H.R. Mohamad Mangoendiprojo
Siapakah H.R. Mohamad Mangoendiprojo Gubernur Basofi Soedirman mengatakan monumen sebagai wujud dari rasa kepedulian terhadap jasa pahlawan. Bangsa yang besar…
Siapakah H.R. Mohamad Mangoendiprojo
Gubernur Basofi Soedirman mengatakan monumen sebagai wujud dari rasa kepedulian terhadap jasa pahlawan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa para pahlawannya, ungkapan ini telah ditunjukkan oleh masyarakat Sidoarjo dengan membangun monumen pejuangnya, H.R Mohamad Mangoendiprodjo. Penghargaan atas jasa beliau kiranya belum cukup jika hanya diwujudkan dengan membangun monumennya, namun yang paling mendasar dalam menghormati jasa beliau tiada lain adalah dengan mengaplikasikan cita-cita dalam wujud kehidupan di masa pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
Siapa sebenarnya H.R Mohammad Mangoendiprodjo. Pertanyaan ini sering muncul di sebagian masyarakat Sidoarjo saat pembangunan monument sedang berlangsung, hal ini wajar karena memang tokoh yang dimonumenkan ini bukan termasukdi jajar pahlawan yang sudah menasional atau tidak diajarkannya dalam kurikulum pendidikan sejarah sehingga tidak dikenal dalam kalangan pelajar. Namun demikian beliau adalah salah seorang pejuang kemerdekaan yang pergerakannya di wilayah Sidoarjo dan Surabaya dengan basis perjuangan di Buduran, sehingga tidak berlebihan kiranya jika beliau dimonumenkan di Buduran Sidoarjo guna mengenang jasa perjuangannya.
H.R Mohammad Mangoendiprojo dilahirkan pada tanggal 5 Januari 1905 di Sragen. Semasa hidupnya beliau mengalami perubahan dalam tiga zaman, dari seorang pangrehpraja yang umum.elikenal sebagai hamba aparat kolonial Belanda, kemudian di jaman pendudukan Jepang beliau masuk lembaga pendidikan Peta dan saat perang kemerdekaan beliau terbawa dalam arus kancah revolusi nasional di Surabaya yang menjaelikannya seorang republikan yang anti Belanda.
Mohamad, panggilan akrab H.R Mohamad Mangoendiprodjo, saat kecilnya sudah mengenyam pendidikan yakni pendidikan yang diwarnai adat sopan santun mengingat suasana lingkungan keluarga masih diwarnai tradisi jawa yang memegang adat sopan santun, dimana perilaku anak didik disesuaikan dengan adat istiadat yang mengutamakan otoritas orang tua serta mematuhi segala nasehat dan kata orang tua dengan bersendikan norma-norma agama.
Menyadari masa depan seorang anak banyak ditentukan oleh factor pendidikan dan faktor keturunan, maka padatahun 1913, Sastromardjono, ayah Mohammad, terdorong untuk menyekolahkan Mohamad yang saat itu berusia 8 tahun di Eurpese Lager School (ELS) di Solo, namun padatahun 1915 Mohamad dipindahkan ke ELS di daerah Sragen dengan pertimbangan pendidikan agamanya, karena di Sragen Mohamad bisa ditipkan di rumah kakak ayahnya, seorang ulama, untuk mendidik agama. Pada tlihun 1921 Mohamad lulus dari ELS kemudian melanjutkan ke Sekolah Teknik di Yogyakarta namun tidak sampai lulus, karena Mohamad memang tidak berbakat di bidang teknik, ayahnya mendaftarkannya di Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA) di Madiun hingga lulus tahun 1927.
Pada masa pendudukan Belanda hingga Jepang karirnya sebagai pegawai dimulai sebagai pelayan wedana Gorang Gareng di Madiun, Mantri Polisi Lapangan di Lamongan, Wakil Kepala Jaksa Kalisosok Surabaya, dan pada talmn 1934 Mohamad dipromosikan menjadi Asisten Wedana Kecamatan Diwek Jombang.
Pada pendudukan Jepang jiwa Mohamad terpanggil untuk mengikuti pendidikanPembela Tanah Air (PETA) dan diangkat menjadi daidanco (Komandan Batalyon) PETA di Daidan (Batalyon) III Sidoarjo, Surabaya.
Di Sidoarjo di bawah kepemimpinannya, jiwa keprajuritan jiwa persatuan dan kesatuan membela tanahair dibangkitkan kembali setelah lenyap terbuai semenjak abad 17 dan saat revolusi pecah, Mohamad bersama ex perwira PETA lainnya membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Tugas dan jabatan lain yang dipegang dalam ketentaraan antara lain bendahara BKR di masa BKR Propinsi dipimpin oleh Moestopo dan menjadi Kepala Urusan Angakatan Darat saat Menteri Pertahanan RI ad Interirn dijabat oleh Moestopo.
Pada tahun 1950 hingga 1988 karirnya dilalui sebagai abdi Negara lagi yakni sebagai Pamong Praja, tahun 1950-1955 menjadi Bupati Ponorogo, tahun 1955 Mohamad memperoleh promosi diangkat menjadi Residen Lampung sampai pensiun di tahun 1962, sejak 1971 Mohamad terpilih menjadi Anggota Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai utusan daerah Lampung hingga 1992.
Pada usia senjanya, Mohamad memperoleh pengakuan dan penghargaan dari pemerintah Republik Indonesia atas pengabdiannya dalam perjuangan Nasional di masa lampau, pada tanggal 14 Agustus 1986 di Istana Negara Jakarta bersama dengan 10 orang tokoh lain, Mohamad dianugerahi Bintang Mahaputra langsung dari Presiden Soeharto sebagai penghargaan tertinggi atas jasa-jasanya terhadap negara dan bangsa Indonesia. (fik).
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:Gema Delta, Maret 1995, hlm. 31