Surabaya Lahir dari Sebuah Kuti
Siapa akan menyangka kalau Surabaya, kota metropolis dengan hingar-bingar kehidupan 24 jam tiada henti, ternyata lahir dari sebuah ‘kuti’ relijius…
Siapa akan menyangka kalau Surabaya, kota metropolis dengan hingar-bingar kehidupan 24 jam tiada henti, ternyata lahir dari sebuah ‘kuti’ relijius Buddhis?
Adalah Prof. Heru Soekadri, penemu hari jadi kota Surabaya, yang menggulirkan pernyataan di atas dengan harapan agar ada penelitian lebih lanjut untuk dapat menyingkap asal usul komunitas pertama di Surabaya, termasuk sisi religinya, yang dalam hal ini adalah Buddhisme.
“Sebab berdasarkan sumber sejarah (tertulis) tertua yang ditemukan di kawasan delta Sungai Brantas, menyebutkan adanya prasasti dari tembaga (tamrah) ‘Waharu Kuti’ berangka tahun 840 Masehi,” jelas Heru saat ditemui Sinar Dharma di kediamannya di kawasan Rungkut Surabaya. Menurut Heru, Waharu Kuti merupakan daerah perdikan (Sima) pertama di Hujunggaluh yang statusnya ditetapkan langsung oleh Maharaja Rakryan Watukura Haji Balitung, raja Mataram Kuno periode tahun 838-910 Masehi yang berpusat di Jawa Tengah.
Kuti yang dimaksud merupakan pertapaan atau bangunan suci Buddhis, yang dibangun atas perintah raja Balitung. Kedudukan Waharu Kuti mengandung arti strategis dalam sistem pemerintahan kerajaan Mataram Kuno saat itu yang mana struktur administrasi kerajaan terdiri atas: pemerintahan pusat (Kraton), pemerintahan daerah (Watek/Watak) dan pemerintahan terkecil disebut Wanua atau Paruduan (Pedukuan = desa).
Lembaga penghubung antara Watek dan Wanua disebut ‘Sima’. Sima merupakan anugrah raja berupa tanah perdikan (bebas pajak) yang diberikan kepada kepala desa atau penduduk desa yang berjasa kepada kerajaan. Pemberian ‘Sima’ biasanya berimplikasi pada pemberian tugas untuk pemeliharaan bangunan suci atau pemeliharaan tempat-tempat penting dari segi ekonomis dan pertahanan bagi kerajaan. Penetapan status ‘Sima’ biasanya dilakukan langsung oleh raja atau pejabat tinggi kerajaan dan disaksikan para pejabat setempat dalam upacara kenegaraan, serta kerap ditandai dengan penempatan prasasti yang dibubuhi stempel kerajaan.
“Tentang status Sima Waharu Kuti, bisa dilihat juga pada isi prasasti Sangsang (907 Masehi) yang menyebut: I’kanang Wanua Waharu Kuti I Hujunggaluh Watak Lamwa,” lanjut Sang Profesor. Artinya, kuti di Wanua Hujunggaluh tersebut di bawah kekuasaan Watek Lanwa.
Jadi, Curabhaya (Surabaya) sebagai pengganti nama Hujunggaluh memang lahir dari sebuah Sima Waharu Kuti. Lantas, siapa yang membangun perkampungan kuno itu? Bangsa Indonesia atau bangsa asing?
Untuk ini Prof. Heru menyebutkan bukti prasasti yang lain, yakni prasasti Kencana berangka tahun 860 Masehi yang berisikan tentang pemberian tanah perdikan di daerah Bunggur Asana (Bunggurasih?). Prasasti itu juga menyebutkan adanya bangunan candi Buddhis di Bunggur Asana, pun dikenal adanya Juru China (ketua masyarakat China) dan Juru Keling (ketua masyarakat India). Dari bukti ini bisa disimpulkan bahwa komunitas awal di Surabaya dibangun dari kolaborasi multikultural berbagai bangsa yang hidup di delta Sungai Brantas.
Meski bukti bekas lokasi perkampungan Buddhis di kota Surabaya sudah tertelan zaman, namun secara toponimik (kajian sejarah berdasarkan warisan nama-nama kampung kuno), kita masih dapat menjumpai nama daerah seperti Kutisari, Waru (Waharu?) dan Bunggurasih (Bunggur Asana?).
Di segitiga Waru-Kutisari-Bunggurasih inilah kemungkinan lokasi perkampungan Buddhis kuno, yang merupakan cikal bakal kota Surabaya. (Zr)
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Sinar Dharma, Voc. 5, No.4, Kathina 2007, hlm. 65