Monday, October 14, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Manten Kucing Untuk Memanggil Hujan

Mungkin banyak orang yang tidak percaya jika hujan bias didatangkan lewat ritual khusus. Caranya pun cukup unik yakni dengan memandikan…

By Pusaka Jawatimuran , in Kesenian Seni Budaya Tulungagung , at 22/07/2012 Tag: , , , , , ,

Mungkin banyak orang yang tidak percaya jika hujan bias didatangkan lewat ritual khusus. Caranya pun cukup unik yakni dengan memandikan sepasang kucing berlainan jenis di sebuah sendang atau coban.

Ada tradisi unik di Desa Pelem Kecamatan Campur-darat, Kabupaten Tulung­agung. Warga di desa tersebut sangat percaya jika kemarau panjang bisa diakhiri dengan ritual khusus yakni “Man-ten Kucing.”

Ketika musim penghujan tak kunjung turun dan tanah-tanah persawahan mulai mongering, warga desa mengadakan satu ri­tual yang dipercaya bisa menu­runkan hujan yakni “Manten Ku­cing”. Tetapi jangan membayang­kan jika ritual ini adalah ritual perkawinan kucing. Ritual yang di­percaya ada sejak masa peme­rintahan Belanda ini, hanya me­mandikan dua ekor kucing berla­inan jenis di sendang atau coban, tidak jauh dari desa bernama Co­ban Kram.

Lantas mengapa dikatakan manten? Ketika ditelisik lebih da­lam, ternyata ritual memandikan dua ekor kucing ini diupacarakan menyerupai ritual sepasang pe­ngantin menusia. “Karena itulah ri­tual tersebut yang lantas mendasari nama manten kucing,” kata Kepala Desa Palem, Nugroho Agus.

Ketika ditanya kapan pertama kali ritual Manten Kucing digelar, Agus tidak bisa mengatakan pasti. Hanya saja menurut lelaki ber­kumis tebal ini, ritual asli Tulung­agung tersebut, ada sejak ratusan tahun lalu saat pemerintahan Be­landa oleh Eyang Sangkrah pembabat alas desa setempat Kala itu, terjadi musim ke-

marau panjang yang membuat persawahan, sungai, dan telaga (kolam air untuk minum warga) kering. Para penduduk yang ma­yoritas bekerja sebagai petani pun resah. Beberapa ritual keper­cayaan telah dilakukan dengan tujuan agar hujuan segera turun. Namun tak setitik air pun turun meski semua warga desa me­mohon pada sang pencipta.

Ditengah-tengah kegelisahan tersebut tanpa sengaja saat Eyang Sangkrah mendi di sen­dang. Tiba-tiba kucing Condro-mowo (kucing yang memiliki tiga warna berbeda) miliknya ikut mandi.

Sepulang Eyang Sangkrah memandikan kucing di telaga, tak lama berselang, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Karuan saja, warga yang sudah lama menunggu-nunggu turun­nya hujan tak bisa menyembu­nyikan rasa riangnya. “Mereka yakin, hujan turun ini ada kaitannya dengan Eyang Sangkrah yang baru saja memandikan kucing Cpndromowo,” tutur Agus men­ceritakan asal muasal sejarah ‘Temanten Kucing”.

Ketika Desa Pelem dijabat Demang Sutomejo pada 1926, desa ini kembali dilanda kemarau panjang. Saat itulah, ungkap Nu­groho Agus, Eyang Sutomejo mendapat wangsit untuk me­mandikan kucing di telaga. Maka, dicarilah dua ekor kucing Condro-mowo yang diambil dari arah barat dan timur desa. Lalu, dua ekor ku-

cing itu dimandikan di Coban yang berjarak sekitar satu kilo meter dari desa Palem. Dan, beberapa hari kemudian hujan mulai meng­guyur di Desa Pelem dan seki­tarnya. “Saat ini, kami menggelar ritual “Temanten Kucing” bukan semata-mata untuk minta hujan. Tapi, tradisi ini kami lestarikan untuk nguriruri warisan nenek moyang,” kata Nugroho Agus yang masih ada hubungan cucu dengan Eyang Sutomejo.

Mulai Dipercaya

Sejak saat itu, jika musim ke­marau panjang melanda desa Pelem, warga akan meminta ke­pala desa menggelar ritual ter­sebut. Seiring perkembangan bu­daya, tradisi, dan zaman, ritual “Manten Kucing” pun dilengkapi beberapa sajian kesenian khas Jawatimuran. Jika dulu kucing dibawa tanpa hiasan, maka sejak 1980-an, ritual melibatkan sejum­lah adat dan kesenian. Seperti si pembawa kucing terdiri dari laki-laki dan perempuan yang mema­kai pakaian layaknya orang mau menikah. Selain itu ada juga iring-ringan warga desa dan sesepuh. Tepat di belakang pembawa ku­cing, terdapat dua orang dayang laki-laki membawa payung pusaka.

Untuk menambah kemeriah­an ritual, terdapat beberapa anak yang memainkan jaranan, sete­lah itu baru rombongan dari para sesepuh desa, dimana mereka juga terdiri dari Mbah Kakung (kakek) dan Mbah Putri (nenek), yang juga memakai pakaian adat. Kemudian rombongan tersebut, berjalan menuju sendang.

Setelah selesai, kedua kucing kemudian duduk di singgasana dipangku dua pengiringnya. Tetua adat sudah mempersiapkan nasi tumpeng lengkap dengan lauk dan sayurnya serta jenang merah sebagai prasyarat. Tetua Desa pun langsung memanjatkan puja dan puji syukur atas nikmat Tuhan serta tak lupa meminta Tuhan se­gera mengirimkan hujan agar ti­dak terjadi kekeringan. Selesai pembacaan doa-doa, ritual dilanjutkan dengan acara Tiban, yakni saling menyabetkan sapu lidi yang diikat kepada lawan. Di­harapkan dengan tiban tersebut, hujan akan segera turun. “Keleng­kapan upacara adalah kebutuh­an, dan daya tarik tersendiri a-palagi ritual ini telah dimasukkan sebagai ikon kebudayaan Kabu­paten Tulungagung,” tuturnya.

Yang mengherankan meski pada uparara ritual sekarang ini tidak menggunakan kucing Condromowo melainkan kucing kampung biasa, namun selesai ritual hujan tetap turun. “Sekarang ini kucing Condromowo sudah tidak ada, karena itulah kami me­makai kucing kampung, tetapi toh hujan tetap turun juga,” ung­kapnya.

Seperti saat menggelar upa­cara di Taman Mini Indonesia In­dah (TMII) Jakarta pada 2005 lalu, kala itu Nugroho Agus menggu­nakan kucing jenis angora. Hasilnya taman mini diguyur hu­jan lebat. “Aneh memang, meski digelar tidak di Tulungagung dan kucingnya buka lokal, hujan tetap turun,” kata Kepala desa yang menjabat sejak 2007 ini bangga.

Diperebutkan

Yang membuat unik bukan hanya hujan langsung turun. Te­tapi setelah upacara memandikan kucing selesai, warga desa akan langsung berebut air bekas me­mandikan kucing itu. Mereka per­caya dengan membasuh muka dengan air, mereka akan men­dapat berkah. Bahkan ada juga yang bertiarap bisa awet muda. “Memang tidak masuk akal jika air bisa mendatangkan berkah, tetapi warga desa di sini sangat percaya akan hal itu,” kata Nugroho.

Selain air, kucing yang dipakai untuk ritual juga akan diperebut­kan untuk dijadikan hewan pe­liharaan, dengan harapan akan mendatangkan rejeki bagi sang pemilik. “Semua warga pasti ingin memiliki kicing yang telah dipakai untuk ritual. Selain dipercaya dapat mendatangkan rejeki, secara kua­litas baik kesehatan dan fisik, ku­cing ini pilihan, jadi sang pemilik tidak akan kesulitan merawatnya,” ujarrnya.

la berharap, ritual “Manten Ku­cing” bukan hanya menjadi ke-

banggaan kabupaten yang ter­letak pada ketinggian 85 m di atas permukaan laut tersebut, tetapi juga Jawa Timur secara umum. “Ini sangat unik dan baru Tunga-ngung yang punya. Jika dijadikan ikon Jatim saya rasa “Manten Kucing” sangat layak,” harapnya.

Mulai Ditinggalkan

Sayangnya, perhelatan ritual “Manten Kucing” kini tak sesakral tahun-tahun silam. Perhelatan ri­tual itu saat ini cenderung semakin instan. Banyak tradisi-tradisi unik yang merupakan bagian dari pro­sesi yang kini justru dihilangkan.

Beberapa tahun lalu, suasa­na sakral masih mewarnai pro­sesi ritual unik ini. Saat itu, prosesi ritual ini masih menampilkan sejumlah keunikan. Misalnya, ke­tika pasangan manten kucing dipertemukan menjadi pengantin di pelaminan, beberapa wanita tua ikut tampil melantunkan tembang dolanan khas Jawa.

“Uyek-uyek ranti,

ono bebek pinggir kali,

nuthuli pari sak uli,

Tithit tfiuiiit.. Kembang opo?

Kem­bang-kembang menur,

ditandur neng pinggir sumur,

 yen awan manjing sak dulur,

yen bengi dadi sak kasur.”

 

Begitu syair tembang dolanan berbahasa Jawa yang tiga tahun lalu masih dilantunkan wanita-wanita tua. Tembang dolanan itu dilantunkan seraya memegangi dua tangan pasa­ngan pengantin kucing.

Pada pagelaran ritual manten kucing yang terakhir yakni tahun 2007, prosesi dihelat dengan pembacaan doa yang diikuti se­jumlah sesepuh desa. Begitu doa-doa selesai, maka tuntas sudah perhelatan pengantin kucing. Sehingga timbul kesan, ritual “Manten Kucing” cenderung simpel dan instan.

Toh demikian, ritual “Manten Kucing” tetap saja berlangsung marak. Maklum, ritual ini memang diyakini warga setempat sebagai wahana untuk memohon turun­nya hujan. “Awalnya, tradisi ini, memang menjadi sarana nenek moyang untuk memohon turun­nya hujan,” kata Kepala Desa yang juga tokoh sentral penye­lenggara ritual ini. (Muhajir)

 

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:POTENSI JAWA TIMUR, EDISI 09, TAHUN VIII/2008