Bambang Supali, Cak Alex Supali
-8 Januari 2012- Sang Maestro Lodruk Itu Telah Pergi Oleh: ARIS SETIAWAN DUNIA ludruk Jawa Timur sedang berduka. Salah seorang…
-8 Januari 2012-
Sang Maestro Lodruk Itu Telah Pergi
Oleh: ARIS SETIAWAN
DUNIA ludruk Jawa Timur sedang berduka. Salah seorang maestro lawak, musikus, composer musik -gamelan- telah berpulang untuk selamanya. Bambang Supali atau akrab dipanggil Cak Alex Supali, yang telah lebih dari tiga puluh tahun menemani liku-liku perjalanan ludruk di Jawa Timur, kini harus paripurna pada usianya yang ke-49 tahun.
Dia kalah bergelut dengan sakit liver dan gagal ginjal yang menderanya. Supali mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Gatoel, Kota Mojokerto, Rabu (04/01/2012), sekitar pukul 11.39 WIB.
Nama Supali bisa disejajarkan dengan maestro ludruk lain seperti Kartolo, Sapari, Umi Kalsum, Sidik, dan Agus Kuprit. Namun, berbeda dari para seniornya itu, Supali berjuang bukan lewat jalur rekaman kaset komersial.
Dia justru dengan teguh menziarahkan hidupnya untuk dibesarkan dari panggung ludruk tobong, berpentas dari satu pintu rumah ke rumah yang lain. Bukan hanya itu, di balik kelihaiannya mengocok perut masyarakat, Supali adalah musikus dan komposer musik yang andal.
Tak kurang darl 50 lagu campursari dan konser gamelan untuk ludruk telah dia ciptakan. Salah satu karyanya yang paling monumental dan hingga detik ini masih membahana di pangung-panggung musik gamelan Nusantara adalah Sambel Kemangi. Tak seorang pun seniman musik tradisi, kritikus gamelan, atau dalang yang tak mengenal lagu itu. Supali adalah seniman kondang yang lahir dari pekatnya semangat akar rumput seni tradisi di Jawa Timur.
Perjuangan Karya Budaya
Ludruk dalam percaturan seni tradisi Nusantara telah dianggap sebagai medan yang mengalami kebangkrutan eksistensi. Ia tak lagi mampu menampakkan jati diri secara lebih terbuka. La kalah bersaing dengan media hiburan yang lebih glamor dan populis serta setiap saat menyapa kita lewat layar kaca.
Namun, ludruk tak juga direlakan begitu saja untuk mati. Ia masih “dipelihara” karena dianggap sebagai ruang yang mampu mempresentasikan basis performa karakter kebudayaan Jawa Timur. Sejarah Jawa Timur adalah sejarah ludruk. Lewat lakon-lakon cerita yang dibawakan, ludruk telah mampu mengurai dengan tajam legitimasi prinsip hidup, perilaku, dan sikap masyarakat Jawa Timur.
Lihatlah bagaimana Sakerah, Sarip Tambak Yoso, dan Untung Suropati menjadi pokok tema cerita utama yang berusaha menarasikan semangat militansi perjuangan melawan ketertindasan. Ludruk menjadi katalisator ideal dalam meneriakkan jati diri masyarakat Jawa Timur hingga Gondo Durasim harus meregang nyawanya karena dianggap pemberontak oleh penjajah Jepang lewat lirik kritis kidungan ludruknya. Dengan demikian, melihat adalah melihat Jawa Timur.
Bukan satu hal yang aneh jika di era millenium kini kehidupan ludruk semakin tertepikan. Namun, uniknya, pada saat banyak kelompok ludruk saling silih berganti untuk tumbang dan lalu mati, Ludruk Karya Budaya Mojokerto (LKBM) justru mampu menunjukkan supremasi kejayaan hidupnya. (Itu) tak lain karena didukung pelaku dan pemain serta manajemen yang profesional.
Ludruk yang didirikan oleh Cak Bantu (sekarang dipimpin anaknya, Edy Eko Susanto) pada 1969 itu kim menjadi ludruk tertua di Jawa Timur yang masih dan mampu bertahan, bahkan pengeksis. LKBM menjadi rujukan penelitian berpagai kalangan intelektual kebudayaan, baik di Nusantara maupun dunia.
Darinya terlahir laboratorium seni pertunjukan yang mengutamakan kualitas konsep dan proses sebagai pijakan dalam setiap rentang pertunjukannya. Tak heran jika kemudian LKBM dilarang keras tampil di setiap perlombaan ludruk di Jawa Timur karena berlarut-larut selalu saja menggondol titel juara. Ia menjadi ludruk panutan, rumah idaman bagi setiap pelaku ludruk Jawa Timur.
Supali menjadi faktor penting di balik besarnya gaung LKBM. Berbicara LKBM berarti berbicara tentang Supali. Darinya senantiasa muncul rangkaian kejutan yang selama ini tak dimiliki kelompok ludruk lain. Sebut saja, misalnya, nuansa dagelan serta drama yang secara khusus menggunakan gending-gending karyanya.
Dia menjadi maestro lawak, yang namanya tidak semata mampu disandingkan dengan tokoh-tokoh ludruk lain, namun juga abadi di hati masyarakat pencinta ludruk Jawa Timur.
Akar Rumput
Supali hingga denyut akhir hidupnya masih mempersembahkan segala dayanya untuk ludruk. Dalam dilema sakit yang menderanya, dia masih berpentas melayani masyarakat di Malang (23 Desember 2011) walau harus tertatih-tatih menahan lara.
Dia bukan hanya hidup untuk ludruk, tapi juga menghidupi ludruk. Kesehajaan hidupnya telah mampu menarik hati masyarakat dan birokrat untuk terlibat langsung dalam garis karirnya. Menjadi bintang tamu dan pembawa acara hiburan di TVRI dan teve-teve serta radio lokal Jawa Timur sudah kenyang dijalaninya.
Dia senantiasa ditunggu dan kemunculannya dielu-elukan. Wilayah Jawa Timur telah dijajahnya. Ludruk telah bangkit dan hidup kembali olehnya. Kebolehan bermain dan melawak telah manarik beribu mata.
Lihatlah, tak kurang dari seribu orang senantiasa hadir dalam setiap pentas ludruknya. Hal yang mencengangkan untuk sebuah pentas seni tradisi yang saat ini dianggap “kolot” dan “kuno” oleh banyak kalangan.
Oleh karena keunikan itulah, forum studi kebudayaan di Jurusan Etnomusikologi lSI Surakarta pada 2008 menjadikan LKBM lewat Supali sebagai kelompok seni tradisi percontohan, sekaligus menjadi rujukan penelitian.
Namun, Supali tak jua sombong. Dia masih tetap sahaja dan santun kepada siapa pun, sadar bahwa dia hidup dan dihidupi oleh masyarakat. Supali menjadi palang pintu pemecah kebuntuan dalam nalar hidup yang semakin distorsi oleh himpitan ekonomi, politik, dan hukum yang tak lagi berpihak kepada masyarakat kecil.
Supali bak Sinterklas, memberikan hadiah berupa tawa dan senyum, melupakan derita masalah walau sesaat. Kepergiannya tak hanya meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi masyarakat pencinta ludruk, namun juga menjadi lubang kekhawatiran yang dalam bagi perkembangan ludruk Jawa Timur ke depan.
Sosoknya belum tergantikan. Itu wajar saja, karena di ludruk, regenerasi berjalan begitu timpang. Siapa dan generasi muda mana yang rela menggantungkan bidupnya sebagai pemain dan pelawak ludruk layaknya Alex Supali?
Padahal, bukankah waktu telah membuktikan bahwa kualitas peradaban suatu masyarakat terletak pada seberapa besar mereka menghargai seni tradisinya? Bibit-bibit baru pelaku ludruk tidak cukup dengan hanya ditunggu kemunculannya, namun juga “diciptakan” lewat berbagi forum dan ruang-ruang kebudayaan.
Supali memang telah tiada, namun semoga semangat dan militansi perjuangannya dalam dunia ludruk di Jawa Timir dapat diapresiasi secara lebih dalam. Menempatkan namanya sebagai “tokoh pejuang ludruk”, tonggak panutan bagi generasi seniman ludruk saat ini dan yang akan datang. Selamat jalan Cak Supali …. , sambutlah kini kehidupan baru lewat gemerincing merdu bunyi-bunyian surgawimu. (*)
Penulis adalah etnomusikolog, peneliti kesenian tradisi Jawa Timur pengajar di Institut Seni Indonesia (lSI) Surakarta
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Jawa Pos, Minggu 8 Januari 2012, hlm. 10