Masakan Jawa Timur , ke Istana Negara
Dari Jawa Timur ke Ista Negara Dalam jamuan makan malam menyambut HUT RI ke-60 di Istana Negara, sejumlah menu khas…
Dari Jawa Timur ke Ista Negara
Dalam jamuan makan malam menyambut HUT RI ke-60 di Istana Negara, sejumlah menu khas Jawa Ttmut dipajang untuk para tamu Negara
Gaung peringatan Hari Proklamasi ke-60 bulan Agustus lalu . mulai reda, namun tidak di hati duta makanan khas Jawa Timur yang diundang ke Istana Negara. Mereka adalah, suami-istri Mu yadi, pernilik rawon Suroboyo, HM Syafi, pemilik soto Madura Ria, Listianto pemilik sate ayam Ponorogo (Lisidu) dan Kusnadi pemilik pecel Madiun bu Kus. Bersama Ketua Forum Intelektual 45 Jawa Timur H. Achmad Zaini. Duta makanan ini turut menyajikan hidangan khas Jawa Timur pada perayaan puncak Kemerdekaaan di Istana Negara.
Rawon, soto, sate dan peeel semua adalah makartan tradisional, namun di aeara ini hidangan tersebut naik daun, sebab sajian sederhana justru jadi incaran para petinggi negara, mulai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Yusuf Kalla, para menteri dan duta besar. Hidangan ini laris manis, tidak hanya selama aeara ini berlangsung tapi usai aeara banyak tamu yang meminta dibungkus. Masih banyak eerita menarik selama aeara berlangsung. Mulai ketatnya pengawasan, pemeriksaan makanan dan antusias pejabat yang rela antri untuk mencicipi hidangan ini.
Di balik kesuksesan membawa nama makanan J awa Timur ke Istana, temyata para pemilik makanan ini juga memikul tanggung jawab besar, karena para pernilik ini turun langsung mengawal sendiri bahan makanan dati Surabaya ke Jakarta. Setiba diJakarta pemilik ini pun tidak ongkangongkang kaki, sebab mereka segera menyingsingkan lengan untuk mulai memasak, bukan karena tidak mampu membawa anak buah, tapi ada batasan hanya dua orang saja yang boleh mas uk ke Istana.
Kini kerja keras mereka tidak sia-sia. Ketua MPR Hidayat Nurwahid, sudah meminta para pemilik makana.n ini, untuk turut serta dalam jamuan makan malam puneak peringatan RI tahun depan, yang reneananya akan dilangsungkan di Monas. Tapi bagaimana persiapan mereka berangkat ke Jakarta, dan mengapa mereka yang terpilih mewakili makanan khas Jawa Timur, tentu juga hal menarik untuk disimak di sini.
Pecel Bu Kus, Rempeyek-nya Jadi Rebutan
Jika bukan karena pengalaman, tidak mungkin sayur-mayur bahan pecel bisa bertahan hingga delapan jam lebih. “Ini semua memang ada rahasianya,” kata Kusnadi atau akrab disapa Pak Kus pemilik pecel Bu Kus. Tanpa mau membuka bagaimana trik menjaga sayuran tetap fresh, Pak Kus mengisahkan jika . di Istana Negara masuk aeara makan pada pukul delapan malam, padahal rebus an sayuran sudah siap sejak pukul 12 siang. “Syukurlah, sayuran tetap segar dan tidak berubah warna,” lanjutnya.
Menu peeel memang banyak menggunakan sayuran, saru hari sebelum pelaksanaan di Istana, sayur-sayuran seperti daun pohong, daun pepaya,kenikir dibawa dari Surabaya. Sayuran ini lebih dulu direbus sampai matang, lalu disimpan dalam wadah pendingin. Untuk sayuran lain seperti tauge, kemangi lamtoro dan kaeang panjang, Pak Kus sudah mengontak anaknya di Jakarta untuk menyiapkan lebih dulu.
Mengenai keberangkatan ke Jakarta, pada awalnya ia mengaku ragu dapat tawaran dari Pak Zaini untuk membawa peeel Bu Kus ke Jakarta, tapi setelah tahu ia bakal berpartisipasi dalam aeara puneak kemerdekaan, rasa senang dan bangga, eampur aduk di dalam hatinya. “Saya tidak melihat besarnya uang yang saya terima, tapi kebersamaan dengan pemilik lain, dan membawa nama Jawa Timur ke Istana merupakan hal yang tidak bisa dinilai,” tuturnya.
Rasa kebersamaan ini juga yang mendorong Pak Kus membatalkan niat naik pesawat ke Jakarta, dan memilih naik bis bersama rombongan lain. Untuk tampilan, ia mengaku berusaha memberikan terbaik, karena menyangkut nama baik peeel Bu Kus dan membawa nama Jawa Timur.
Mempersiapkan sebaik mungkin, mulai peralatan, ia sengaja membeli khusus untuk digunakan hanya pada aeara ini. Seperti tempat sambal,
Kulupan, bumbu, serundeng dan lalapan. “Biar cuma peeel, saya berusaha sajikan semewah mungkin,” kata Pak Kus, yang berangkat bersama istri dan seorang anaknya.
Pengalaman menarik lain, kata Pak Kus, ia cepat mengintip dapur Istana. “Ternyata dapur lstana tidak beda dengan dapur orang kebanyakan, ada beberapa kompornya tidak berfungsi, sama seperti kompor kita-kita juga,” terangnya . Di dapur Istana inilah ia mempersiapkan pecel. Antara dapur Istana dan Jamuan makan berjarak 100 meter, ia pun harus wira-wiri gotongan. “Waduh capeknya, bukan karena jaraknya tapi karena saya harus bolak balik,” jelasnya.
Dalam menata pecel, Pak Kus menempatkan pada wadah tersendiri untuk hap sayuran, dan bumbu terdiri tiga macam, yaitu pedas, setengah pedas, dan tidak pedas. Urapan pecel ini dihidangkan memakai pineuk, soal alas daun pisang ternyata ada kisah tersendiri, daun pisang ini eukup istimewa, karena dipilih daun pisang paling panjang, dan berwarna hijau tua terang. “Pincuk ini diletakkan di atas piring kepresidenan yang ada tanda garuda,” kenangnya.
Sebagai teman makan pecel, ia menyiapkan ayam goreng, empal goreng dan rempeyek. Ada dua jenis rempeyek, yaitu peyek kacang dan teri. “Luar biasa respon mereka terhadap rempeyek, apalagi Pak SBY, beliau sampai minta satu toples,” katanya tersenyum. Dari dapur Istana, Pak Kus mendapat informasi sebenarnya sudah ada koki khusus untuk membuat rempeyek, tapi rasanya kalah gurih dengan rempeyek buatannya.
Bagi Pak Kus pengalaman di Istana Negara, memberikan kesan yang tak terlupakan, bahkan sudah ada tawaran tahun depan dirinya bakal diundang hadir lagio “Saya benar-benar tidak menyangka, seorang bakul pecel seperti saya bisa dating ke Istana Negara, bahkan sempat berjabat tangan dengan mereka,” kata Pak Kus berseri-seri, Ia tidak menyangka berkat peeeinya, ia bisa berhadapan langsung dengan para pejabat negara, mulai duta besar, menteri dan pejabat lain di Istana
Sate Lisidu Lontong pun Disensor
Tak tanggung-tanggung, sebanyak tujuh peti berisi peralatan memasak, diboyong Listianto, menuju Istana negara. Sate khas Ponorogo atau lebih populer dengan nama sate Lisidu ini, terpilih sebagai salah satu makanan yang terhidang di acara puncak HUT ke-60, bulan Agustustus lalu. Untuk acara ini pria yang akrab disapa Lisidu ini menyajikan 3000 tusuk sate.
Saya sempat tidak percaya ketika diajak Pak Zaini pergi ke Istana,” kata Lisidu menuturkan kisahnya. Wajar saja kalau ia merasa ragu, karena Lisidu mengaku baru pertama kali kenaI dengan sosok Zaini. “Saya khan orang kecil, jadi mikirnya macam-macam,” lanjutnya. Setelah diperlihatkan surat dari Istana dan melakukan pertemuan dengan Ketua Forum intelektual 45, akhirnya disepakati untuk berangkat bersama-sama rombongan pada tanggal 16 pagi Selain mempersiapkan peralatan, Lisidu mengajak serta soertini, sang istri dan Eigian anaknya nomor dua.
“Kami serombongan berangkat ke Jakarta. Saya membawa semua bahan dan peralatan dari Surabaya. Mulai daging ayam, alat panggan kipas dan arang,” jelasnya. Pria yang identik dengan gaya kuncir rambutnya menuturkan, jika selama di sana pengamanan sangat ketat banyak batasan yang tidak boleh dilanggar. Misalnya sebelum disajikan semua makanan harus diperiksa. “Mulai lontong bawang merah, bumbu dan kecap juga dibawa panitia untuk diperiksa sebelum masuk ke Istana,”jelasnya.
Demikian juga untuk menjaga stand hanya diijinkan dua orang saja, “Hanya saya dan istri yang diperbolehkan masuk,” terangnya. Untuk menjam tamu istana, Lisidu meyajikan racikan istimewa dengan memilih daging ayam bagian dada yang bebas lemak. Sate ini dibakar menggunakan alat tradisionan anglo dari tanah liat dan dikipas menggunakan tangan bukan kipas angin. Setelah matang, disajikan terpisah bersama irisan bawang merah dan bumbu kacang.
Untuk melayani tamu-tamu negara, Lisidu tampil menarik karena ia memakai kostum khas Ponorogo berupa celana hitam longgar dengan pakaian bergaris-garis merah dan putih. Lisidu yang membuka resto di Barata Jaya mengaku senang, sate Ponorogo miliknya mampu menjadi wakil makanan Jatim ke Istana Negara. Apalagi ini sesuai dengan harapan Lisidu yang berkeinginan mengangkat makanan tradisional ke tingkat Internasional. “Saya harap tampilnya sate Ponorogo di Istana mampu mengangkat derajat makanan tradisional, apalagi yang hadir dalam acara itu para duta besar, diplomat dan tamu luar negeri,” tegas Lisidu.
Rawon Embong Malang, Nasi Rawon Selebritis
Tidak semua pemilik warung gembira ketika diajak ke Istana, karena yang muncul malah rasa was- was. Demikian juga yang dirasakan suami istri Mulyadi, pernilik rawon Embong Malang ketika diajak Zaini untuk menyajikan rawon di Istana Negara. “Saya sama bapak sempat mikir-rnikir lama untuk menerima tawaran tersebut, apalagi ada anggapan jika masuk istana itu sulit,” tutur Bu Mul. Setelah memutuskan menerima, persoalan lain muncul. “Saya kepikiran mau masak di mana, terus ada tidak alat masaknya,” lanjutnya. Mendapat pesanan di luar kota, ia memboyong serta kompor dan alat-alat masak. Bumbunya juga sudah dimasak. Daging rawonnya, terlebih dulu direbus, dipotong lalu di simpan di pendingin. Ada sekitar 300 porsi disiapkan, ini masih ditambah gorengan empal dan paru. “Sengaja kami lebihkan, khawatir kalau di sana nanti kurang,” katanya.
Malam hari begitu tiba di Jakarta, ia langsung masak, sampai pukul empat pagi ia masih berkutat memasak rawon dilanjutkan menggoreng empal dan paru. “Paling enak digoreng mendadak,” ujarnya.
Tepat pukul satu siang semua makanan telah siap, “Karni sempat tidak yakin bisa masuk ke Istana karena penjagaan sangat ketat,” tuturnya. Pada pukul dua, Bu Mulyadi dan rombongan akhirnya diperbolehkan masuk. “Saya langsung manasi rawon,” katanya.
Jamuan makan malam baru dilaksanakan pukul delapan malam. Bu Mul mengaku tidak bisa menutupi rasa bangga ketika rawonnya dinikmati oleh bapak dan ibu presiden. “Saya lihat sendiri rawon saya dibawa ke meja beliau-beliau itu,” terangnya. Rawon disajikan dengan empal, paru dan kerupuk udang. Ia menuturkan tamu luar negeri juga tertarik hidangan berkuah hitam ini. Ia berusaha menjelaskan sebisanya. “Maklum kita ngga bisa bahasa Inggris,” jelas Bu Mul yang malam itu mengenakan busana Cak dan Ning. Kejutan lain yang ditemui di sana, ternyata banyak yang sudah mengenal rawon Embong Malang. Bahkan sudah familiar dengan sosok Bu Mul.
Sejarah rawon Embong Malang, ternyata sudah ada sebelum ,tiibangun hotel Marriott yang letaknya bersebrangan. Pada hari-hari tertentu, sosok Bu Mul, diganti oleh Mbak Endang. bihubungi terpisah, Mbak Endang menuturkan jika rawon ~mbong Malang sudah ada sejak 1953. Dirintis pertama kali oleh !Musiyah, yang tak lain adalah neneknya. “Jaman nenek, jualan/mulai pukul dua sampai pagi hari,” kenangnya. Pembelinya saat itu adalah pekerja dan pengunjung kafe dan bar-bar yang banyak bertebaran di daerah itu.
Langganan rawon neneknya adalah para pekerja malam. ‘Sampai-sampai rawonnya dijuluki rawon hostes,” jelas Endang. Kini pembelinya berbeda, karena pejabat dan artis yang menginap di Marriott juga menyempatkan mampir. Salah satu kebiasaan yang dilakukan pejabat, biasa menyuruh ajudan untuk membeli. Ada juga beberapa artis yang menjadi pembeli setia rawon ini, seperti Dorce, Iwan Fals, Sophia Latjuba, Sarah Azhari dan masih banyak artis lain. “Karena sering didatangi artis-artis, akhirnya dijuluki rawon KD (Krisdayanti, Red) ,” kata Endang sambil tersenyum.
Soto Madura HM. Syafi, Hawa Dingin, ya Soto Panas
Rasa bangga terpancar dari wajah H.Moch Syafi, pemiHk soto Madura Asli Ria, yang berlokasi di depan stasiun Gubeng Lama, menempati lokasi di dalam Pujasera Hesti. Syafi pantas bangga karena soto Madura miliknya juga diundang ke Istana Negara untuk memenuhi keinginan Presiden, di acara puncak HUT RI. Nama Soto Madura Ria, tetap dipakainya karena awal berjualan di tahun 1980, ia menempati lokasi di samping bioskop Ria
Hadir di Istana, Syafi cukup tampil istimewa, karena ia memakai pakaian tradisional Madura lengkap dengan udeng dan pecutnya. Tak ketinggalan pikulan sotonya juga dibawa ke 1stana. “Tamu luar negeri banyak yang tertarik dengan penampilan saya yang unik ini,” tutumya seraya tersenyum. Dengan keterbatasan bahasa 1nggris, pria asal Bangkalan ini mencoba berkomunikasi dengan Duta Besar asalluar negeri.
“Temyata mereka mau nyoba soto,tapi mereka menolak jika diberi jeroan,” ujarnya. Karena setiap kali dia menuangkan hati, otak dan buntut. Mereka spontan berseru “No, no!”. Hal yang menarik lain bagi tamu luar negeri adalah bungkusan daun pisang berisi nasi. “Mereka nunjuk daun pisang, saya jawab rice sir,” katanya dengan logat Madura yang kental
Ia menyajikan atraksi menarik, karena setiap meladeni, ia sengaja melempar-lempar daging ke atas. Ditambah lagi logat uniknya ketika menawarkan soto. “Hawanya dingin, sotonya panas,” ujarnya sambi! tersenyum. ‘Pengalaman menarik lainnya ketika ada tamu yang menanyakan apakah dirinya benar-benar asH dari Madura, setelah tahu Sya£i asli Bangkalan, tamu tersebut mala mengajaknya ngobrol menggunakan bahas Madura. “Temyata pejabat itu juga berasa dari Madura,” jelasnya.
Untuk acara di 1stana ini, Syaf menyiapkan sekitar 300 porsi. Tak kuran 20 kilogram daging soto termasuk hati, otak dan buntut dibawa Syafi dari Surabaya Agar rasanya tetap fresh, ia baru memasa daging soto begitu tiba di Jakarta. Dalam melayani tamu, setiap satu porsi soto selalu ditambah satu butir telur ayam dan perasa jeruk nipis.
Kesan yang tidak terlupakan, kata Syafi adalah ketatnya pengawasan, apalagi setiap makanan yang hendak disajikan harus melalui uji laboratorium. “Mulai jeruk, kecap sampai kuah soto diperiksa,” tuturnya kagum. Setelah diuji, makanan tersebut diberi label dan baru diperbolehkan untuk diletakkan di meja hidangan. “Capek tapi bangga,” kesan Syafi selama melayani tamu-tamu Istana, capek karena ia haru meladeni tamu dengan berdiri, karena memang tidak disediakan kursi oleh panitia. Bangga katanya, karena sotonya dinikmati pejabat dan tamu luar negeri. Beberapa nama yang ia ingat turut merasakan so to racikannya yaitu Gubemur DKI, Sutiyoso dan Andi Malarangeng. “Yang lain, saya tidak tahu, karena tidak hafal namanya,” tutumya lugu.
Syafi mengaku pengalaman tesebut tidak terlupakan apalagi sotonya dinikmati oleh para menteri dan tamutamu asing. Sebelum acara berakhir, sotonya sudah habis bahkan kuah sotonya yang tinggal sedikit diminta. Bukan hanya makanan saja yang diminati, bahkan pecut yang menghiasi pikulannya dan udeng (ikat kepala, Red) yang dipakai juga diminta orang. “Pecutnya saya berikan penjaga istana katanya untuk kenang-kenangan, kalau udengnya tidak,” jelasnya.
mossaik oktober 2005. Hlm. 51