Nyadran, Kabupaten Sidoarjo
Nyadran: Aset Pariwisata Sidoarjo Oleh : Nyonik Adiwarno Di Indonesia khususnya di Jawa pada bulan Ruwah (kalender Jawa) ada tradisi…
Nyadran: Aset Pariwisata Sidoarjo
Oleh : Nyonik Adiwarno
Di Indonesia khususnya di Jawa pada bulan Ruwah (kalender Jawa) ada tradisi yang dinamakan ruwatan. Bentuk-bentuk Ruwatan ini dapat berupa bersih desa, ruwah desa atau lainnya. Di Sidoarjo, tepatnya di Desa Balongdowo Kecamatan Candi ada tradisi masyarakat yang dilakukan setiap bulan Ruwah (pada saat bulan purnama).
Tradisi tersebut dinamakan pesta nyadran. Nyadran merupakan upacara adat bagi para nelayan kupang desa Balongdowo sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa. Bentuk kegiatan nyadran berupa pesta peragaan cara mengambil kupang di tengah laut Selat Madura. Mereka berangkat dengan diiringi seluruh keluarga nelayan sejak tengah malam.
Berbeda dengan acara petik laut di Banyuwangi, Larungan di Blitar atau Labuhan di Malang, maka Nyadran di Sidoarjo mempunyai kekhasan tersendiri. Kegiatan Nyadran dilakukan oleh masyarakat desa Balongdowo yang mata pencahariannya sebagai nelayan kupang. Sejak siang mereka disibukkan oleh persiapan pesta upacara, yang upacaranya dimulai tengah malam.
Laki-laki, perempuan, besar kecil semuanya melakukan kegiatan sesuai tugas masing-masing. Ada yang menghias perahu, memasang sound system dan sebagainya. Khusus Ibu-ibu melakukan kegiatan menyiapkan makanan yang akan dibawa ke pesta upacara Nyadran di Selat Madura serta menyiapkan Sesaji. Sesaji yang disiapkan berupa ayam panggang, nasi dan pisang serta kue dimasukkan dalam tomblok. Kegiatan persiapan ini berlangsung sampai sore hari dilanjutkan kenduri di masing-masing rumah nelayan kupang usai shalat maghrib.
Pada malam hari di sepanjang jalan dan tepian sungai desa Balongdowo suasananya sangat ramai dipenuhi oleh masyarakat dan pedagang kaki lima baik dari penduduk setempat maupun dari luar kecamatan Candi, sehingga kedengaran hiruk pikuk dibarengi para remaja berjoget di atas perahu.
Uniknya meski hujan mengguyur mulai sore hari, tidak menjadi penghalang bagi para pengunjung bahkan semakin malam semakin berdesakan untuk menyaksikan pemberangkatan iringiringan perahu menuju ke pesta Nyadran di Setat Madura. Pemberangkatan bergantung padakeadaan air sungai. Bila air sudah surut iring-iringan perahu dapat diberangkatkan. Jumlah perahu yang mengikuti pesta Nyadran tahun ini sekitar 50 perahu.
Perjalanan dimulai dari Bandar Balongdowo, Candi menempuh jarak sekitar 12 km menuju Dusun Kepetingan, Sawohan, Buduran. Suasana perjalanan menyenangkan walaupun dinginnya malam menusuk tulang disertai guyuran hujan. Hanya lampu-lampu petromak dalam perahu dan sorot lampu senter sebagai petunjuk jalan. Dalam suasana tersebut tidak hentihentinya anak-anak muda berjoget di atas perahu seakan tak merasa dinginnya malam. Perjalanan ini melewati sungai Desa Balongdowo, Klurak, Kalipecabean, Kedungpeluk dan Kepetingan (Sawohan). Masyarakat berderet di tepian Bandar kali Balongdowo untuk menyambut acara pemberangkatan iring-iringan perahu dengan antusias dan meriah. Ini menunjukkan bahwa Nyadran mendapat simpati dan perhatian dari masyarakat kecamatan Candi khususnya masyarakat Desa Balongdowo dan sekitarnya. Ketika iring-iringan perahu sampai di muara Kalipecabean, perahu yang ditumpangi anak balita membuang seekor ayam. Konon menurut cerita, dahulu ada orang yang mengikuti acara Nyadran dengan membawa anak kecil tersebut mengalami kesurupan. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut masyarakat Balongdowo mempercayai bahwa, dengan membuang seekor ayam yang masih hidup ke Kalipecabean maka anak kecil yang mengikuti Nyadran akan terhindar dari kesurupan malapetaka.
Sekitar pukul 04.30 BBWI peserta iring-iringan perahu tiba di Dusun Kepetingan, Sawohan. Rombongan peserta Nyadran langsung menuju makam Dewi Sekardadu untuk mengadakan kenduri. Sambil menunggu fajar tiba, peserta Nyadran tersebut berziarah, bersedekah dan berdoa di makam tersebut agar berkah terns mengalir. Menurut cerita rakyat Balongdowo, Dewi Sekardadu ini putri Raja Blambangan bernama Minak Sembuyu, yang pada waktu meuinggainya dikelilingi “ikan keting”, maka dusun tersebut dinamakan Kepetingan tapi orang-orang sering menyebut Dusun Ketingan. Pada pagi harinya, sekitar pukul 07.00 BBWI usai mengadakan selamatan, perahu menuju Selat Madura dengan membentuk lingkaran, sedangkan peserta Nyadran turun untuk mandi dan memperagakan cara mengambil kupang. Tidak seperti yang kita bayangkan sebelumnya, kedalaman Selat Madura temyata cukup dangkal sehingga anak-anak pun dapat turun ke laut untuk sekedar mandi ataupun ikut mencoba mencari kupang.
Setelah dari makam Dewi Sekardadu, perahu-perahu itu menuju ke selat Madura sekitar 3 km. Perjalanannya cukup menarik bagi rnsyarakat yang belum pernah mengikuti pesta nyadran sebab di sisi kiri dan kanan perahu dipenuhi dengan tumbuhan bakau yang dihiasi panorama terbitnya sinar matahari. Sering dijumpai burung bangau berterbangan terusik oleh deru mesin perahu.
Suasana lain yang menambah semaraknya peragaan cara mengambil kupang adalah anak-anak muda dengan perahunya berputar-putar sambil berjoget seakan-akan tidak merasa lelah. Bagi Ibu-ibu dan anak-anak kecil dengan lahapnya menyantap bekal yang telah disiapkan dari rumah sambil melihat remaja-remaja berjoget dan melihat orang-orang turun ke laut dengan disertai hembusan angin laut. Cukup mengesankan jika dilihat dari kejauhan, berpuluh perahu dengan warna-warni hilir mudik di tengah laut. Tidak seorang pun tampak susah, semua bergembira, berjoget berpesta dan makan bersamasama di atas perabu. Itulah oleh masyarakat Balongdowo dinamakan “NYADRAN”.
Sekitar pukul 10.00 BBWI, iring-iringan perahu tersebut mulai meninggalkan selat Madura. Kemudian mereka kembali ke desa Balongdowo. Sepanjang perjalanan pulang, ternyata banyak masyarakat berjajar di tepi sungai menyambut iring-iringan perahu tiba. Mereka minta berkat/makanan yang dibawa oleh peserta nyadran harapan agar mendapatkan berkah.
Mengikuti pesta nyadran ternyata cukup menyenangkan dan mengesankan. Banyak kegiatan dari nyadran dapat dikembangkan sebagai obyek pariwisata si kabupaten Sidoarjo. Misalnya saja proses membuang ayam, ziarah ke makam Dewi Sekardadu, pemandangan butan bakau dan mandi di tengah laut sambil mencari kupang. Sebenarnya ada proses dari nyadran, yaitu “Melarung Tumpeng”. Proses ini dilakukan di muara/clangap (pertemuan antara sungai Balongdowo, sungai Candi dan sungai Sidoarjo). Proses ini tidak diadakan setiap kali nyadran. Melarung tumpeng ini diadakan bila ada peserta nyadran atau nelayan kupang yang mempunyai nadar/khaul. Potensi wisata ini bila dikembangkan dan dikemas dengan baik bukan tidak mungkin akan dapat menambah Pendapatan Asli Daerah.
Mengembangkan dan mengemas nyadran menjadi obyek pariwisata bukannya tidak mempunyai tantangan dan hambatan-hambatan. Masih ada kekurangan dan kelemahan-kelemahan dalam nyadran irri yang perlu dibina dan ditingkatkan. Misalnya saja koordinasi pelaksanaan nyadran meliputi proses/kegiatan, penertiban peserta nyadran terutama para pemuda yang membawa minuman keras, meningkatkan nilai-nilai ritual nyadran. Bila nyadran dapat disajikan sebagai obyek wisata, maka merupakan obyek wisata bahari yang pertama di Sidoarjo(*)
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Gema Delta, Juni 1995, hlm. 28
Comments
bagaimana dengan nyadran tahun 2014 yang akan diadakan 19 januari bsk?
acara dimulai subuh juga? starting point dimana ya?
saya tertarik untuk berpartisipasi..
mohon infonya..
Pesta nyadran 2014 bulan mei tanggal 21-22 acara mulai jam oo:30