Sape sono’, Makin Digemari
SELAIN kerapan sapi, Madura juga memiliki budaya sape sono’. Kalau kerapan sapi didominasi oleh sapi jantan untuk diadu keindahan dan…
SELAIN kerapan sapi, Madura juga memiliki budaya sape sono’. Kalau kerapan sapi didominasi oleh sapi jantan untuk diadu keindahan dan kecepatan larinya, maka sape sono’ khusus bagi pasangan sapi betina yang diadu kecerdasannya melewati beberapa rintangan yang sudah ditentukan kriterianya. Sepasang sape sono’ sebelum diadu didandani secantik mungkin. Sementara kontes sapi adalah sapi betina yang dirias kemudian dipamerkan keindahan, kecantikannya dalam suatu kontes. Sapi yang diikutkan dalam kontes harus tampil secantik mungkin, misal tanduknya dipolesi warna-warni, bulunya disemir dan dirapikan dengan berbagai model, lehernya dikalungi perhiasan, perut dan kepalanya dipenuhi dengan hiasan.
Menurut Alwan, seorang PNS yang juga sebagai ketua paguyuban sape sono’ Laskar Joko Tole, Desa Lentang Timur, Kecamatan, Lentang, Kabupaten Sumenep, mengatakan sape sono’ identik dengan tradisi Madura. Istilah sape sono’ berasal/berarti dari sapi yang mengangkat kakinya dan memasukkannya ke atas papan yang telah disediakan. Dalam adu kecerdasan, sepasang sape sono’ harus berjalan sepanjang 25 meter kemudian berhenti di pintu gerbang secara bersamaan.
Itu sebabnya pemilik sape sono’ harus memperhatikan pertumbuhan badan sapi sehingga akan memenuhi semua criteria penilaian, misalnya cara jalan dan sebagainya. “Dulu, sape sono’ digelar sebelum acara kerapan sapi dimulai, namanya sapi pajangan. Sekarang, karena perubahan zaman berubah nama menjadi sape sana,” kata Alwan yang mempunyai 83 anggota penggemar sape sana’.
Bagi masyarakat Madura, lanjut Alwan, sape sono’ juga bisa meningkatkan tarap hidup masyarakat menjadi baik. Sebab, kalau sape sana’ dipelihara sejak kecil, misalnya, dibeli dengan harga Rp 5 juta untuk satu pasang, setelah dipelihara 1-2 bulan harganya bisa mencapai Rp 15-20 juta. “Semakin tahun penggemar sape sana’ semakin banyak. Sebaliknya, harga tembakau agak merosot sehingga banyak yang lari memelihara sape sana’. Sebab, kalau pasangan sape sana’ pernah memenangkan lomba harganya bisa mencapai Rp 75-90 juta,” kata Alwan yang mempunyai pasangan sape sana’ Liga Hendra yang pernah menang di tingkat provinsi.
Ciri-ciri sape sana’ yang cantik menurut pengamatan Alwan: bodi bagus, panjang, gemuk dan bulunya agak merah. Perkembangan sape sana’ terbanyak didominasi Kabupaten Sumenep menyusul di Kabupaten Pamekasan. Khusus di Kabupaten Sumenep sape sana’ banyak di Kecamatan Lentang.
Dalam perkembangannya sape sana’ ternyata lebih banyak penggemarnya daripada kerapan sapi. “Ini terjadi karena kerapan sapi itu biayanya lebih banyak, terutama pada pemeliharaan seperti pemberian jamu. Makanya pemilik kerapan sapi hanya orang-orang kaya saja,” ujar Alwan yang anaknya menjadi dosen di Universitas Negeri Malang.
Agenda sape sana’ dimulai dari tingkat lokal, kecamatan, kabupaten baru sampai ke tingkat eks karesidenan dengan penyelenggara dinas pariwisata kemudian tingkat provinsi. Dalam kriteria peniliaian sape sana’ yang pertama dilihat umurnya, minimal giginya tidak copot.
Kemudian berat badan, bodi yang baik agak melebar dan panjang, dan kepala agak memanjang. “Saat penilaian masuk gawang, tidak boleh menyentuh garis. Bila menyentuh nilainya akan dipotong lima. Begitu juga bila tempat kalungan sapi terlihat miring, nilainya juga dikurangi,” jelasnya.
Kriteria penilaian berikutnya, ketika masuk gapura (gawang) –yang dibuat pas dengan ukuran sapi—kakinya harus naik dan berhenti kira-kira lima menit di papan yang sudah disediakan. Kalau kaki melewati papan atau diangkat, nilainya juga dikurangi. Badan sapi menyentuh pintu gapura, juga nilainya dikurangi. “Biasanya, pasangan sapi yang telah dirangkai dikendalikan seorang joki. Sambil berjalan, mereka diiringi cilunan musik saronen yang dimainkan sembilan orang lengkap dengan pakaian adat Madura,” kata dia lagi.
Pelatih yang sering juga disebut pawang ini mengajarkan cara berjalan dan cara menjejakkan kaki depan ke atas sebuah kayu. Itulah sebabnya mengapa diberi nama sape sana’ yang berasal dari bahasa Madura sokonah nungkok atau kakinya naik. Hal ini menjadi penilaian penting dalam lomba. Hanya sapi yang terlatih yang bisa menaikkan kaki ke atas kayu, sehingga tampak rapi dan anggun. Kaki sapi yang tepat meletakkan kaki di atas papan tanpa meleset mendapat nilai yang tinggi.
Dalam mengisi kekosongan di saat tidak ada kegiatan sape sana’, beberapa penggemar lebih memilih merawat sapinya, agar tidak sampai hilang keindahan bulu dan penampilan sapi. Sebab, jika jarang dirawat sape sono’ penampilannya tidak jauh ber beda dengan sapi biasa, yang sering digunakan untuk membajak sawah. Sape sana’ dirawat seperti dimandikan, disisir bulunya dan diberi jamu, agar penampilan sapinya tetap menarik. “Sape sana’ kalau sapinya besar setiap satu ekor bisa menghabiskan 25 butir telur itik setiap harinya. Makanannya, jagung diselep dicampur dengan bubuk padi dan ampas tahu kemudian diaduk.,” kata Alwan yang mempunyai lima ekor sape sana’, tiga besar dan dua masih kedl.
Sape sana’ awalnya diparadekan saat ada pergelaran karapan sapi. Na mun, dewasa ini budaya sape sana’ mulai dilaksanakan secara mandiri oleh masyarakat karena menurut penelitian, terdapat beberapa hal yang mendasarinya di antaranya, pertama sape sana’ tidak berbahaya, lain halnya dengan karapan sapi yang seringkali menelan korban ketika pengemudi tidak dapat menghentikan laju sapinya. Kedua, sape sana’ lebih mudah perawatan dan perlatihannya.
Ketiga, sapi betina lebih mudah mengerti dan lebih cekatan. Keempat, kecenderungan masyarakat yang mulai bergeser juga menjadi salah satu alasan mengapa sape sana’ semakin disenangi masyarakat. – ryan
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: SAREKDA Jawa Timur, edisi: 009, 2010, hlm. 36-37