Batik Pacitan
Mengemas Batik “Amoh” Menjadi Komoditas Berkelas Batik Warna Alam yang Memberi Warna Pacitan. Namanya pendek saja, SAJI Merupakan nama orang…
Mengemas Batik “Amoh” Menjadi Komoditas Berkelas
Batik Warna Alam yang Memberi Warna Pacitan. Namanya pendek saja, SAJI Merupakan nama orang sebenarnya. Belakangan, Saji menjadi merk sebuah produk kain batik tulis berkelas asal Pacitan. Saji tidak saja menjadi terkenal karena pewarna alam untuk kain batiknya, tetapi juga memberi warna tersendiri untuk Pacitan yang alamnya terhimpit gunung-gunung tak terbayangkan. Makin memasyarakatnya kain batik di tanah air pada dua dasawarsa terakhir membawa cerita tersendiri bagi masyarakat Pacitan. Bahwa, ternyata, di kabupaten yang letaknya nun jauh di ujung barat daya provinsi Jawa Timur, yang wilayahnya dihimpit panorama bergunung-gunung dan kerap kali aksesnya dengan “dunia luar” terputus karena satu-satunya jalur transportasi darat diterpa tanah longsor ketika musim hujan tiba, memiliki tradisi batik tulis dengan pamor menawan.
Tidak saja corak batiknya memiliki karakter kuat dan khas, pamor menawan itu masih dipadu dengan teknik pewarnaan natural dyes atau yang lebih dikenal dengan warna alam. Yaitu, warnawarni untuk membatik yang bahannya berasal dari bermacam daun, kulit, dan akar-akaran pohon yang diolah, dicampur, dengan tanaman atau buah-buahan tertentu dari tegalan maupun hutan. Teknik pewarnaan yang sebenarnya sudah sangat lama ditinggalkan, namun kini hidup kembali seiring dengan munculnya gerakan kesadaran untuk kelestarian alam. Sebelum batik Pacitan dikenal masyarakat luas, orang mengenal tempat asal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini hanya sebagai daerah yang dikelilingi gugusan pegunungan kapur. Untuk mencapainya, orang harus membelah gunung dan hutan dengan jalan yang berkelok-kelok tajam. Sebagian berlubang-Iubang dan ada beberapa bag ian ruasnya longsor tergerus air yang meluncur dari atas gunung yang gundul. Bergunung-gunungnya tanah Pacitan memendam kekayaan batu mulia dalam jumlah besar.
Salah satu jenis batu mulia yang dihasilkan dan menjadi terkenal bahkan melegenda adalah batu akik. Karena itu, sejak lama Pacitan lebih dikenal memiliki komoditas batu akik berkualitas ekspor. Kini setelah Pacitan mempunyai batik tulis warna alam yang berpamor menawan, perburuan kerajinan unggulan daerah oleh para kolektor tidak lagi terkonsentrasi pada batu akik, tetapi juga kain batik. Dan Saji, adalah salah satu merk batik dengan warna alam yang sedang digandrungi para kolektor batik dari dalam dan luar negeri.
BATIK “AMOH”
“Orang di sini bilang, batik saya ini adalah batik amoh. Semakin warnanya terlihat amoh, semakin mahal pula harganya,” ujar Bu Saji dengan tawa berderai kepada Tim TEROPONG yang mengunjungi rumah sekaligus tempat memproduksi batik tulis miliknya di Jalan Buono Keling, Sukoharjo,
Pacitan, Jawa Timur. Para kolektor batik, lanjut dia, malah memprotes dan kurang percaya jika kain batik warna alam malah terlihat terang benderang. “Yang seperti itu malah dibilang warna alam yang aspal alias asli tapi palsu.” Amoh dalam bahasa Jawa berarti rusak. Kata amoh kerap berpasangan dengan kata gombal. Gambal amah berarti kain rusak. Jadi, ketika “Batik Tulis Saji” warnanya makin terlihat seperti gambal amoh, komoditas unggulan baru dari Pacitan ini justru makin berharga tinggi. Mampu mengalahkan jenis batik tulis lain dengan pewarna kimia yang notabene malah terlihat bagus dan kinclang dari segi warna. Dan lagi lebih terlihat cerah dan seperti kain baru yang keluar dari produksi pabrik kain.
Sukses Batik Tulis Saji tidak semata karena booming kain batik di negeri ini yang diawali dari kebijakan pemerintah untuk melestarikan warisan budaya. Menurut Bu Saji, jauh sebelum batik memasyarakat seperti sekarang, keluarganya sudah bergelut dengan canting dan batik. Keluarganya adalah sebagian kecil dari keluarga-keluarga di Pacitan yang turuntemurun mengusahakan kain batik menjadi komoditas untuk menopang hidup. Dituturkan lebih jauh, keluarga Saji sempat menarik diri dari produksi batik tulis yang dilakoni turun-temurun tersebut. Keputusan itu diambil karena lesunya pasar kain batik. Apalagi, saat itu, batik tulis tak mampu bersaing harga dengan murahnya jenis kain batik cap dan batik printing bikinan pabrik. Tak hanya keluarga Saji yang terpuruk, keluarga pembatik lain yang jumlahnya tak seberapa juga terpaksa menutup usahanya. Keluarga Saji, berikutnya, menopang hidup dengan mengolah tanah dan bercocok tanam.
Menjadi petani. Namun, membatik bagaimana pun adalah warisan turun-temurun. Sungguh sayang warisan ini kalau ditinggalkan begitu saja. Di tahun 1980-an, keluarga Saji kembali bergelut dengan batik. Hanya bedanya, kalau dulu, membatik adalah membantu usaha orang tua, sedang saat itu usaha batik diwariskan kepadanya. Pasangan Saji (Pak dan Bu Saji) yang saat itu merasa muda dan bertenaga kemudian merombak manajemen produksi batik tu run-temurun tersebut. Ritme usaha juga dirombak sedemikian rupa sehingga produksi mampu berjalan secara kontinyu. Untuk membuat gebrakan, pertamatama 10 orang pekerja direkrut. Semuanya adalah para tetangga di sekitar rumah. Mereka diajak membatik selesai bekerja di sawah atau setelah mengurus rumah tangganya. Gebrakan tersebut ternyata membawa hasil yang lumayan. Sembari mengedarkan batik dari pasar ke pasar, Bu Saji mengaku menitipkan hasil batikannya ke toko-toko kain.
Tentu saja toko-toko yang mau dititipi kain batik. Untuk motif-motif batik yang laku dipasaran kemudian dicoba dikembangkan. Pak Saji-Iah yang kemudian kebagian tugas menjadi desainer dari karya-karya batik itu. Sembari memperkaya khasanah batik produksinya, dengan adanya motif-motif baru membuat pasar tidak jenuh dan bosan dengan batik. Motif batik yang berhasil dikembangkan oleh keluarga Saji di antaranya motif lumbu, wahyu temurang, gringsing, latulip, pace, sekar, lung-lung ayu dan lainnya.
Seiring munculnya tren batik dengan pewarn a alam yang juga sering disebut indigo, Batik Tulis Saji tak pelak turut ketiban berkah. Motif-motif yang sudah berhasil dikembangkan dan berhasil mengundang minat masyarakat kemudian diproduksi dengan teknik pewarna alam. Meski kemudian harganya melambung tinggi ketimbang batik cap atau printing, batik tulis ini malahan justru menjadi terkenal dan diminati masyarakat.
KOLEKTOR MANCANEGARA
Dari semula hanya mempekerjakan 10 orang, kini Batik Tulis Saji memiliki tak kurang dari 50 orang karyawan. Omzet usaha batiknya juga membengkak pesat, Mampu menembus angka di atas 100 juta rupiah per bulan. Sebuah omzet yang bukan main-main. Setelah sekian lama bergelut dengan batik warna alam, di Jawa Timur, Batik Tulis Saji cukup memiliki nama besar. Pasarnya pun juga kian melebar hingga keluar wilayah Pacitan yang terhimpit pegunungan. Pasar potensialnya di dalam negeri adalah Jogjakarta, Bandung, Jakarta, Pontianak. Sedangkan pasar luar negeri yang sudah menjadi pelanggannya adalah Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat. Tren batik warna alam yang kian diminati pasar, membuat keluarga Saji mulai meninggalkan pewarna batik dari bahan kimia. Saji mulai belajar dan rajin meramu sendiri bahan-bahan alam yang digunakan untuk pewarna batik. Bahan-bahan alami yang diperlukan untuk meramu warna batik di antaranya adalah kulit pohon mangga, buah mohoni, buah ketapang, koncer, bluluk kelapa , daun suji, daun pandan, dan seterusnya. Bahan-bahan tersebut jika direbus dan diolah dengan cara tertentu akan menghasilkan warna-warni batik yang sangat bagus, tahan lama, aman serta ramah lingkungan.
Proses membatik dengan warna alam prinsipnya sama dengan membatik umumnya. Namun untuk mendapatkan kualitas warna yang prima, batik warna alam membutuhkan sedikitnya empat kali proses’ pencelupan di dalam bejana-bejana warna. Prosesnya, pertama-tama kain yang akan dibatik direndam terlebih dahulu dengan air tawas 1 x 24 jam. Setelah kering, kain dikanji tipistipis baru kemudian dipola sesuai dengan desain yang diingingkan. Ketika pola sudah jadi, selanjutnya kain dibatik sesuai dengan motif-motif yang sudah terpola. Pola kemudian ditutup dengan warna. Pencelupan ke mewarnai dilakukan hingga 3 sampai 4 kali. Setelah semua proses pewarnaan selesai, hasil batikan dilorot atau direbus dengan air panas direbus dengan air panas untuk menghilangkan malam yang masih menempel pad a kain. Kain batik kemudian diangin-angin hingga kering dan selanjutnya siap dipaking dan dipasarkan. Untuk satu potong kain Batik Tulis Saji warna alam, harga yang dipatok berkisar antara 400-600 ribu rupiah. Itupun juga masih tergantung dengan tingkat kerumitan motif batik yang diinginkan. Jika motif batik memiliki kerumitan yang tinggi, juga membutuhkan pewarnaan yang lebih banyak, harga jelas melewati patokan harga yang ditentukan.
Sementara untuk batik dengan pewarna kimia, untuk harga per potong-nya jauh di bawah yang menggunakan warna alam, yaitu berkisar antara 100-250 ribu rupiah. Menyadari segmentasi pasar batik, dan agar usaha turun-temurun itu tetap berjalan, keluarga Saji tetap mengakomodasi pasar. Bagi sebagian besar masyarakat Pacitan, harga kain batik warna alam boleh jadi adalah harga yang tak terbeli. Sebab itu, batik dengan harga terjangkau tetap diupayakan berproduksi untuk menjangkau pasar ekonomis. “Apalagi orang Pacitan tidak begitu menyukai batik amoh yang harganya teryata malah mahal,” pungkas Bu Saji masih diiringi dengan derai tawa meski kali ini sedikit terdegar pahit. (widi antoro)
TEROPONG edisi 57 Mei – Juni 2011