Puspa Agro, Menjadikan Jatim Sebagai Pusat Agrobisnis
Sebagai provinsi yang berbasis agraris, Jawa Timur dalam kurun dua dawasarwa ke depan, diarahkan menjadi Pusat Agrobisnis Terkemuka Berdaya saing…
Sebagai provinsi yang berbasis agraris, Jawa Timur dalam kurun dua dawasarwa ke depan, diarahkan menjadi Pusat Agrobisnis Terkemuka Berdaya saing Global dan Berkelanjutan. Untuk itu, beragam cara telah ditempuh. Salah satunya, mendorong pergeseran usaha agro (agrobisnis) agar tak lagi mengacu pada comparative advantage.’ J alan keluarnya, pengembangan produk-produk agrobisnis diarahkan pada keunggulan bersaingnya (competitive advantage).
Paling tidak, untuk menuju ke sana ada tiga hal yang harus dijalankan secara cermat dan konsisten. Yakni, pengembangan dan penyediaan modal, penerapan teknologi maju pada setiap subsistemnya, dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Pengembangan dan penyediaan modal melalui dukungan perbankan fnaupun non bank, asuransi, serta jaminan kredit. Pemanfaatan teknologi rnaju melalui penerapan temuan-temuan hsil riset, terutama di lini on farm . Sedangkan peningkatan sumberdaya manusia bisa dilakukan melalui pemanfaatan jaringan informasi untuk mentransfer keterampilan bertani hingga merevitalisasi peran penyuluh pertanian lapangan.
Pencapaian itu dilakukan secara bertahap melalui desain besar sistem pertanian yang utuh dan saling terkait. Sistem pertanian itu tidak hanya sektor pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Sektor perikanan dan kelautan, kehutanan, dan peternakan juga terrnasuk di dalamya. Sebagai gambaran, desain besar sistem pertanian tersebut terdiri dari pengembangan industri hulu (upstream agrobisnis), pengembangan onfarm (budidaya), pengembangan subsistern indu stri hilir (downstream agrobisnis), dan subsistem pemasaran (pasar OJ domestik dan ekspor).
Berdasar data, penduduk Jatim yang berprofesi petani mencapai 47% dari total penduduk Jatim yang mencapai 37 juta lebih. Dari jumlah tersebut, yang bisa menikmati hasil pekerjaan mereka hanya mencapai 16,39%. Padahal produksi pertanian Jatim hampir 99% mengalami surplus. Tercatat, hanya kedelai dan bawang putih saja yang masih minus.
Penyebab utama semua itu, tak lain karen a sebagian besar hasil pertanian dijual dalam bentuk produk asli (onfarm), bukan olahan (ojffarm). Padahal, penjualan dalam bentuk produk asli tidak memiliki nilC}i tambah. Selain itu, beberapa produk pertanian, semisal hortikultura bersifat edible, atau dikonsumsi dalam bentuk segar, serta bersifat musiman. Ini jelas tidak menguntungkan, karen a produk cenderung tidak awet, serta harga yang tidak stabil.
Jalan keluarnya, mau tidak mau dengan meningkatkan nilcii tambah produk. Caranya dengan membuatnya menjadi berbagai produk olahan. Selain meningkatkan nilai tambah, penjualan dalam bentuk produk olahan memiliki berbagai kelebihan, di antaranya bisa tersedia sepanjang musim, awet, dan harga yang relatif stabil.
Selain itu, Pemprov Jatim terus berusaha mencegah terjadinya berbagai praktek perdagangan yang merugikan para petani. Caranya dengan memberdayakan petani agar mampu memiliki posisi taw-ar (bargaining position) yang terus membaik. rni agar margin keuntungan yang menjadi hak petani dapat diperoleh secara proporsional.
Dengan didukung SDM yang makin berkualitas kelembagaan petani yang kuat, permodalan terjangkau, dan kemampuan bersaing di tingkat global, diharapkan pembangunan agrobisnis Jawa Timur bisa berjalan secara berkelanjutan, Prokeadilan, pro-pertumbuhan ekonomi, dan prolingkungan.
Dan yang penting, mengembangkan Jatim sebagai pusat agrobisnis terkemuka di tingkat global tidak akan dilakukan dengan mengorbankan kepentingan dan upaya pelestarian lingkungan Artinya, agrobisnis yang akan dikembangkan dilakukan tanpa mengurangi hak dan pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Luas lahan yang dibutuhkan untuk mendukung perkembangan agrobisnis dijamin dan tetap mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kebijakan tata ruang ramah lingkungan. Sebaliknya, ekspansi industri dan kebutuhan permukiman yang dipenuhi tanpa harus mengorbankan kepentingan pembangunan agrobisnis yang berkelanjutan. rif
Prasetya, Volume II, No. 19, Juli 2010, hlm. 4.