Batik Mangrove, Surabaya
Batik Mangrove Dikenalkan Sebagai Khazanah Surabaya Diakuinya batik sebagai world heritage oleh UNESCO, 2 Oktober 2009, kembali melejitkan citra batik…
Batik Mangrove
Dikenalkan Sebagai
Khazanah Surabaya
Diakuinya batik sebagai world heritage oleh UNESCO, 2 Oktober 2009, kembali melejitkan citra batik sebagai salah satu asset budaya bangsa yang patut dibanggakan. Karena itu sejak diakuinya batik sebagai satusatunya milik Indonesia itu para perajin batik seperti menemukan gairahnyakembali.Diantaranya, dalam mengembangkan batik sebagai kreasi seni maupun sebagai komoditi ekonorni.
Dari sekian bentuk batik di Indonesia, harnpir semua kota merniliki ciri khas dan pola sesuai kultur kelokalannya masingmasing. Di antaranya ada batik Yogjakarta, Solo, Pekalongan, Banyurnas, Madura, Tuban, Sidoarjo dan banyak lagi. Dari sekian daerah itu, belurn pemah ada istilah yang menyebutkan batik Surabaya. Secara kultur sejarah batik di Surabaya memang belum pemah terdengar. Kalaupun ada mungkin tidak banyak yang tahu dan tenggelam jauh di zaman lampau.
Akan tetapi, temyata lewat tangan seorang Lulut Sri Yuliani (44), batik dengan khas Surabaya mulai dikenalkan. Sebuah produk batik yang dipatenkan sebagai batik mangrove, diproduksi oleh komunitas Griya Karya Tiara Kusuma dengan anggota para perajin ibu-ibu di Kelurahan! Kecamatan Rungkut, Surabaya.
Komunitas batik yang dipusatkan di perurnahan Kedung Asem Indah blok J-28 ini, bisa dikatakan sebagai pusat pengembangan batik mangrove yang berasal dari Surabaya. Sekilas jika memasuki kawasan pusat produksi batik mangrove ini, tidak ada hal yang istimewa yang menunjukan kawasan perumahan ini sebagai pusat, batik. Berbeda dengan daerah-daerah lainnya yang menjadi pusat batik. Disana-sini ada rumah yang menjadi show room atau tempat kegiatan pembuatan batik.
Namun di perurnahan Kedung Asem ini yang ada hanyarurnah-rurnah penduduk biasa yang terkesan panas dan berdebu di antarajalan pavingan. Hanya saja saat memasuki rurnah Lulut Sri Yuliati, sebagai pencetus ide batik mangrove, barulah terlihat sedikit keasrian dengan rerimbunan tanaman yang tumbuh di depan rumah. Kemudian di teras rumah yang menjadi tempat eksperimen batik mangrove juga sedikit teduh dengan aneka tanaman mangrove yang menjadi obyek penelitian dan eksperimen.
Ketika bertemu Lulut, tidak ada kesan bahwa yang bersangkutan adalah seorang ahli batik.Penampilannyasederhana seperti layaknya ibu rumah tangga biasa. Namun, ketika sudah berbicara soal batik mangrove, barulah kita tahu bobot kepakarannya sebagai seorang intelektual yang sangat konsisten dalam mengembangkan mangrove.
“Saya merintis batik mangrove baru tahun 2007. Saat itu ramai sekali dengan pembalakan liar. Karena itu saya punya ide untuk menjadikan pohon mangrove sebagai tanaman budidaya untuk dilestarikan dan dimanfaatkan kegunaanya,” ujar Lulut.
Setelah melalui serangkaian proses eksperlmen pembmttan desian dan berhasil membuat 44 desain batik mangrove, tahun 2009 barulah batik mangrove ini diberdayakan bersama dengan masyarakat sekitar.
Menurut wanita yang sempat berprofesi sebagai guru TK hingga SMA itu, selama dua tahun sejak mencetuskan ide membuat batik mangrove, banyak sekali rintangan yang didapatkannya. Tidak hanya dilecehkan dan direndahkan, tetapi sebagian orang bahkan mencibir terhadap apa yang dilakukannya ini. Namun wanita yang belajar batik sejakmasih kuliahdiSastraJawa IKIP Negeri Surabaya ini tetap tegar dan sabar menghadapi semua cibiran tersebut. Bahkan dia optimis suatu saat apa yang dilakukannya akan membuahkan hasil yang baik.
Hasilnya memang bisa dirasakan, ketika sudah dibuat 44 design yang menjadi pakem batik mangrove ini, Lulut bersama dengan.Disnaker Kota Surabaya mulai mengadakan Pelatihan. Ini dilakukan untuk menularkan kemampuannya membatik kepada khalayak.
Pada awal pelatihan diikuti 120 perajin. Namun sampai saat ini jurnlah perajin menyusut menjadi 60 orang. “Memang tidak mudah menghidupkan batik di Surabaya. Karena itu meskipun pada awalnya banyak yang ingin belajar, di tengahjalan banyak juga yang keluar dan tidak meneruskan lagi,” tandas wanita kelahiran Surabaya 24 juli 1965 ini.
Namun dengan 60 orang perajin binaannya, batik mangrove temyata mengalami kemajuan yang cukup pesat. Sehingga, selain sudah bisa dipatenkan sebagai batik khas Surabaya, pemasaran batik mangrove juga sudah mulai merambah keluar daerah bahkan sudah sampai di Singapura. Ke depan, dan kini sedang dijajagi, batik mangrove ini akan dipasarkan ke California, Canada dan Australia.
Keunikan Batik Mangrove
Proses pembuatan batik mangrove memang berbeda dengan batik-batik pada umunya. Batik Mangrove proses pembuatannya dan bahan bakunya berasal dari unsur mangrove (bakmi), kemudian corak designnya juga berbentuk mangrove. Proses pewamaan batik mangrove dikerjakan dengan alami. Untuk perebusan warna dilakukan selama 10 hari. Bahan-bahan pewamaan batik mangrove lebih banyak dari limbah mangrove, antara lain kaliptropis, bin taro, pah, bringtonia, helgua gimnoriva.
Bahan pewamaan mangrove merupakan limbah pohon mangrove yang dibuat sirup namun masih bisa dimanfaatkan menjadi wama batik. Dari pewamaan ini kemudian diambil dengan canting. Kemudian saat membatik, perajin menggunakan kuas sebagai sarana untuk melukis kainnya. Menurut Lulut, digunakannya kuas untuk membatik tidak lain untuk menghemat malam.
Dalam membuat batik mangrove ini, 1 design hanya dibuat satu orang. Ini dilakukan agar batik mangrove terkesan lebih ekslusif. Karena ito setiap perajin batik mangrove dibekali 44 design pakem yang sudah dipatenkan itu, kemudian mereka kembangkan sesuai dengan daya nalarnya masing-masing. Sehingga corak dan bentuk batik sesuai dengan desain yang dibuat perajin satu dengan yang lain akan berbeda.
Yang membedakan batik mangrove dengan batik lainnya adalah dari segi wama. Jika batik lain wama bisa ditentukan atau direkayasa sesuai dengan. keinginan si pembatik, namun batik mangrove warnanya mengalami gradasi. Gradasi wama itulah yang menentukan desain batik. Karena warnanya yang tidak bisa diatur inilah membuat bentuk batik mangrove menjadi unik. Sebab proses gradasi warna terjadi secara aIami dari sifat bahan pewarna itu sendiri.
Keunikan inilah yang menjadikan batik mangrove menjadi ikon batik Surabaya. Sementara peralatan untuk membatik mangrove juga cukup sederhana, yakni dengan kompor kecil, canting, kuas dan peralatan unik lainya. Selain itu, untuk mencuei batik mangrove, juga ada sabun khusus. Karena itu, karakter batik yang halus sehingga saat meneucinya tidak bisa sembarangan. Untuk itu, sabun untuk komunitas Griya Karya Tiara Kusuma juga memproduksi sabun yang sesuai untuk mencuci batik mangrove.
Pemasaran Batik Mangrove
Pola dan sistem pemasaran batik man’grove tidak terlalu rurnit. Selain mengikuti pameran batik seperti yang sudah dilakukan di beberapa tempat, di setiap kesempatan Lulut berusaha memperkenalkan batik di mana pun tempatnya. Demikian juga dengan para perajin di komunitas pembuat batik mangrove yang dibiayainya ini. Masing-masing perajin dipersilakan memperkenalkan dan memasarkan batik sendiri. Sehingga setiap komunitas maupun keluarga di lingkungan perajin batik mangrove ini puny a kebebasan untuk memasarkan batik mangrove.
Hanya saja yang mengikat masing-masing individu dalam melakukan pemasaran hanya satu, yakni tetap terikat kepada hak paten batik mangrove yang sudah menjadi merek dagang. Ini dilakUkan agar tidak ada saling klaim kelak di kemudian hari. Sebab, peristiwa seperti itu pernah dialami Lulut sebagai peneetus ide batik mangrove. “Saat itu ada mantan anggota binaan yang mengaku batik mangrove ini adalah karya dirinya. Namun agartidak berkepanjangan,sayalangsung daftarkan ke dinas terkait. Hasilnya kami diberi surat pengakuan batik mangrove adalah karya kami,” tukas wanita yang selalu bersikap ramahini. Harga batik mangrove bervariasi. Harga terendah berkisar an tara Rp 100 ribu hingga 500 ribu. Harga tertinggi berkisar antara Rp 600 ribu hingga Rp 1 juta. Meski demikian, komunitas perajin batik mangrove yang dipimpin Lulut ini masih bersifat home industri. Sebab, sebagian besar anggota komunitas adalah kalangan ibu-ibu yang berada di sekitar Kedung Asem Rungkut Surabaya.
Sebagian besar pembatik mangrove masih termasuk orangorang yang memanfaatkan waktu luang. “Saat ini perkembangan pemasaran batik mangrove memang cukup meningkat. Akan tetapi untuk lebih mempertajam, masih perlu waktu. Karena sebagian besar perajin masih didorninasi oleh ibu-ibu yang menyisihkan waktu luang,” jelas Lulut.
Namun, tidaklamalagi, wanita yang pemah menjabat sebagai kepala sekolah salah satu SMA swasta di Surabaya ini mengaku akan membutuhkan banyak tenaga kerja, khususnya laki-laki muda. Karena perrnintaan dalam jumlah banyak sudah mulai berdatangan, sehingga harus dipersiapkan tenaga kerjanya. Salah satu yang menjadi plioritas komunitas batik mangrove untuk perekrutan tenaga kerja adalah dari kalangan pemuda-pemudi karang taruna yang masih nganggur.
Sementara itu program pemasaran ke depan adalah rajin mengikuti pameran-pameran. Diharapkan dengan mengikuti pameran akan mampu meningkatkan dayajual batik mangrove di pasaran. Sementara itu, hasil pemasaran batik mangrove ini juga sudah bisa dirasakan oleh perajin. Dalam satu minggu, perajin menyetor satu atau dua lembar batik. Dalam satu bulan rata-rata para pembatik bisa menyetorkan lebih dari 100 lembar kain.
Sedangkan permodalan pembuatan batik mangrove sampai saat ini masih mengandalkan permodalan mandiri. Hanya saja, Dewan Kerajinan Daerah Pernkot Surabaya sudah memberikan bantuan stimulus sebesar Rp 2 juta. Meski demikian, ada bantuan maupun tidak, Lulut cs bertekad akan terus berusaha agar batik mangrove ini tetap eksis. (tur)
Teropong, Edisi 48, November – Desember 2009, hlm. 45