagai suaka budaya yang…
Candi Panataran terletak di sebelah utara Blitar adalah satu-satunya komplek percandian terluas di kawasan Jawa Timur, sebagai suaka budaya yang dilindungi undang-undang, candi Panataran tergolong dalam monumen mati (dead monument) artinya tidak ada kaitannya lagi dengan agama atau kepercayaan yang hidup dewasa ini.
Bangunan percandian tidak lagi berfungsi sebagaimana sewaktu dibangun semula. Kontak yang terjadi antara pengunjung dan kekunaan adalah dalam rangka penikmatan seni dan budaya serta ilmu pengetahuan. Candi tidak lagi sebagai tempat untuk ibadah dan juga bukan tempat samadi atau meditasi. Pemugaran-pemugaran candi adalah dalam rangka, menyelamatkan bangunan dari kerusakan yang lebih fatal bukan untuk menghidupkan kembali tradisi lama.
Apabila karena sesuatu hal sebuah candi atau monumen runtuh berarti kita telah kehilangan bukti sejarah yang autentik, kehilangan tersebut tidak akan dapat diganti oleh yang lain untuk selama-lamanya. Kini 500 tahun lebih telah berlalu, komplek percandian Panataran masih tegak berdiri di tempatnya semula dengan penuh keanggunan dan kemegahan siap menanti kunjungan Anda setiap saat.
Candi Panataran hampir sepanjang hari tidak pernah sepi dari pengunjung. Menurut catatan jumlah pengunjung umum rata-rata dalam satu bulan sekitar 20.000 sampai 25.000 orang suatu jumlah yang tidak dapat dikatakan kecil. Wisatawan-wisatawan asing yang datang di Jawa Timur dalam kunjungannya ke Blitar tidak lupa menyempatkan diri untuk berkunjung ke Candi Panataran. Kekunaan ini paling banyak ditulis orang, dibicarakan para ahli purbakala, menjadi obyek pemotretan, sumber inspirasi bagi para seniman.
LOKASI
Candi Panataran terdaftar dalam laporan Dinas Purbakala tahun 1914-1915 nomor 2045 dan catatan Verbeek nomor 563. Bangunan kekunaan terdiri atas beberapa gugusan sehingga lebih tepat kalau disebut komplek percandian. Lokasi bangunan terletak di lereng barat-daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas permukaan air laut, di suatu ·desa yang juga bernama Panataran, Kecamatan Nglegok, Blitar. Untuk sampai di lokasi percandian dapat ditempuh dari pusat kota Blitar ke arah utara yaitu ke jurusan Makam Proklamator Bung Karno. Jarak dari kota sampai lokasi diperkirakan 12 km, jalan mulus beraspal dan dapat ditempuh dengan berbagai jenis kendaraan. Apabila ditempuh dari kota Blitar, setelah perjalanan mencapai 10 km, sampailah kita di pasar Nglegok, kemudian diteruskan sampai pasar Desa Panataran. Di sini jalan bercabang dua, yang belok ke kanan menuju ke Desa Modangan sedangkan yang belok ke kiri yakni jalan yang menuju ke barat adalah yang langsung menuju ke percandian. Dari pertigaan pasar Panataran sampai ke lokasi hanya tinggal 300 meteran. Bagi pengunjung yang datang dari Malang tidak perlu sampai masuk kota sebab dapat ditempuh dengan perjalanan potong kompas lewat pertigaan Desa Garum belok kanan sejauh lebih kurang 5 km sudah sampai di lokasi. Hanya fasilitas jalannya kurang cukup lebar.
RIWAYAT PENEMUAN
Candi Panataran ditemukan pada tahun 1815 tetapi sampai tahuri 1850 belum banyak dikenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826) letnan gubernur jendral pemerintah kolonial Inggris yang berkuasa di negara kita pada waktu itu. Raffles bersama-sama dengan Dr. Horsfield seorang ahli llmu Alam mengadakan kunjungan ke Candi Panataran, hasil kunjungannya dibukukan dalam bukunya yang cukup terkenal “History of Java” yang terbit dalam dua jilid. Jejak Raffles ini dikemudian hari diikuti oleh para peneliti lainnya: J. Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1844), Jonathan Rigg (1848) dan N.W. Hoepermans yang pada tahun 1866 mengadakan inventarisasi di komplek percandian Penatarah. Pada tahun 1867 Andre de la Porte bersama-sama dengan J. Knebel seorang asisten residen mengadakan penyelidikan atas Candi Panataran dan hasil penyelidikannya dibukukan dalam bukunya yang terbit tahun 1900 yang berjudul “De ruines van Panataran”.
Dengan berdirinya badan resmi kepurbakalaan yang pada waktu itu bernama Oudheidkundige Dienst (biasa disingkat OD) pada tanggal 14-6-1913 maka penanganan atas Candi Panataran menjadi lebih intensif. Pada saat ini bersama-sama dengan peninggalan-peninggalan kuna yang lain yang berada di Jawa Timur, pemeliharaan, perlindungan, pemugaran dan sebagainya atas candi Panataran berada di tangan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang berkantor pusat di Trowulan, Mojokerto
SUSUNAN UMUM KOMPLEK PERCANDIAN
Dalam garis besarnya susunan umum komplek percandian Panataran dapat diuraikan sebagai di bawah ini. Menurut catatan bangunan kekunaan menempati areal tanah seluas 12.946 m² berjajar dari barat-laut ke timur kemudian berlanjut ke bagian tenggara. Seluruh halaman komplek percandian kecuali halaman yang berada di bagian tenggara dibagi-bagi (disekat) oleh dua jalur dinding yang melintang dari utara ke selatan sehingga membagi halaman komplek percandian menjadi tiga bagian yang untuk mudahnya berturut-turut akan disebut sebagai: halaman A untuk halaman I, halaman B untuk halaman II dan halaman C untuk halaman III. Pembagian halaman komplek percandian menjadi tiga bagian adalah berakar pada kepercayaan lama nenek moyang kita.
Sebagaimana dapat diamati dalam peta situasi, halaman B masih dibagi lagi oleh dinding yang membujur arah timur-barat sehingga membagi halaman B menjadi dua bagian. Apakah halaman B ini dahulu tertutup oleh tembok keliling belum diketahui dengan pasti sebab kini yang tertinggal hanya fondasi-fondasinya saja. Begitu juga tembok keliling komplek percandian sudah sejak lama runtuh yang nampak sekarang adalah pagar tanaman hidup yang berfungsi sebagai batas pagar keliling kekunaan. Tembok keliling dan dinding dinding penyekat terbuat dari bahan bata merah sehingga karena perjalanan waktu yang cukup lama menyebabkan keruntuhannya.
Susunan komplek percandian Panataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan yang lainnya berhadap hadapan terus ke belakang yang sepintas kelihatannya agak membingungkan. Susunan bangunan mirip dengan susunan pura-pura di Pulau Bali. Dalam susunan seperti ini bagian halaman yang terletak paling belakang adalah yang paling suci karena di sini terdapat bangunan pusatnya atau bangunan induknya. Juga di Bali tempat bagi dewa-dewa berada di bagian candi yang paling belakang yakni bagian yang paling dekat dengan gunung. Di Jawa Timur perwujudan dalam bentuk bangunan berupa bangunan candi yang berteras-teras dengan susunan makin ke atas makin kecil yang disebut punden berundak. Pintu masuk ke halaman komplek percan dian yang sementara ini juga berfungsi sebagai pintu keluar terletak di bagian barat. Dengan menuruni tangga masuk yang berupa undak-undakan sampailah kita di ruang tunggu tempat pengunjung mendaftarkan diri sebelum masuk halaman komplek percandian. Di sini terdapat dua buah arca penjaga pintu (dwaraphala) yang dikalangan masyarakat BIitar terkenal dengan sebutan “Mbah Bodo“. Yang menarik dari kedua arca penjaga ini bukan kaiena ukurannya yang besar dan wajahnya yang menakutkan (harmonis) tetapi pahatan angka tahun yang terdapat pada landasan arcanya (lapik arca). Angka tahun tersebut tertulis dalam huruf Jawa Kuno: tahun 1242 Baka atau kalau dijadikan Masehi (ditambah 78 tahun) menjadi tahun 1320 Masehi.
Berdasarkan pahatan angka tahun yang terdapat pada kedua lapik arca penjaga tersebut para sarjana berpendapat bahwa bangunan suci Palah (nama lain untuk Candi Panataran) diresmikan menjadi kuil negara (state-temple) baru pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328 AD.
Di sebelah timur kedua area penjaga di tempat yang tanahnya agak tinggi terdapat sisa-sisa pintu gerbang (gb. a) dari bahan bata merah. Pintu gerbang tersebut masih disebut-sebutkan Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke Candi panataran pada tahun 1848. Dengan melalui bekas pintu gerbang ini sampailah kita di bagian terdepan halaman A. Di sini masih dapat disaksikan sekitar 6 buah bekas bangunan, 2 buah di antaranya tidak dapat dikenali lagi bagaimana bentuknya semula. Kedua bekas bangunan yang hanya tinggal fondasinya saja itu terbuat dari bahan bata merah. Melihat banyaknya umpak-umpak batu yang tersisa di sini dapat diduga bahwa dahulu terdapat bangunan-bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dapat kita jumpai di Bali. Berapa banyak bangunan yang menggunakan tiang-tiang kayu belum diketahui secara pasti.
Bangunan-bangunan penting yang terletakdi halaman A adalah: sebuah bangunan yang berbentuk persegi panjang yang disebut dengan nama bale agung (Gb.l), kemudian bangunan bekas tempat pendeta yang hanya tinggal tatanan umpak-umpak saja, sebuah bangunan persegi empat dalam ukuran yang lebih kecil dari bangunan bale agung yang disebut dengan nama pendopo teras atau batur pendopo dan bangunan yang berupa eandi kecil berangka tahun yang disebut Candi Angka tahun. Bangunan-bangunan tersebut terbuat seluruhnya dari bahan batu andesit.
Memasuki halaman B juga melewati sisa-sisa bekas pintu gerbang yang di bagian depannya dijaga oleh dua buah arca dwaraphala dalam ukuran yang lebih kecil. Kedua arca dwaraphala ini pada lapik arcanya juga terpahat angka tahun, tertulis: tahun 1214 Saka atau 1319 Masehi. Peristiwa apa yang dikaitkan dengan angka tahun ini belum diketahui. Di halaman B masih dapat disaksikan sekitar 7 buah bekas bangunan, ada bangunan yang terbuat dari bahan bata merah dan ada yang dibuat dari bahan batu andesit.
Dari ketujuh buah bekas bangunan tersebut enam buah di antaranya sudah tidak dapat dikenali lagi bentuknya. Satu-satunya bangunan yang eukup terkenal adalah Candi Naga, disebut demikian karena sekeliling tubuh bangunan dililit ular atau naga. Bangunan Candi Naga seluruhnya terbuat dari batu andesit. Halaman terakhir adalah halaman C, di sini juga terdapat bekas pintu gerbang yang di bagian dalamnya dijaga oleh dua buah arca dwaraphala. Ada sekitar 9 buah bekas bangunan, 2 buah yang sudah dapat dikenali adalah bangunan candi induk dan susunan-percobaan sebagian dari tubuh bangunan candi induk.
Bangun-bangunan yang lain sementara ini belum terungkapkan. Di sebelah selatan bangunan candi masih berdiri tegak sebuah batu prasasti atau batu bertulis. Melihat besarnya ukuran batu prasasti ini para ahli menduga batu tersebut masih berada di tempat aslinya. Prasasti menggunakan huruf Jawa Kuno beltahun 1119 Saka atau 1197 Masehi dikeluarkan oleh Raja Srengga dari kerajaan Kediri. Karena isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Patah maka para sarjana berpendapat bahwa yang dimaksud Palah tentunya tidak lain adalah Panataran.
Andaikata dapat dibenarkan bahwa Palah adalah Candi Panataran sekarang maka usia pembangunan komplek pereandian Panataran memakan waktu sekurang-kurangnya 250 tahun, dibangun dari tahun 1197 pada jaman kerajaan Kediri sampai tahun 1454 pada jaman kerajaan Majapahit. Hampir semua bangunan yang dapat kita saksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari zaman Kediri) telah lama runtuh.
Masih ada dua buah bangunan lain yang letaknya di luar komplek tentunya masih ada hubungannya dengan komplek pereandian Panataran secara keseluruhan. Bangunan tersebut berupa sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka atau tahun 1415 yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolom lagi (Petirtaan) dalam ukuran yang agak besar terletak kira-kira 200 meter di arah timur-laut komplek percandian.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Memperkenalkan Komplek Percandian Penataran di Blitar. Mojokerto: KPN PURBAKALA MOJOKERTO, 1995, hlm. 1