Wayang Beber, Kabupaten Pacitan
Lakon Ujar Wayang Beber DI SELA BEBATUAN ITU PADI DITANAM, DAN DISELA BEBATUAN GUNUNG ITU DALANG BEBER MENCOBA BERTAHAN. Dalam…
Lakon Ujar Wayang Beber
DI SELA BEBATUAN ITU PADI DITANAM, DAN DISELA BEBATUAN GUNUNG ITU DALANG BEBER MENCOBA BERTAHAN.
Dalam sebuah pementasan wayang beber di Jakarta pada tahun 1969, Soeharto, Presiden RI pada masa itu pernah berujar, “Wayang beber yang ada saat ini hanya satu-satunya di dunia, dan itu ada di Pacitan, sebuah kawasan tertinggal di Jawa Timur. Dimana warganya terpaksa menanam padi di sela-sela batu”.
Ucapan ini masih terekam di benak Sumardi, 63 tahun, dalang generasi ke 13, warga Dusun Karang Talun, Desa Gedompol, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan. “Saya menerima warisan seperangkat wayang beber dari bapak saya, Ki Dalang Sarnen atau Guna Carita,” papar Sumardi.
Dengan kata lain, eksisitensi dalang pertamanya, Ki Tawang Alun, dilanjutkan anak keturunannya, Ki Nalongso, Ki Citrawangsa, Ki Gandayuta, Ki Singanangga, dan seterusnya, sampai Ki Sarnen dan Ki Sumardi. “Siapa yang dipercaya mendapat wayang ini harus bersedia untuk meneruskan tradisi menjadi dalang. Biasanya anak laki-laki, atau cucu laki-laki. Dan dalang di tiap masa selalu menjadi dalang wayang beber satu-satunya, tegas Sumardi.
Bagi bapak tiga dara ini, menjadi dalang wayang beber sungguh bukan pilihan hidup yang jadi impian. Karena saat bapaknya popular sebagai dalang wayang beber, ia malah memilih merantau di Jakarta dari tahun 1969 hingga 1988. Di tahun itu pula, ia dipilih untuk menjadi dalang wayang beber menggantikan Ki Sarnen. Sebuah babak baru pedalangan wayang beber dimulai. Bersamaan dengan penyerahan satu kotak wayang beber, nama Sumardi langsung dinyatakan sebagai dalang baru.
Sebagai dalang, Sumardi perlahan tapi pasti membangun citra baru kesenian wayang beber. Ia terbang ke Jakarta, menggelar pentas wayang beber di Taman Mini Indonesia Indah sampai dua kali. Tak hanya itu, ia juag sempat manggung dalam pentas wayang beber di Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, dan terakhir di Gedung Cak Durasim Surabaya pada tahun 2002. Di luar pengalaman pertunjukan ini, ia juga terbilang laris sebagai dalang wayang beber. Karena biasa menerima tanggapan dari Pacitan, Kediri, Surabaya, beberapa kawasan di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, dan masih banyak lagi.
Di luar itu, Sumardi juga pernah mendapat tamu dari Bali, Jepang, dan Australia, yang datang khusus untuk melihat enam gulung wayang beber andalannya. Mereka penasaran dan ingin melihat sendiri, bagaimana kondisi wayang beber Sumardi yang usianya sudah mencapai lima abad lebih. “Ya, kalau bicara umur, saya sendiri tidak tahu, berapa usia wayang ini. Yang pasti, satu set wayang beber ini pemberian Prabu Brawijaya,” aku Sumardi. Dikisahkan, pada masa itu, putri Prabu Brawijaya sakit keras. Walau sudah mengundang tabib dan ahli dari seluruh Majapahit, penyakit Sang Putri tak kunjung sembuh. Akhirnya, Ki Tawang Alun diundang untuk mengobati penyakit putri. “Lha kok ndilalah Kanjeng Putri bisa sembuh. Sebagai ungkapan rasa syukur Prabu, Ki Tawang Alun diberi sebidang tanah untuk dikelola. Tapi Beliau tidak bersedia akhirnya, Sang Prabu mengganti hadiah dalam bentuk seperangkat wayang beber, lanjutnya, Prabu Brawijaya sempat berpesan, “Ini bisa kamu gunakan untuk cari makan bersama anak cucumu-nanti”.
WAYANG TERTUA?
Dalam wacana budaya tradisi Jawa-Timur wayang beber terbilang miskin refensi. Berbeda dengan wayang kulit dan wayang krucil, wayang beber nyaris tak memiliki sejarah yang pasti. Hal ini diakui Arif Mustofa, pemerhati budaya tradisi dari Universitas Negeri Surabaya. Mahasiswa pasca sarjana yang saat ini sedang mengerjakan tesis Cerita Rakyat di Pesisir Selatan Kabupaten Pacitan ini mengatakan, dalam kitab Babad Tanah Jawa disebutkan, ketika Jaka Tingkir dilahirkan (1500-1549), digelar pertunjukan Wayang Beber sebagai ungkapan rasa syukur.
“Lalu mengutip makalah Rochimdakas yang berjudul Perjalanan Wayang Beber, pada abad ke XII, Prabu Pandreman, Raja Pajajaran, pernah menyuruh merubah dan memperbesar gambar wayang purwa,” papar Arif. Gambar itu, lanjutnya, dibuat dari kulit kayu yang diambil dari daerah Ponorogo. Di sisi Kanan dan kiri gambar, diikat sepotong kayu untuk membuka dan menutup gulungan gambar. “Berdasar catatan ini kita bisa menyimpulkan, wayang beber sudah ada antara abad XII hingga abad XV,” tegas Arif.
Permasalahannya, lebih dahulu mana wayang beber dan wayang kulit? “Kalau mengutip penjelasan Dr. Serrurier dan Raden Mas Utaya, wayang beber adalah induk wayang kulit. Logikanya, sebelum dipotong dan diukir menjadi wayang kulit, maka wujud wayang ini masih dalam lembaran kertas,” papar pria asal Pacitan ini. “Sebaliknya, Dr. GAJ Hazeu mengatakan, wayang beber hanyalah tiruan dari wayang kulit. Hazeu beralasan, pengetahuan membuat arca muncul lebih dahulu ketimbang membuat gambar. Kedua, kata wayang berasal dari wayangan atau bayangan. Jadi kalau ada sebutan wayang beber, kata ‘wayang’ ini berasal dari mana?” tanya Arif.
Dalam pertunjukan wayang kulit, katanya, sisi yang dipertontonkan cuma bayangan. “Kalau wayang beber, yang dipertunjukkan adalah gambamya,” tandas Arif. Selain performa fisik, cerita yang dibawa dalam pertunjukan wayang beber dan kulit juga berbeda. Jika wayang kulit bisa membawa kisah Mahabarata, Ramayana, dan Baratayudha, wayang beber hanya bisa membawa kisah-kisah panji yang melibatkan tokoh-tokoh seperti Dewi Sekartaji dan Joko Kembang Kuning (Panji Asmarabangun).
Cerita wayang beber, terdiri dari enam gulung. Satu gulung berisi empat adegan yang disajikan satu persatu. Jadi dalam pertunjukan wayang beber Pacitan, gambar dalam gulungan disajikan seperempat demi seperempat.
MUATAN RELIGI
Bicara muatan dalam pertunjukan, wayang beber terbilang bersih dari ‘pesan sponsor’. Bandingkan dengan wayang kulit atau wayang krucil yang leluasa bicara kepedulian sosial, pemilu, bahkan keluarga berencana. Dalam pertunjukan wayang Beber, misalnya yang adi di Pacitan, hal-hal seperti ini sulit dipenuhi. Karena wayang beber hanya bisa membawa semangat memenuhi,
Ujar dalam Kultur Jawa, sama dengan nadhar dalam ajaran Islam. Misalnya ada warga yang sedih karena anaknya sakit dan tak kunjung sembuh. Ia bisa berujar, “Jika anak saya sembuh, saya akan nanggap wayang beber. Entah kebetulan entah tidak, jika ujar ini terucap, penyakit yang diderita warga ini akan hilang.
“Sepanjang yang saya tahu, wayang beber hanya digunakan untuk medium permohonan. Agar niat seseorang bisa jadi lebih mudah. Niat kesembuhan, kemakmuran,” atau “mau melahirkan,” aku Ki Sumardi, dalang wayang beber Pacitan. Niatan ini, lanjut dia, hanya bisa digunakan untuk hal yang baik. Pada Mossaik Sumardi mengatakannya berkali-kali dapat order mempermudah niat jahat.
“Saya tidak bisa menerima. Karena kakek moyang saya berpesan, wayang beber hanya untuk mempermudah permohonan yang baik-baik saja. Bukan untuk menang judi, merusak keluarga orang, atau hal-hal jelek lainnya,” tegas Sumardi.
Karenanya, tiap menerima order ndalang, ia selalu bertanya pada yang membawa pesan, “Tujuan atau permohonan yang hendak dicapai apa?” Jika tidak hati-hati, balak atau kemalangan yang datang bukan bergerak ke yang mengorder, tapi ke Sumardi.
Sumber kesialan lain yang wajib dihindari, lanjutnya, juga terletak pada cara perawatan wayang beber. Ketika menerima wayang dari bapaknya, Sumardi mendapat pesan agar senantiasa berhati-hati. Ia wajib menjaga kebersihan wayang beber, baik secara fisik maupun non fisik. Untuk itu, tiap Bulan Suro, ia melakukan ritual pembersihan secara khusus.
Dulu, proses pembersihan dilakukan dengan memasang bulu merak di ujung kanan kotak wayang. Penggunaan bulu merak ini tidak sekedar karena alasan spiritualitas, tapi juga ilmu logika. Bulu merak, terbukti mampu mengusir ngengat yang bisa merusak wayang beber. Aromanya mampu mengalihkan perhatian ngengat, sehingga tidak jadi merusak gulungan wayang beber. Maklum, wayang ini terbuat dari lembaran-lembaran kertas Jawa yang meski elastis, terbilang sangat tipis.
Satu cerita wayang beber, terdiri dari enam gulung. Satu gulung berisi empat adegan yang disajikan satu persatu. Jadi dalam pertunjukan wayang beber Pacitan, gambar dalam gulungan disajikan seperempat demi seperempat. Tak terbayang jika proses penyimpanan wayang ini tak berjalan semestinya. “Pasti sudah rusak sejak dulu kala,” khawatir Sumardi.
Padahal keberadaan wayang beber bagi masyarakat Desa Gedompol, sudah tak bisa dipisahkan lagi. Wayang beber adalah simbol kesucian yang wajib dijaga, karena semangat spiritualitas wayang ini jadi penentu keseimbangan alam masyarakat Gedompol. “Wayang rusak, saya rusak. Kalau sudah demikian, masyarakat desa ini akan menderita,” tambah Sumardi.
Oleh karena itu, ia tak heran jika ada beberapa orang suka datang ke tempatnya, untuk melakukan melekan atau begadang. Mereka rela tidur dan jagongan di sekitar kotak wayang demi mendapat berkah dan kemudahan. Tak jarang ada warga yang datang ke Sumardi hanya untuk bilang,” Mbah, jika anak saya sembuh, saya akan kirim kembang ke wayang sampeyan”.
Sayang, karena perasaan memiliki yang besar, beberapa warga sempat mendatangai Sumardi. Mereka datang dan meminta agar Sumardi menyerahkan wayang bebernya, baik yang orisinil, maupun wayang duplikasi pemberian Pemkab Pacitan, ”Dengan tidak berada di tangan, saya tidak bisa menjaga dengan benar. Apapun bisa terjadi. Dan mereka tidak tahu. Jika ada masalah, efek utamanya ke saya. Bukan pada mereka, “ sesal Sumardi. hd laksono/foto : an kusnanto
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pusaka Jawatimuran dari koleksi Deposit–Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: mossaik, Januari 2006, hlm. 17.
Comments
Aku pernah nonton pertunjukan wayang beber di Dusun Kutukan-Mendolo Kidul_Punung, Pacitan (sekarang depan Jalan masuk PT. Indobent Wijaya Mineral). Konon pertunjukkan itu pas musim kering berkepanjangan (ketigo dowo) dan digunakan untuk permohonan minta hujan. Kiranya ini tradisi yang baik da seumur hidup saya baru sekali itu saya melihat wayang beber. Kira-kira tahun 1984. Lama sekali. Saya masih pengin sekali menyaksikan pertunjukan itu. Sarat makna toleransi, kerendahan hati dan bukan arogansi yang ada pada manusia.
Ribu bahkan Juta, budaya Jawatimuran yang sudah tergerus oleh kemajuan Zaman terutama sekali pada kota-kota besar seperti Surabaya, hampir semua permainan masa kecil saya (usia 54 th) sudah tidak ada lagi, semoga tulisan ini menggugah para pelaku-pelaku budaya serta pemerintah daerah setempat baik tingkat Provinsi ataupun tingkat Kabupaten/Kota memperhatikan akan kelestarianya serta kesejahteraan para pelakunya.