Tuesday, November 5, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Nyadran di Makam Ibunda Sunan Giri, Kabupaten Sidoarjo

Baju Baru, Konvoi Tumpeng Desa Kepetingan alias Ketingan, Sidoarjo, pada harihari biasa begitu sunyi. Cuma ada sedikit rumah dengan sedikit…


Baju Baru, Konvoi Tumpeng

Desa Kepetingan alias Ketingan, Sidoarjo, pada harihari biasa begitu sunyi. Cuma ada sedikit rumah dengan sedikit orang. Hampir semua wilayah dihuni tambak, pohon dan satwa pantai.

Di desa inilah Ibunda Sunan Giri, Dewi Sekardadu, konon beristirahat sejak abad ke-14. Makamnya cukup megah karena beberapa tahun lalu dipugar Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Ada joglo untuk peristirahatan pengunjung. Namun tetap saja, di tengah deru angin kencang yang sesekali membawa air laut, kesan kesunyian dan keterpencilan makam initerasa.

Beberapa penduduk bercerita kalau kunjungan ke makam ini relatif jarang. “Yang datang biasanya adalah peminat ziarah wali. Atau kalau tidal.. ya peneliti, atau peminat masalah supranatural,” ujar Haji Waras, pemuka masyarakat.

Angka kunjungan meningkat menjelang upacara nyadran alias petik laut yang diselenggarakan setahun dua kali. Menjelang Ramadan dan Bulan Maulud. Beberapa penduduk desa ini hafal sejarah makam Dewi Sekardadu, dengan pakem seragam. Bahwa perempuan ini bernasib malang. Dia mencari-cari bayinya di tengah laut namun tidak menemukan. Yang terjadi, dia tewas, lantas digotong ikan-ikan keting untuk didamparkan di tempat ini, yang kini dinamai Desa Ketingan atau Kepetingan.

Putri Blambangan yang Malang

Sekadar mengingatkan, Dewi Sekardadu sesungguhnya adalah putri Prabu Menak Sembuyu, Penguasa Kerajaan Blambangan, Banyuwangi, pada abad ke-14. Samadi, juru kunci makam menjelaskan, Blambangan suatu ketika didera wabah penyakit. Dewi Sekardadu sendiri sakit. Tabib-tabib terkenal didatangkan namun tak satu pun yang bisa menyembuhkan penyakit, baik Dewi Sekardadu maupun warga desa.

“Raja pun membuat sayembara, barangsiapa bisa menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu, ia berhak menjadi suami sang dewi jelita itu. Namun lagi-Iagi tidak ada yang bisa menyembuhkan. Hingga akhirnya, Prabu Menak Sembuyu bermimpi bahwa yang bisa menyembuhkan putrinya adalah ulama

Muslim bernama Syeh Maulana Iskak yang berdiam di sekitar Gresik, Jawa Timur,” beber Samadi. Maka diutuslah patih kerajaan untuk menemui Syeh Maulana Iskak. Syeh Maulana Iskak pun berangkat ke Tanah Blambangan. “Singkat cerita, Dewi Sekardadu berhasil disembuhkan. Maka, dinikahkanlah Syeh Maulana Iskak dengan Dewi Sekardadu.

Setelah menikah mereka tinggal di Blambangan. Syeh Maulana Iskak sangat disayangi pend·uduk Blambangan,” kata Samadi. Orang-orang kepercayaan raja mengail di air keruh. Mereka juga tidak rela rakyat demikian menyayangi Syeh Maulana Iskak. Intrik demi intrik dilakukan, hingga raja semakin membenci Syeh Maulana Iskak. Bahkan Dewi· Sekardadupun tidak lagi akur dengan suaminya. Syeh Maulana Iskak akhirnya meninggalkan· istana untuk berdakwah di tempat lain. Saat itu Dewi Sekardadu hamil-tua.

Bayi yang dikandung Dewi Sekardadu lahir tahun 1365 M. Namun bayi tersebut tidak diinginkan para petinggi kerajaan yang haus kekuasaan. Bayi tersebut diculik, ditempatkan di sebuah peti yang kemudian dipaku dan dibuang ke laut. Itusebabnya bayi tersebut juga dinamai Raden Paku.

Mengetahui anaknya dibuang ke laut, Dewi Sekardadu menceburkan diri, mengejar-ngejar anaknya di laut. Dewi Sekardadu tak bisa mengejar peti yang terapungapung di laut, lantas meninggal.

Di wilayah Balongdowo Sidoarjo, pada tahun 1365 tersebut, para nelayan sedang mencari ikan dan kerang di laut. Mereka dikejutkan dengan serombongan ikan keting yang ramai-ramai menggotong jasad seorang wanita cantik, yang diyakini Dewi Sekardadu. Jasad yang akhirnya  didamparkan ikan-ikan keting di pantai, lantas dikubur secara terhormat oleh warga. Tempat itu akhirnya dinamakan Ketingan alias Kepetingan.

Bagaimana dengan bayi Dewi Sekardadu yang terapung-apung itu? Selamatkah dia? Ternyata bayi tersebut selamat. Seorang pengusaha kapal ikan perempuan mengambil bayi yang kemudian dinamai Raden Paku dan dikenal dengan sebutan Sunan Giri tersebut.

Namun kisah Dewi Sekardadu ini punya banyak versi. Beberapa tempat seperti Gresik dan Lamongan, konon juga diakui sebagai makam Dewi Sekardadu. Entah versi mana yang benar. Namun nelayan-nelayan di sini sangat yakin, makam Dewi Sekardadu yang asli ya yang di kampong mereka.

 

Upacara Nyadran

Makam Ibunda Sunan Giri tersebut, sangat dimuliakan masyarakat nelayan Sidoarjo. Setiap tahun, saat bulan Maulud dan menjelang Ramadhan, upacara terbesar nelayan pesisir Sidoarjo nyadran atau petik laut dipusatkan di makam ini.

Awal Maret 2010 nelayan pesisir Sidoarjo menggelar nyadran. Sejak pagi para penduduk kampung Bluru Kidul yang sebagian besar kaum nelayan, telah berkumpul di tempat yang biasa mereka pakai sebagai dermaga. Sebagaimana hari raya Idul Fitri, kali ini penduduk pun berpakaian serba baru. Mereka satu persatu, juga. anak-anak naik perahu. Jumlah perahu sekitar 3D-an dan beberapa di antaranya berhiaskan hasil bumi seperti sayur dan buah-buahan. Di dalam perahu-perahu itu telah ada tumpeng.

Makam Dewi Sekardadu dipenuhi penduduk yang bergantian untuk nyekar. Puluhan tumpeng dan sesajen dibawa ke dalam masjid. Ayat-ayat AI Quran juga dikumandangkan. Setelah itu, tumpeng pun dibagikan untuk siapa saja yang memerlukan. Beberapa tumpeng memang disediakan untuk dilarung ke laut, dan ini tentu saja dibawa kembali ke dermaga. Penduduk pun kembali naik perahu, beriring-iring menuju tengah laut, tempat melarung tumpeng. Kebersamaan benar-benar tampak di sini. Even ini ternyata sanggup mempererat tali persaudaraan antar mereka.

Kegiatan semacam ini, sepanjang filosofinya diketahui dan pesan-pesan moral terbaiknya diamalkan, bukankah akan membuat dunia kita yang carut marut ini jadi lebih baik? Bukankah nyadran yang erat kaitannya dengan bersih-bersih ini merupakan kegiatan untuk semakin mendekatkan kita kepada jagat kecil, yakni diri kita, dan jagat besar, yakni semesta ini? Semestinya, kegiatan yang sarat pesan moral dan pastinya ramah lingkungan tersebut tak ada alasan buat ditampik, dicurigai, atau dihujat. (vitri)

 

TEROPONG, Edisi 51, Mei-Juni 20101, hlm. 43