Monday, October 14, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Boneka Kattok Khas Bondowoso

Tatap Jengah Boneka Kattok Masih Ingat Serial Unyil? Ini Lebih Unik, Ludruk Boneka Kattok Khas Bondowoso. Sekitar pertengahan abad 20,…


Tatap Jengah Boneka Kattok

Masih Ingat Serial Unyil? Ini Lebih Unik,
Ludruk Boneka Kattok Khas Bondowoso.

Sekitar pertengahan abad 20, Kabupaten Bondowoso Jawa Timur memiliki kesenian rakyat yang sangat unik, tak kalah dibanding serial Unyil yang pernah booming di tahun 30-an. Hanya, kesenian rakyat yang kemudian dikenal dengan Ludruk Boneka Kattok ini tidak pernah tayang di televisi nasional, tapi justru menjadi konsumsi orang luar negeri. Kantor Berita CNN pernah membuat liputan tentang ludruk boneka ini. Dinas Kebudayaan Jepang dan Komunitas Pecinta Seni Rakyat asal Belanda, pernah membuat film yang tokoh-tokohnya diperankan oleh boneka yang terbuat dari kayu itu.

Sayang, sebagaimana nasib seni tradisi atau seni rakyat di negeri ini, ludruk boneka tak terdukung untuk pengembangannya. Untung ada pecinta dan pelaku seni yang tetap kukuh mempertahankan eksistensi boneka kattok. Sebut misalnya, Ramidin sebagai ketua rombongan, dan Karyadi SM, Seksi Promosi Kantor Pariwisata, Seni dan Budaya (Parsenibud) Bondowoso, yang sekaligus bertindak sebagai dalang dalam banyak pertunjukan.

TOK, TOK, KATTOK
Ramidin, 70, adalah generasi kedua setelah Ardji. Kata Ramidin, Ardji inilah yang dulu melahirkan kesenian ludruk, khususnya di Desa Ponco Gati, Kecamatan Curahdami, Bondowoso, sekitar tahun 1920-an. Kesenian ludruk ini dulu sangat digandrungi masyarakat setempat. Tema-tema yang diangkat sangat kental dengan keseharian masyarakat. Tapi, kesenian ini dituduh sepihak oleh Jepang dan dianggap menggerogoti eksistensi kekuasaan Jepang. Ludruk ini pun dibekukan.

Ardji tidak mau kehilangan kesenian itu. Tokoh-tokoh ludruk itu pun dibuat boneka, dan disimpan. Hingga ketika Jepang hengkang dari bumi nusantara, seni ludruk itu kembali dipertunjukkan. “Tokoh boneka dari kayu itu mula-mula hanya sebagai selingan untuk mengisi waktu dalam pertunjukan ludruk. Peran yang dimainkan tokoh boneka masih terbatas, seperti sebagai pemain silat,” kata Ramidin.

Saat boneka itu dimainkan dalam pertarungan silat, misalnya, menimbulkan bunyi tok-tok, sehingga kemudian dikenal orang setempat sebagai boneka kattok. Karakter yang kuat muncul pada diri tokoh-tokoh adalah karakter Madura. Tentu ini tidak lepas dari kebanyakan orang Bondowoso yang keturunan Madura.

Seiring perkembangan, tokoh-tokoh boneka menggeser peran-peran pemain ludruk sesungguhnya yang lambat laun makin berkurang. Hingga akhirnya peran-peran tokoh semua diwakili boneka. “Dulu, bentuk boneka masih kecil. Tidak seperti sekarang yang ukurannya lebih besar,” kata bapak empat anak ini.

Ramidin yang berguru dan ikut ludruk pimpinan Ardji sejak kanak-kanak turut menjadi saksi naik-turunnya kejayaan ludruk boneka. Ia sangat setia mendampingi Ardji dalam tiap pertunjukan. Hingga kemudian ia dipercaya untuk meneruskan perjuangan melestarikan ludruk boneka, setelah Ardji meninggal di tahun 1976. Setelah Ramidin memimpin rombongan, pusat Ludruk Boneka Kattok berpindah ke desanya di Desa Kuto Kulon, Kecamatan Budas, Bondowoso.

Sosok Ramidin tergolong paling menonjol diantara mereka yang berguru kepada Ardji, karena dia memiliki kemampuan seni yang hebat. Ia tidak hanya pandai memainkan boneka kattok, tapi sekaligus pandai membuat boneka yang dibentuk dari kayu randu itu. Katanya, satu tokoh boneka dapat dibuat oleh Ramidin dalam 4 hari. “Tapi ya tergantung kehendak hati juga. Kadang karakter tokoh yang sulit pun bisa diselesaikan dalam waktu cepat,” tambahnya. Kini, jumlah boneka yang dimiliki puluhan jumlahnya.

Selain pandai membuat boneka, ia juga pandai melukis yang kemudian lukisan itu digunakan sebagai setting atau lokasi tempat pendukung sebuah tema cerita. Ada lukisan pemandangan sebuah desa, hutan, jalan, bangunan gedung dan sebagainya. Lukisan itu dikaitkan sedemikian rupa dalam gulungan, sehingga memudahkan untuk menampilkannya dalam setiap scene pertunjukan.

UNIK DAN DINAMIS
Upaya Ramidin mempertahankan kesenian tradisi ini tidak mudah. Seperti diakui, ia lebih mudah memainkan boneka dalarn pertunjukan biasa, bukan dalarn balutan tema tertentu. Kalau ada permintaan untuk memainkan dengan tema khusus, maka Karyadi ketiban sampur untuk menjadi dalangnya.

Dengan demikian, kemunculan Karyadi ikut menyelamatkan seni tradisi ini dari kepunahan. Kebetulan pula Karyadi seorang seksi promosi di Kantor Parsenibud Bondowoso, yang keterampilan seninya juga luar biasa. Ia dikenal sebagai dalang wayang kulit, pemain drama, dan ia juga seorang pembawa acara.

Perjumpaan Ramidin dan Karyadi terjadi pada tahun 50-an. Karena kecintaan Karyadi terhadap seni tradisi, menyebabkan jiwanya terpanggil untuk menggandeng kelompok kesenian rakyat pimpinan Ramidin itu dan mempromosikannya hingga ke luar Bondowoso. Daerah yang sudah disinggahinya antara lain Jember, Banyuwangi, Situbondo, Surabaya. Bahkan pernah tampil di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.

Setiap pertunjukan yang melibatkan dua insan seni ini, menjadikan ludruk boneka ini diserbu pengunjung. Di masa jayanya dulu, konser dangdutpun kalah ramai. “Pernah pagar pembatas terop sampai ambruk karena saking banyaknya penonton,” candanya.

Tema cerita yang diangkat, menurutnya, biasanya menyangkut cerita keseharian masyarakat. Bebas tidak terikat pakem tertentu. “Tergantung permintaan pengundang,” cetusnya. Tema yang sering diangkat seperti Sakerah, sang pendekar dari negeri Madura. Atau cerita rakyat Timun Mas. Tema-tema semacam itu kerap ditampilkan dalam resepsi pernikahan, atau sunatan.

Dalam dongeng Timun Mas, boneka yang tampil 4 tokoh, antara lain si Timun Mas sendiri, ibu, dukun, dan raksasa. Cerita Sakerah dimainkan lebih banyak lagi sekitar 7 tokoh. “Jumlah boneka yang tampil sesuai dengan cerita. Kadang butuh tiga tokoh atau lebih,” kisahnya. Untuk tema tertentu, maka sang dalang paling berperan. Atur dan lawakan sudah ditata sedemikian rupa olehnya.

Ludruk boneka sering pula diundang pemerintah untuk program penyuluhan. Temanya seputar pembangunan desa, pengairan, dan pentingnya belajar. Dalam kesempatan ini, boneka yang dimainkan adalah anak-anak dengan si Udin sebagai tokoh sentralnya. “Kalau Unyil terkenal dengan unik dan ilmiah, tapi Udin terkenal dengan unik dan dinamis,” kata dalang Karyadi, “temanya tentu seputar pentingnya sekolah, dan lain-lain.”

Jumlah boneka yang tampil sesuai dengan cerita. Kadang butuh tiga atau tujuh tokoh, sesuai tema yang dimainkan.

Sebagaimana ludruk, pada setiap pertunjukan ada yang berperan sebagai penari remong (remo) dan pelawak. Dalam cerita anak, si Udin biasanya yang bertindak sebagai pemain lucu. Musik pengiringnya, rebana dan seruling. Selain itu, kata Karyadi, alat musik tradisi yang meningkahi pertunjukan, antara lain tam-tam atau chalte dalam musik dangdut yang berfungsi sebagai gending. Ada terompet, irama kendang dari bumbung bambu yang salah satunya dikaret, dan gitar chuck untuk menghadirkan melodi.

Setiap tokoh yang tampil digerakkan oleh pemain pendukung dalang, yang semua itu dimainkan oleh keluarga Ramidin. “Tak ada orang lain selain isteri, anak, atau kemenakan (Ramidin, red) yang rata-rata buruh tani. Orang dari luar cuma saya,” tukas Karyadi.

MODERNISASI

Kini, cerita Ludruk Boneka Kattok makin berkembang. Selain cerita seperti Timun Mas atau Sakerah, misalnya, cerita kekinian pun suka-suka diangkat sebagai tema. Bahkan, boneka kattok memainkan satu grup band, dan sebagainya. Sejak Karyadi terlibat sebagai dalang, selain tema yang dikembangkan, kostum juga mengalami pembaruan.

Secara khusus Karyadi mendanai untuk pembuatan kostum. “Kebetulan isteri saya sendiri yang menjahitkan,” ungkapnya. Kostum itu tetap kental dengan karakter Madura. Termasuk riasan boneka, yang terus dimodifikasi. Sehingga, satu kesempatan mungkin sebuah boneka memerankan tokoh tertentu, pada kesempatan lain memerankan tokoh lainnya, dengan kostum yang berbeda.

Upaya demikian tidak lepas dari keinginan Karyadi untuk melakukan modemisasi. Sehingga suatu saat, katanya, tidak menutup kemungkinan menghadirkan tokoh-tokoh itu sebagai sebuah grup band. Ada vokalis wanitanya, ada gitaris, peniup seruling dan penabuh drum. Setidaknya ini sudah dicoba dan melengkapi boneka itu dengan peralatan musik layaknya pemain band sungguhan.

Bahkan, cetusnya, kelompok ludruk boneka perlu menghadirkan penyanyi sungguhan dengan iringan musik pengiring dari CD pemutar lagu. “Ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi selera penonton yang suka musik-musik modern, seperti rock, pop, bahkan dangdut.

Lebih dari itu, agar lebih mudah memainkan peran-peran tokoh dalam cerita, Karyadi berkeinginan mengubah sedikit pada rancang-bangun boneka kattok. Tujuannya, agar boneka kattok lebih mudah digerakkan, misalnya, dengan mengubah struktur fokus penggerak tidak dari dalam boneka, tapi mungkin dari luar juga. Apakah ini bisa dilakukan? Tak mudah menjawab, saran tak mudahnya dengan mempertahankan kesenian tradisional yang kian terpojok. _ husnul m /foto : m ismuntoro

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Mossaik, maret 2006, hlm. 32.