Pengantin Gagrag Blitar
Relief Kresnayana: Sumber Sejarah Garap Pengantin Gagrag Blitar Perkawinan merupakan salah satu mata rantai siklus kehidupan manusia, dimulai dari kandungan,…
Relief Kresnayana: Sumber Sejarah Garap Pengantin Gagrag Blitar
Perkawinan merupakan salah satu mata rantai siklus kehidupan manusia, dimulai dari kandungan, masa anak-anak, remaja, dewasa, dan memasuki jenjang perkawinan, berakhir masa tua dan kematian. Perkawinan sebagai salah satu puncak siklus kehidupan, tentunya juga memerlukan serangkaian tata upacara tertentu, di antaranya memilih hari baik, sesaji, dan upacara-upacara inti yang semuanya bermakna spiritual.
Setiap rantai peristiwa tersebut mewujudkan adanya perubahan status dalam diri seseorang. Masyarakat Jawa meyakini bahwa setiap perubahan peristiwa merupakan saat yang gawat dalam kepercayaan Jawa disebut werit, untuk itu harus mendapatkan perhatian agar dapat dilewati dengan selamat dan selalu mendapatkan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Mengingat upacara perkawinan merupakan peristiwa besar dan dianggap luar biasa, maka wajarkan apabila acara perkawinan dirayakan dengan besar-besaran. Juga urutan upacara adat tahap derni tahap dilaksanakan dengan khidmat, mulai persiapan, pelaksanaan, dan acara puncak. Tampaknya memang merupakan kebanggaan tersendiri bagi orang tua dan mempelai apabila bisa melaksanakan tata urutan adat dengan baik dan tertib. Sekarang mungkin akan lebih bangga, karena Blitar sudah mempunyai tata busana, tata rias, tata upacara adat, lengkap dengan gending iringan milik sendiri. Yaitu Kartika Rukmi untuk pengantin kerakyatan dan Kresnayana untuk pengantin kebesaran, bukan Solo Putri atau Solo Basahan yang merupakan “pinjaman” milik daerah lain.
Kartika Rukrni dan Kresnayana merupakan hasil garap dari Tim Penggali dan Penggarap Manten Gagrag Blitar yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Blitar yang diketuai oleh S. Djito Santoso, SE, Kepala Bidang Pendidikan Non Formal dan Informal dengan anggota terdiri dari budayawan sejarawan, seniman designer, pengurus Harpi Melati, Katalia, dan Tiara Kusuma, juga melibatkan para pini sepuh yang biasa jadi dhukun manten
Mengerling Sejarah
Secara geografis wilayah Kabupaten Blitar memang berbeda dengan Jogjakarta (Yogya) maupun Surakarta (Solo). Namun kultur budayanya tidak bisa lepas dari Mataram, cikal bakal budaya Yogya dan Solo, yang memang kenyataannya nenek moyang orang Blitar berasal dari Mataram sebelum adanya perjanjian Gianti tahun 1755. Termasuk para pejabat waktu itu, adipati, wedana, sampai demang adalah orang-orang keturunan Mataram. Sebingga budaya mataraman sudah memasyarakat dan kental sekali dengan kehidupan warga Kabupaten Blitar.
Tetapi dalam mengangkat Pengantin Gagrag Blitar tampil beda, meskipun sebagian kecil masih berbau Yogya dan Solo. Pengantin Gagrag Blitar tetap menonjolkan akar sejarah Blitar dengan menampilkan bukti-bukti outentik dan keadaan alam yang sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat Blitar. Adanya Gunung Kelud, selagi marah dengan pertanda lindhu dhahana (gempa bumi karena pengaruh api magma) yang berlanjut dengan muntahan lahar yang mengalir di tebing dan tepinya, memanggang tlatah Blitar dengan seluruh penghuninya. Keperkasaan Gunung Kelud tersebut sebenamyalah menempa bumi Blitar menjadikannya lebih tangguh dan lebih berkualitas. Selanjutnya menjadikan burni Blitar lebih subur, tukul kang sarwa tinandur, air mengalir lebih bersih, komunitas masyarakatnya hidup makmur kerta raharja. Kesuburan Blitar ini membuat peranan Blitar jadi penting sejak zaman kuna sampai sekarang dan selanjutnya.
Kerajaan Mataram Purwa, Panjalu, Kediri, Singasari, lebih-lebih Majapahit dan zaman Kasunanan Mataram Islam menempatkan Blitar menjadi bagaian dari perkembangan budaya, yang melegenda dan melekat di masyarakat adalah adanya Candi Panataran dengan Prayasti Palah dan Candi Induknya sebagai tempat utama sesaji kepada Dewa Penguasa Gunung dengan segala keperkasaan dan kemurahan hatinya. Di lantai dua Candi Induk inilah terpahat relief Kresnayana (Narayana Maling) yang diadopsi sebagai sumber outentik hasil garap Manten, Gagrag Blitar.
Alkisah di Negara Kumbino yang diperintah oleh Raja Rukmono, dengan putri kedaton bemama Dewi Rukmini. Sang Dewi dipertunangkan secara paksa dengan Raja Kerajaan Cedi, yaitu Prabu Suniti. Akan tetapi hati Sang Dewi sebenarnya telah mencintai Sang Narayana atau Sri Kresna. Pada waktu perkawinan akan dilaksanakan dihubungilah Sri Kresna. Selanjutnya Sang Dewi dia kabur keluar istana. Gemparlah istana, Raja Cedi tidak dapat menerima peristiwa tersebut dan menggempur Kerajaan Kumbino. Pada saatnya Kresna” maju berperang, dengan senjata andalannya, cakra, akhimya Kresna dapat mengalahkan Prabu Suniti.
Acara perkawinan tetap dilangsungkan, mempertemukan Dewi Rukmini dengan Sang Kresna buah hatinya. Acara perkawinannya tampak sederhana, namun ada ciri-ciri khas yang bisa diadopsi sebagai Pengantin Gagrag Blitar. Dengan uba rampe dan persyaratan serta tata busana/rias yang ada selanjutnya mereka hidup bahagia di Negara Dwarawati.
Cinta sejati yang diperjuangkan dengan keteguhan tekad dan keberanian untuk mengatasi segala rintangan akan membuahkan keberhasilan sesuai yang dieita-eitakan. Keteguhan tekad yang digambarkan sepasang kekasih untuk mencapai kejayaannya tergambarkan dalam tata busana dan tata rias sang pengantin.
Dalam perkembangannya Blitar tidak terlepas dari pengaruh Mataram, karena tlatah Blitar adalah termasuk wilayah Manca Negari Bang Wetan dari kerajaan besar Mataram. Jarit/nyamping yang bermotifkan kawung sebagai bagian khas Mataram dipakai di Blitar. Selain itu berdasarkan sejarah teruyata motif kawung di Blitar sudah ada sejak zaman Singasari, terbukti dengan adanya Area Ganesya di Boro Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar yang berangka tahun 1161 ~aka atau 1239 Masehi. Yang kemudian tereipta kawung khusus yang dinamakan Kawung Tanjung. Demikian juga berbagai uba rampe pengantin yang dicipta dengan berusaha memadukan budaya Majapahit dengan budaya Mataram sesuai dengan posisi Blitar dalam budaya nusantara dikenal dengan Budaya Pego.
Temu Pengantin
Pada saat rombongan pengantin pria datang selain membawa stinggan juga membawa guna kaya berupa uang receh dicampur biji-bijian dan beras kuning ditempatkan dalam satu tempat berbentuk ikan mas besar dengan mulut terbuka yang disebut badher bang sisik kencana symbol dari kesiapan sang suarni memberikan nafkah lahir batin kepada istri. Diambil dari legenda Dewi Rayung Wulan, permaisuri Adipati Nilosuwarno yang mengidam (nyidham) ikan bader merah bersisik emas. Meskipun sulit, karena cinta tetap dipenuhi tak peduli maut datang menjemputnya.
Menginjak temu, didahului dengan pelemparan gantal dilaksanakan bersama-sama, tidak saling mendahului, hal ini bermakna laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama, tidak saling mengalahkan yang lain. Demikian juga pada saat wiji dadi, mempelai wanita tidak jongkok dan menyembah serta mencuci kaki mempelai pria, tetapi tetap dilaksanakan dengan berdiri. Hal ini bermakna kesejajaran pria dan wanita, mengingat pada zaman Majapahit pun pernah ada seorang wanita yang menjadi raja.
Dilanjutkan dengan gendhongan, mempelai digendong hanya sampai depan kwade, ayah dan ibu duduk di kursi pengantin untuk aeara timbangan, hal tersebut bermakna orang tua menghantar anaknya dari masa lajang menuju kehidupan baru. Kemudian tampa guna kaya, guna kaya yang diisikan ke dalam badher bang sisik kencana dibawa dari rumah pengantin pria, bermaknanya mempelai pria sudah siap memberi nafkah lahir batin.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: JATIM Plus, Edisi 279, Minggu III-IV Mei 2011, hlm. 7