Majapahit, Persatuan dan Kesatuan
MAJAPAHIT: PERSATUAN DAN KESATUAN Oleh: Danang Wahyu Utomo, S.S. Majapahit sebagai salah satu kerajaan besar di Nusantara mencapai kebesarannya pada…
MAJAPAHIT: PERSATUAN DAN KESATUAN
Oleh: Danang Wahyu Utomo, S.S.
Majapahit sebagai salah satu kerajaan besar di Nusantara mencapai kebesarannya pada abad XIV Masehi. Bukti-bukti kejayaan Majapahit terutama berdasarkan keterangan-keterangan dalam Nagarakrtagama yang ditulis oleh Prapanca seorang pujangga yang hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan diselesaikan pada tahun 1365 M. Dalam Negarakertagama menyebutkan dan menunjukkan bahwa wilayah yang berada di bawah pengaruh Majapahit meliputi wilayah lebih luas dari pada kepulauan Nusantara dewasa ini. Kebesaran Majapahit tersebut tidak digambarkan berdasarkan luasnya teritorium ataupun luasnya wilayah pengaruhnya, akan tetapi lebih dihubungkan dengan orde sosial yang dapat diciptakan, sehingga lebih mampu mewujudkan masyarakat tata tentrem kerto raharjo seperti yang senantiasa diidealisasikan dalam pewayangan dengan milenarisme dalam tradisi peradaban kejawen.
Tidak dapat disangkal lagi, bahwa abad 14 M adalah jaman berkembangannya kerajaan Majapahit, yaitu mencapai puncak kemegahannya pada jaman pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389 M). Kemegahan tersebut tidak lain didukung oleh sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang dapat diandalkan dalam menghadapi segala bidang kehidupan yang sangat dinamis. Sumberdaya manusia terlihat dari tokoh-tokohnya yang mampu menyatukan Nusantara seperti Hayam Wuruk sebagai raja dan Gajah Mada sebagai patihnya yang sangat didukung segenap masyarakat dibawahnya, para pujangga yang banyak menghasilkan karya sastra bermutu tinggi, dan para arsiteknya yang telah menciptakan berbagai bangunan yang megah dan monumental. Sedangkan sumberdaya alam terlihat dari letaknya yang berada di ujung kipas alluvial merupakan daerah yang subur dan sangat sesuai untuk lahan pertanian. Dengan kondisi alam yang subur tersebut memacu untuk meningkatkan hasil pertanian. Meningkatnya hasil pertanian tersebut pada akhirnya akan mendorong aktivitas perdagangan menjadi lebih meningkat yaitu dengan terbentuknya jaringan perdagangan inter-insuler dan internasional, dimana hasil pertanian ditukar dengan berbagai keperluan lain seperti keramik, rempah-rempah dan sebagainya. Dengan demikian perdagangan kala itu sudah sangat ramai dan berkembang sangat pesat. Sehingga kondisi tersebut menjadikan daya tarik tersendiri bagi pendatang dari daerah lain untuk bermukim di kotaraja Majapahit. Banyak orang asing yang menetap di Majapahit seperti dari Cina, Melayu, India, maupun Persia, bahkan beberapa pengelana asing dari Eropa juga menyempatkan diri untuk singgah di Majapahit dalam perjalanannya. Dengan semakin banyaknya pendatang yang berinteraksi dengan penduduk pribumi Majapahit sudah barang tentu memberikan pengaruh yang tidak sedikit, khususnya dalam bidang agama, seni dan budaya. Dengan demikian dapat dikatakan pada masa itu dinamika masyarakatnya sangat intens dan tinggi. Hal ini meninggalkan bukti-bukti arkeologis yang cukup banyak di Trowulan sebagai bekas kota kerajaan Majapahit.
Dinasti Majapahit berkembang melalui suatu fase pemungutan upeti dari negeri-negeri taklukan atau negeri-negeri yang lebih lemah, dan mencapai puncaknya pada waktu mempunyai dominasi politik atas berbagai daerah di seluruh Nusantara, tetapi tanpa peleburan teritorialnya. Dengan bertambah luas dan majunya perhubungan antar daerah, system sosio-kultural di dalam wilayah politik Majapahit berintegrasi ke dalam secara lebih kuat dan lebih jelas, terpisah dari sosiokultural yang lain secara territorial. Dalam hal ini kita berhadapan dengan apa yang disebut dengan integrasi tingkat negara. Sebelum mencapai tingkatan tersebut, yang terdapat hanya komunitas-komunitas kecil dengan specialisasi yang terbatas, sedang hubungan ekonomi, social dan religius antar komunitas tidak begitu banyak. Ini berarti pengintegrasian dibentak melalui kerjasama dalam soal-soal sosio-kultural di bawah pengawasan suatu kelas teokratis. Hasilnya ialah produktivitas bertambah, jumlah penduduk meningkat, bangunan-bangunan umum menjadi lebih besar, spesialisasi lebih banyak, kekuasaan pemerintahan pusat semakin kuat dan pengawasan teritorial meluas. Dalam tatanan tingkat integrasi yang hasilnya sangat luar biasa tersebut menjadikan Majapahit sebuah negara kerajaan yang sangat besar dan disegani.
Awal Berdirinya Majapahit
Setelah raja terakhir Singhasari yang bernama Kertanagara (1268-1292) gugur, maka Singhasari berada di bawah kekuasaan raja Kadiri Jayakatwang dan berakhirlah riwayat kerajaan Singhasari. Salah seorang keturunan penguasa Singhasari yaitu Wijaya, kemudian berusaha untuk dapat merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya dari tangan Jayakatwang. Wijaya adalah anak dari Dyah Lembu Tal, cucu Mahisa Campaka atau Narasinghamurti. Jadi Ia masih keturunan Ken Angrok dan Ken Dedes secara langsung. Dari ginealoginya Wijaya masih keponakan raja Kertanagara, bahkan ia diambil menantu oleh raja Kertanagara dan dikawinkan dengan putrinya.
Waktu Jayakatwang dari Kadiri menyerang Singhasari, Wijaya ditunjuk oleh Kertanagara untuk memimpin pasukan Singhasari. Kisah pertempuran tersebut didapatkan dalam Prasasti Kudadu (1294) yang dikeluarkan oleh Kertarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya) dalam rangka memperingati pemberian status desa Kudadu menjadi daerah swatantra. Dalam pertempuran tersebut Wijaya dan pasukannya mengalami kekalahan sehingga melarikan diri sampai ke Madura. Peristiwa tersebut termuat dalam prasasti Sukamrta (1296) yang dikeluarkan oleh Kertarajasa Jayawardhana sebagai penetapan daerah Sukamrta kembali menjadi daerah swatantra. Dalam pelariannya ke Madura, Wijaya diterima oleh Aryya Wiraraja, yang kemudian mengusahakan agar ia dapat diterima menyerahkan diri kepada Jayakatwang di Kadiri. Wijaya akhirnya mendapat kepercayaan penuh dari raja Jayakatwang, sehingga pada waktu Wijaya minta daerah Tarik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih akan dijadikan pertahanan terdepan dalam menghadapi musuh yang menyerang melalui sungai Brantas, permintaan itu dikabulkan. Daerah Tarik dibuka oleh Wijaya dengan bantuan dari Wiraraja, menjadi desa dengan nama Majapahit.
Setelah merasa kekuatannya telah cukup, maka Wijaya menghimpun dukungannya untuk menyerang Jayakatwang. Dukungan utama dari Adipati Wiraraja yang telah menyiapkan orang-orangnya untuk datang membantu ke Majapahit. Bertepatan dengan selesainya persiapan-persiapan untuk mengadakan perlawanan terhadap Raja Jayakatwang, pada awal tahun 1293 datanglah bala tentara Khubilai Khan yang sebenarnya dikirimkan untuk menyerang Singhasari, menyambut tantangan Raja Kertanagara yang telah menganiaya utusannya, Meng-Ch’i. Kedatangan pasukan Cina dimanfaatkan Wijaya untuk dijadikan strategi yang menyatakan tunduk di bawah kekuasaan kaisar dengan tujuan untuk bergabung menggempur Jayakatwang di Daha. Tetapi kemudian dengan tipu muslihat, Wijaya berbalik menyerang seluruh pasukan Cina setelah Jayakatwang dikalahkan. Dengan kalahnya Jayakatwang maka runtuhlah kekuasaan Kadiri/Daha dan diusirnya pasukan Cina maka Wijaya menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Penobatannya terjadi pada tanggal 15 bulan Karttika (ri purneng karttikamasa pancadasi) tahun 1215 Saka (12 November 1293). Nama gelar penobatannya ialah Sri Kertarajasa Jayawarddhana.
Kertarajasa akhirnya menikahi keempat putri Kertanegara, yaitu: 1) Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari (sebagai permaisuri) memiliki anak bernama Jayanegara (raja Majapahit kedua 1309-1328 M) yang kemudian diangkat sebagai putra mahkota berkedudukan di Kadiri (Daha); 2) Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita; 3) Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajanaparamita; dan 4) Sri Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri memiliki dua orang putri bernama Tribhuwana Wijayottunggadewi (raja Majapahit ketiga 1328-1350 M) berkedudukan di Jiwana (Bhre Kahuripan) dan Rajadewi Maharajasa berkedudukan di Daha (Bhre Daha).
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: DESAWARNAMA; Bukletin Arkeologi; no. 04, 2007.